Teras Merah Kolektif, Pataba, dkk, mengadakan pameran seni rupa tribute to Pramoedya Ananta Toer bertajuk "Jejak Langkah dalam Pertarungan". Pada hari Minggu, 4 Mei 2025, diadakan pula dialog budaya bertema "Pramoedya, Jurnalisme, dan Kesenian yang Revolusioner: Lukisan Adalah Karya Sastra dalam Warna. Karya Sastra Adalah Lukisan dalam Bahasa" di Balai Budaja Jakarta. Dialog ini dihadiri oleh para pembicara Muhidin M. Dahlan, Dolorosa Sinaga, Ibob Arief, dan dimoderatori oleh Narima Beryl Ivana.
Berikut catatan terkait dialog budaya tersebut:
Ibob Arief dari Sebumi mengatakan, dirinya banyak dibawa teman-temannya dalam seni kerakyatan, di samping Dolorosa sebagai dosen dan Muhidin sebagai cendekiawan, dalam konteks kekinian, jika seniman tersentuh dengan apa yang menjadi concern Pram, akan tampak di karya-karyanya. Dalam gerakan 151 ada ideologinya. Pram itu politis, entah itu absurd atau susah dimengerti, dia realistis, dan itu yang dinamakan materialisme. Kandungan karya Pram adalah MDH. Ketika Orba membumihanguskan Pram, itu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari ideologi yang dianutnya. Paacarevolusi 45, kekuatan yang dibawa Pram dihabisi. Logikanya modal jangan sampai diganggu. Kapitalisme wujud sistem yang sangat-sangat (kalau dibilang) enak ya enak, jahat ya jahat. Orang terlena dengan kapitalisme, soal apa pun enak, makanan, sandang, papan. Di sana ada yang enak, tapi juga sebaliknya ada yang tak enak. Di sini rezim tak menginginkan jika modal digoyang, lalu memunculkan rezim Marxis baru. Pram memunculkan kekuatan dan kesadaran politik baru dengan tulisan-tulisannya.
Sebagai perupa dan pematung, Ibob mengaku, apa yang dia kerjakan di seni rupa merupakan cermin dari karya-karya Pram. Dia tak berdiri sendiri serupa tokoh-tokoh hero, dia memegang ideologi politik organisasi. Ketika berperan sebagai seniman, memegang ideologi. Rezim itu takut dengan organisasi bukan orangnya. Contoh Widji Tukul, gak cuma dirinya, tapi juga organisasinya. Karya Tukul juga sangat MDH. Sastranya juga sastra kerakyatan, yang ngomong anjing dan bajingan. Ketika bicara Lekra, terinspirasi dari Pak Muhidin, membukukan arsip Lekra, dia mulai tahu, bagaimana seniman tak berdiri sendiri. Kalau belajar sejarah, seniman harus berorganisasi. Kalau yang kiri-kiri ya Lekra. Partai politik sebagai panglimanya.
Dia ingat, buku yang paling mencerdaskan itu Tetralogi Buru. Bagaimana kapitalisme dan sisa-sisa feodal bekerja. Rezim di Indonesia, Jokowi yang berwajah kerakyatan itu nipu-nipu. Ketika berbicara tentang kesadaran politik cukup susah, karena sistemnya cukup menggurita. Bagaimana Tetralogi Buru menjelaskan tentang bangsa kita. Minke mencari, penjajahan bukan orang Eropa saja, tapi juga Jepang (londo cebol) hingga bangsa sendiri. Semisal di Jejak Langkah, itu potret hari ini, dari SDI juga organisasi di berbagai sektor, itu karena tulisan Minke. Dia punya media Medan Prijaji. Dia bisa provokasi untuk melawan, kekuatan yang bisa melawan ya kekuatan yang berkumpul, seperti pesantren. Kaum-kaum terdidik yang berperan. Proses Jejak Langkah inilah banyak organisasi yang dihabisi, misal Babinsa masuk.
Dalam bahasanya juga bahasa yang vulgar. Setiap malam dia mendengarkan Muhidin. Artinya, ada sejarah yang ditutup-tutupi, dari soal Minke hingga Tirto Adhi Soerjo. Intelijen sampai riset ke bawah, yang paling bahaya masuk di tengah-tengah. Tirto matinya karena sakit. Dokter sudah diintimidasi, tiba-tiba kematian dia asetnya dikuras pihak Belanda. Sampai namanya dibikin paling jelek dan amoral. Yang dia pahami tentang Pram, dia seorang Marxis, meski dia bilang seorang nasionalis. Widji Tukul juga seperti itu.
Begitu juga dengan yang dilakukan oleh Sebumi. Ini terpatri dalam karya patungnya, mau tidak mau, konsekuensi yang dialami adalah hal yang wajar. "Ayo seniman jangan berjuang sendiri-sendiri, berorganisasilah. Ayo seniman, bikin organisasi yang meluas," ujarnya.
Yang bahaya, kalau ada uangnya saja bergerak. Kalau gak ada uang gak bergerak. Jajahan kita jajahan cangkokan yang sulit dibedah.
Kemudian, Dolorosa Sinaga menambahkan, dia apresiasi acara ini sebagai mata rantai peringatan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer. Dia ingin mengkritik pelaksana teman-teman Teras Merah Kolektif, tak ada satu pun wartawan di sini. Sementara yang dibicarakan adalah terkait bagaimana membicarakan jurnalisme revolusioner. Lain kali perlu melibatkan jurnalis, bisa buat ruang konsolidasi gerakan, supaya kita bisa melakukan apa yang perlu dilakukan sekarang ini.
Selanjutnya, dia bicara kenangannya terkait Pram. Konteks lain yang perlu dicermati, yang perlu diingat dari Pram adalah peristiwa 65. Bahwa kita mendengar Pram, yang perlu dimaknai adalah peristiwa 65, dan pembantaian negara terhadap warganya. Dari 65, harus dicatat negara ini sudah melakukan diskriminasi terhadap warga, di mana korbannya di KTP ada ET. Peristiwa 65 adalah legasi rezim otoriter Soeharto. Kita ada di warisan Orba, yang memporak-porandakan tatanan. Kita bisa lihat kualitas intelektual kita dalam mengelola tata kelola negara. Membaca Pram, gimana sih menghadapi Orba? Harus realistis, kekuatan apa yang kita punya untuk melawan. Peringatan 100 Tahun Pram ini sangat penting, supaya ini jangan sekali, tapi terus-terusan.
Pembicara ketiga, Muhidin mengatakan, banyak sekali peringatan 1 abad sastrawan (Sitor Situmorang, AA Navis, Mochtar Lubis, dll), tapi tak ada yang seintens Pramoedya. Tidak ada satupun yang dirayakan dengan seni rupa sebagaimana Pram. Muhidin bertanya, ada gak sih kontribusi seni rupa kepada Pramoedya atau sebaliknya? Dia belum menemukan ada tulisan terkait. Satu-satunya hubungan dengan seni rupa adalah Jean Marais, yang mengatakan seorang terpelajar harus adil sejak dari pikiran. Walaupun tidak menulis seni rupa, tidak berarti dia menjauh dari dunia visual. Lalu jurnalistik mempertemukan semua entitas, dia sebagai jurnalis kebudayaan. Pram pernah jadi redaktur di Bintang Timur. Metode yang dia gunakan untuk menjelaskan Pram, Muhidin tidak bahas Pram, tapi orang-orang di sekelilingnya. Dia sendirian dikasi mandat, orang Partindo untuk menjadi redaktur Lentera. Sekeluar dari Cipinang jadi redaktur. Tulisan pertama yang dia luluskan adalah esai seni rupa dari Batara Lubis, dan satu lagi puisi. Batara banyak sering buat ilustrasi. Bathara perupa yang bergabung di pelukis rakyat, dan beririsan ideologis dengan Lekra. Juga poster sebagai alat perjuangan. Watak poster diajak menelanjangi musuh. "Itu bahasa Batara Lubis," katanya.
Jumat berikutnya di Bintang Timur, keluar esai Pram. Yang menarik, esai Batara Lubis muncul di edisi ketiga. Ada koneksi antara Pram dan Batara Lubis. Reportase Batara terhadap 10 pelukis mural, dan sangat bersejarah di Danau Toba (Medan). Batara Lubis sebenarnya borjuis, anak gubernur Sumut, dan melepaskan keborjuisannya. Lalu, ada tulisan dari Augustin Sibarani, Batak juga, proses melakukan rekonstruksi melukis Sisingamangaraja. Dia riset, dia bertapa memanggil roh, dan hasil gambarnya ada di ruang Rp1.0000. Siapa Augustin Sibarani? Dia pelukis, pematung, penulis, dan jurnalis. Tokoh-tokoh ini nasibnya beda dengan Pram. Seperti Batara Lubis, Sibarani nyaris tiap hari muncul di Bintang Timur. Dia pernah disogok untuk berhenti bikin karikatur mengkritik Amerika. Karikatur-karikatur bicara tanpa ragu-ragu. Sibarani di Bintang Timur dipuji setinggi langit.
Sudah dicetuskan 1960, cukup pergi kesana, sejarah lukisan bisa dinikmati. Indonesia perlu art gallery yang sekarang dikenal dengan Galnas. Jika Pram terhubung dengan Sibarani, ada satu nama lagi, Delsy Syamsumar. Yang banyak dipuji adalah karikatur, poster, akriliknya, nyaris Delsy muncul sebagai peresensi film, drama, musik, bentuknya poster yang diterbitkan Lentera Bintang Timur. Delsy tiap minggu melaporkan resensi lewat poster. Salah satu film yang bermasalah ketika buat "Holiday in Bali". Dia diancam akan dibunuh, juga dengan Pram dan Abdulllah SP (yang membongkar Hamka plagiat penulis Prancis). Yang mengurus detail adalah Delsy. Juga novel "Satu Peristiwa di Banten Selatan", itu juga kolaborasi dengan Delsy visualnya, yang dipentaskan di Jawa, Sumatra, Bali. Tanggal 22 Mei 64, dilarang dipentaskan.
Dolo menambahkan bagaimana Pram berinteraksi dengan tokoh-tokoh seni rupawan lain. Dan itu kata dia tak ada sekarang. Poster juga sekarang sudah tak jadi alat perlawanan yang kuat. Dia juga bersyukur mengoleksi ratusan karya karikatur Agustin Sibarani. Pram juga seorang wartawan, sangat jeli melihat kesempatan. Ketika kerja di Antara, dia berhasil bikin 5 buku kronik Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana karya Pram, kekuatan jurnalisme sudah dimiliki.
Sesi tanya-jawab:
Mario bertanya, seberapa berbahaya karya Pram dalam ranah gerakan Rakyat? Karya yang mana yang bahaya? Seberapa penting seni gerakan kerakyatan, dan apa itu perlu? Bagaimana seni bisa berkorelasi dengan aktivisme? Mario sudah empat kali baca Tetralogi Buru, dan menurutnya menggerakkan jiwa raga.
Tanggapan kedua bernama Halim, kalau Anda menginginkan masa depan yang baik, Anda harus berorganisasi apapun konsepnya. Tanpa organisasi gak bisa mahamin apa itu artistik, sayangnya 99% seniman gak belajar dengan baik, dan mimpi bisa buat perubahan dengan satu pameran. Ini jadi persoalan kesenian kita. Kesalahan lain, ketika memperingati Pram, kita terpatok pada figur, bukan gagasan. Terperangkap dalam glorifikasi. Empat pemuda di Jatim, nulis dengan baik. Perlu memikirkan mengorganisir gagasan dan pikiran.
Tanggapan berikutnya dari Adi (Sebumi): "Gak penting lu Marxis, Anarkis, Islamis, Nasionalis, yang penting support yang adil, benar, berpihak. Tanpa solidaritas juga kita gak bisa melawan. Empat bangsat dari PRD kurang belajar apa soal Marxis, tetap aja mereka nyemir sepatu tentara."
Bapak dari Beranda Rakyat Garuda: Pembacaan terlalu ideologis. Di setiap konteks zaman selalu muncul berbagai aliran. Tapi Pram membawa semangat emansipatoris di berbagai macam posisi. Yang susah memberi perspektif alternatif tentang tatanan masyarakat yang hadir. Ini yang kita tak punya sejak tahun 1965. Tokoh-tokoh itu anak dari zamannya, generasi itu hilang. Sekarang krisis banyak, termasuk krisis ekologis, krisis energi, kriris kapitalisme. Realitas yang harus kita sikapi sekarang. Ini yang dibutuhkan, gerakan alternatif dan emansipatoris seperti apa yang perlu kita bangun sama-sama, dan menjadi agenda besar bersama, dan butuh sebanyak mungkin orang.
Tanggapan:
Muhidin bilang, Gadis Pantai berbahaya menurut Kejaksaan Sleman. Cerita yang seintim itu dipolisi delapan tahun. Bahayanya organisasinya, Pram bukan hanya karyanya, karena berorganisasi. Ada proyek membereskan sastra Indonesia. Kapan dia berorganisasi Pram ini? Kenapa Pram kuat, karena elemen berkaryanya riset. Dia juga punya musuh militerisme dan feodalisme. Dan kekacauan negara disebabkan karena mengurusi militer.
Ibob melanjutkan, seni kerakyatan juga harus membentengi diri agar tak bersentuhan dengan elite. Misal berhubungan dengan Hanura, kader-kader PRD yang ikut gerombolan elite. Seni kerakyatan harus membentengi itu dengan metode 151 Lekra dan estetika Marxis. "Dia bergerak dengan konsep revolusioner." Jangan pengen cari popularitas dari gerakan Rakyat. Itu yang banyak. Bereuforia dengan dirinya yang tidak materialis. Bentengi diri dengan organisasi, jadi bisa bentengi mana yang baik dan tidak. Tak cuma elite-elite politik, tapi juga elite-elite budaya dan seni.
Lalu, Dolorosa mengatakan, pertanyaan Mario bisa lebih sederhana. Mencoba membahas bagaimana memandang seni vs kekuasaan. Pertama, seluruh ekspresi seni punya fungsi sosial. Kedua, semua produk seni adalah produk intellectual property rights, dia punya subjek hukum. Mana yang cepat sampai ke masyarakat? Musik (telinga), visual (mata), tubuh (tari, instalasi, dll), terakhir lewat film. Ada juga kata, lewat sastra, juga arsitektur. Seni dalam konteks menghadapi kekuasaan, ini pertemuan dua kekuatan. Semangat seni harus didorong, karena dia punya power. "Melipatgandakan diri sendiri agar jumlahnya lebih banyak daripada tentara!" tegas Dolo.
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar