Judul: Peranan Koperasi Dewasa Ini (Seri Kursus Rakyat No. 4) | Penulis: DN Aidit | Tahun Terbit: 1963 | Kota Terbit: Jakarta | Penerbit: Depagitprop CC PKI
Kurasa, ini buku berat kedua tentang koperasi yang kubaca setelah buku Moh. Hatta. Gaya tulisan Aidit bagiku sangat ideologis. Banyak PR berat yang dia tuliskan, terutama perlawanannya tiada akhir akan kapitalisme, imperialisme, dan feodalisme. Jangan sampai penyakit-penyakit mematikan ini ada dalam gerakan koperasi di Indonesia.Peranan Koperasi dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Sekarang
DN Aidit menyiapkan materi ini saat diundang oleh Kepala Djawatan Koperasi pusat pada tanggal 28 Februari 1963, dan masuk dalam Kursus Rakyat no. 4 dengan judul "Peranan Koperasi Dewasa Ini".
Di dalam buku ini, Aidit paling tidak ingin membahas tiga hal: (1) susunan ekonomi Indonesia yang hendak dibangun, (2) peranan koperasi dan perkembangannya, (3) peranan pemerintah dalam gerakan koperasi serta peraturannya. Harapannya, ceramah ini bisa mendorong dan memperlancar gerakan koperasi, sebagai "satu lapangan kegiatan" dan perjuangan dari amanat revolusi Agustus 1945, sampai ke akar-akarnya.
I. Tentang susunan ekonomi Indonesia yang hendak kita bangun sekarang
Perjuangan untuk menuju rakyat Indonesia yang demokratis (sebagaimana dicita-citakan koperasi) belumlah selesai, bahkan hingga 80 tahun Indonesia merdeka. Belajar dari sejarah, usai persetujuan KMB yang merugikan, perjuangan mengusir misi menghapuskan sisa-sisa kolonialisme hingga saat ini masih berlanjut. Termasuk bagaimana menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada saat ini. Perjuangan imperialisme dan musuh-musuh revolusi masih terus berjalan, meskipun Indonesia pernah terjebak dalam Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) di bawah naungan AS yang mengekang negara-negara di Asia Tenggara dalam rangka penguatan stabilitas politik. Di dalam negeri sendiri, tahun-tahun itu juga diiringi dengan pemberontakan DI/TII, RMS, PRRI, dan Permesta. Perjuangan melawan komprador imperialis dan kapitalis birokrat, yang disebut Soekarno "pencoleng-pencoleng kekayaan negara".
Aidit menggarisbawahi, tugas yang masih berlangsung adalah menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, untuk menuju masyarakat Indonesia yang sosialis. Untuk itu, penting bagi Aidit agar "tepat dalam pengertian, serta setia pada praktik", dalam konteks ini yang digariskan Soekarno: (1) mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme, dan demokratis; (2) Indonesia yang bersih dari kapitalisme dan dari "I'exploitation de I'homme par I'homme" (eksploitasi manusia oleh manusia). Tidak mengerti ini, tidak mengerti sama sekali revolusi. Ini pula yang membedakan revolusi Indonesia dan revolusi Prancis (1789) dan revolusi Rusia (1917). Cita-cita ini juga berarti membebaskan kaum tani dari penghisapan atas tuan tanah dan lintah darat.
Aidit kemudian menariknya pada pengalaman terkait pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA/Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan UU Perjanjian Bagi Hasil (UU No. 2 Tahun 1960)--UUPA merupakan kerangka hukum agraria nasional, sementara UU Perjanjian Bagi Hasil adalah turunan dari UUPA yang mengatur secara teknis hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap, yang meskipun sudah diterbitkan tapi tidak berarti melakukan penghapusan sama sekali dari sistem imperial dan feodal dari tuan tanah. Masih terjadi ketidakadilan dan ketidakkonsistenan. Di sini, koperasi kaum tani, koperasi pertanian, ditekankan Aidit bisa menjadi organisasi ekonomi yang bisa membantu meningkatkan taraf hidup kaum tani, serta mendorong peningkatan produksi dan memajukan pertanian.
Bagi rakyat yang telah bergaung dalam Front Nasional, terdapat beberapa tugas urgen yang ada dalam panca-program: (1) Mengkonsolidasikan kemenangan yang sudah dicapai; (2) Menanggulangi kesulitan ekonomi dengan mengutamakan kenaikan produksi; (3) Meneruskan perjuangan anti-imperialisme dan neo-kolonialisme dengan memperkuat kegotongroyongan nasional revolusioner berporoskan NASAKOM; (4) Meratakan dan mengamalkan indoktrinasi 7 bahan pokok indoktrinasi dilengkapi dengan Resopim/Revolusi Sosial dan Politik Indonesia dan Takem/Tata Kerja Ekonomi dan Manajeme yang memuat "9 Wejangan" Presiden; (5) Melaksanakan rituling--penyegaran, pelatihan ulang, atau restrukturisasi-- aparatur negara termasuk bidang pemerintahan dari pusat sampai ke daerah.
Aidit memandang, poros dari tugas-tugas urgen ini adalah menanggulangi kesulitan ekonomi lewat kekuasaan politik yang bisa mengubah sistem masyarakat, mengutamakan kepentingan mayoritas (Rakyat Pekerdja).
II. Tentang peranan, lapangan kegiatan dan perkembangan gerakan koperasi
Rakyat pernah dijejali dengan demagogi (tokoh yang memanipulasi emosi, prasangka, dan ketakutan rakyat) terkait koperasi oleh kaum reaksioner yang menyesatkan. Mengutip Hatta, "Koperasi adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kemakmuran bagi bangsa kita yang masih lemah ekonominya." Di sini Aidit mengkritik, Hatta lewat gagasannya ini tidak ditujukan untuk memberantas kekuasaan kapitalis-imperialis dan feodalisme, dan bertentangan dengan amanat Soekarno di Hari Koperasi 1962, bahwa tujuannya bukan sekadar masyarakat kapitalis dengan koperasi, dengan koperasi buruh/tani di dalamnya, tapi perjuangan anti-kapitalisme dan menuju sosialisme. Ada keraguan juga, koperasi tidak begitu diperlukan sekarang, karena tidak membawa hasil apa-apa bagi Rakyat. Dianggap pekerjaan mengorganisasi koperasi rakyat tak ada gunanya.
Menurut Aidit, hal itu tidak tepat, karena Rakyat ingin memperbaiki tingkat hidup dan membutuhkan koperasi sebagai alat menuju perbaikan. Ada dua sisi positif dari koperasi. Pertama, koperasi memiliki unsur mempersatukan pekerja menurut lapangan hidup masing-masing (di tengah diferensiasi kerja yang ada). Dengan persatuan inilah bisa mengurangi penghisapan dari tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, dan kapitalis. Namun, di sini koperasi hanya mengurangi, tidak menghapuskan kapitalisme yang jadi tugas revolusi. Kedua, koperasi bisa meningkatkan produksi, menambah penghasilan bagi anggota. Pengalaman rakyat terkait koperasi yang sudah-sudah bisa menjadi pengalaman berharga untuk membentuk koperasi tingkat tinggi, atau istilah Aidit "koperasi yang bersifat sosialis di masa yang akan datang".
Tentu ada beda yang besar antara koperasi di bawah kapitalisme dan sosialisme, terutama dalam hubungan hak milik. Dalam sistem sosialis, koperasi produksi pertanian, tanah, dan alat-alat produksi adalah milik kolektif. Hal ini tak terjadi di koperasi di bawah kapitalisme. Ini bisa terjadi jika sudah ada perubahan tanah (land reform) seluruhnya.
Usaha ini dilakukan secara bertingkat-tingkat sesuai tingkat kesadaran: (1) organisasi yang mengandung bibit sosialisme di kalangan petani, (2) pengorganisasian koperasi pertanian setengah sosialis, karena alat masih dimiliki perorangan, (3) koperasi tingkat tinggi yang sosialis sepenuhnya, dari milik perseorangan jadi milik kolektif. Jadi masa ini bagi Aidit merupakan masa peralihan. Penguatan dilakukan di ekonomi negeri, dengan pembantu dan pemerkuatnya adalah sektor swasta. Aidit mewanti-wanti jangan sampai koperasi berkembang ke badan-badan kapitalis. Kukira ini bisa jadi renungan pula di Koperasi Perumahan, bagaimana koperasi perumahan tidak jatuh ke lembaga-lembaga kapitalis ini? Atau yang lebih Advance, kapitalis yang bergandengan dengan negara (neoliberalisme). Aidit menyebut, "Koperasi progresif harus bisa menjadi senjata di tangan rakyat pekerja untuk melawan penghisapan tuan tanah, lintah darat, dan kapitalis." (p. 16)
Dua kecenderungan yang perlu dihindari oleh gerakan koperasi yaitu, (a) kecenderungan kekiri-kiran yang tak sesuai dengan cita-cita revolusi, yang menganggap koperasi sekarang adalah koperasi sosialis, tapi isinya para kapitalis birokrat, komprador, dan tuan tanah; (b) kecenderungan kekanakan, di mana koperasi jadi tempat menjalankan praktik-praktik kapitalis. Di tengah situasi koperasi ada di tengah struktur kemodalan, sektor swasta asing, hingga ekonomi feodal desa. Kapitalis yang menyelundup pada gerakan koperasi dan "berjubah koperasi". Bagi Aidit, "Dasar koperasi pada pokoknya ialah kerja sama antara mereka yang lemah ekonominya, agar dengan bersatu dan saling bantu mencapai perbaikan tingkat hidup." (p. 16-17). Di sini sarat bersama dan sukarela menjadi penting, tidak ada lintah darat di sana karena kepentingannya bertentangan.
Di sini, Aidit memberikan ilustrasi tentang orang-orang yang berbeda kepentingan berada dalam koperasi yang sama (bagaimana menentukannya?), dia memberi contoh di salah satu desa di Purwokerto. Di sana dibangun koperasi simpan pinjam, di mana seluruh masyarakat desa otomatis jadi anggota koperasi. Modal pertama diambil dari penjualan gula distribusi kepada penduduk dan modal tambahan dari uang tabungan para anggota. Di sana, para golongan tuan tanah, petani kaya, tengkulak, hingga lintah darat ikut bergabung. Semua boleh pinjam, tapi bunganya sangat tinggi, 10 persen dalam 35 hari atau 104 persen setahun! Ini pemerasan bagi petani miskin. Pengurus harus bersikap keras. Petani juga kena intimidasi sehingga harus menjual tanah dan hasil taninya dengan harga murah untuk melunasi pinjaman. Aidit merasa praktik ini lebih busuk daripada itu, dan contoh-contoh seperti ini masih banyak.
Kukira di Koperasi Perumahan, hal ini juga perlu mendapat perhatian yang serius. Kaum produsen yang menjadi anggota koperasi jangan sampai menyerahkan produksinya kepada koperasi sehingga koperasi menjadi "single buyer" dengan harga yang lebih rendah dibandingkan di pasar bebas. Perkembangan gerakan koperasi harus ditujukan pada lapisan terbesar dari massa rakyat pekerja (kaum tani, dalam konteks kota, kaum buruh). Kaum tani ini bisa dibagi lagi, ada kaum tani miskin, tani sedang, dll. Perhatian pada kaum tani miskin dan sedang ini untuk meningkatkan produksi pertanian mereka melalui sistem cooperative marketing, koperasi jual beli untuk mendapatkan pasar yang baik dari barang yang sudah diproduksi. Aidit menyebut, koperasi serba-usaha (multipurpose cooperative) menjadi jenis koperasi yang tepat. Koperasi ini juga perlu mendapat bantuan pemerintah, dan perlu dipastikan tidak dipimpin oleh elemen-elemen yang korup. Tapi memilih pemimpin yang jujur, cakap, dan Manipolis. Namun, hal utama yang perlu dipastikan adalah pelaksanaan land reform sebagai syarat perkembangan koperasi.
Tak hanya itu, Aidit juga mengajak para pemuda dan kaum perempuan untuk terlibat. Pemuda di sini punya daya yang lebih besar, sementara kaum perempuan lebih cermat dan teliti, yang mendorong koperasi bisa bekerja dengan baik. Di sini, kaum buruh dan pegawai negeri juga perlu koperasi karena gaji yang kecil, baik untuk bangun rumah, beli kendaraan, atau keperluan kenduri. Di sini bukan berarti pemerintah dan perusahaan kemudian lepas tangan, perlu ada pemeliharaan dan jaminan sosial yang menjadi tanggungjawabnya. Begitu juga dengan kaum perajin dan nelayan juga perlu koperasi. Karena koperasi nelayan lebih diperuntukkan bagi mereka yang bekerja, alih-alih untuk juragan perahu atau pawang ikan yang tak bekerja. Di sisi lain, kaum miskin kota membutuhkan pula koperasi konsumsi yang meringankan beban hidup. Juga kaum pedagang kecil juga butuh kredit untuk beli barang. "...terbentang lapangan yang luas bagi kegiatan gerakan koperasi, lapangan kegiatan yang hanya mungkin dihadapi dengan ketekunan, kecakapan, dan kejujuran daripada kader-kader atau aktivis-aktivis gerakan koperasi kita." (p. 21)
Jika disingkat, ada tiga jenis koperasi yang dibutuhkan: koperasi kredit, produksi, dan konsumsi. Koperasi juga perlu disertakan di samping RT/RK dan swasta nasional. Usaha ini akan meningkatkan ekonomi negeri dan swasta sekaligus, gerakan koperasi adalah motor penggerak menuju ekonomi nasional-demokratis; asalkan, tidak digabungkan dengan praktik lintah darat, tuan tanah, pencoleng, dan tengkulak. Di tulisan ini, Aidit juga menyebut jumlah koperasi primer beserta anggotanya tahun 1961. Ada 34.780 koperasi primer dengan 6.3332.368 orang anggota. Jumlah simpanan Rp1,6 miliar, perputaran Rp5,5 miliar, dan dana cadangan 153 juta. Di masa depan, koperasi pertanian cukup mendesak karena jumlah tani yang besar (dengan lebih dulu land reform). "Di dalam gerakan koperasi, kader-kader atau aktivis-aktivis Nasakom harus bersatu dan berlomba-lomba bekerja baik bagi kepentingan massa anggota koperasi dan massa rakyat." (p. 23)
III. Tentang peranan pemerintah dalam mengembangkan gerakan koperasi dan beberapa persoalan Undang-Undang Koperasi
Pada bab ini, Aidit menekankan perlunya peran besar pemerintah dalam mengembangkan gerakan koperasi baik langsung maupun tidak langsung. Pemerintah perlu melaksanakan garis-garis Manipol dan MPRS untuk melikuidasi kapitalis birokrat, komprador, dan tuan tanah. Kaum buruh dan tani juga melaksanakan dukungan sosial dan kontrol sosial dalam ekonomi, khususnya dalam produksi, yang di sisi lain memperbaiki syarat materiil kehidupan buruh dan tani.
Produksi ini juga perlu diiringi dengan kestabilan finansial. Beberapa upaya yang dilakukan, pemerintah perlu menguasai ekspor bahan-bahan penting, menyesuaikan impor dengan rencana pembangunan dalam negeri, mencegah inflasi gila-gilaan, dll. Kehidupan koperasi juga bergantung dengan fasilitas-fasilitas dan kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah, keringanan pajak, hingga mengusahakan pendidikan bagi anggota koperasi. Secara regulasi saat itu, gerakan koperasi diatur dalam UU No. 79/1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan PP No. 60/1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi. Aidit mengusulkan beberapa perubahan dalam dua regulasi tersebut, khususnya tentang definisi, lapangan usaha koperasi, prinsip-prinsip demokrasi, peranan pemerintah, dan daerah bekerja koperasi.
Pertama, terkait definisi, Aidit berpandangan, definisi koperasi harus sesuai dengan jiwa koperasi yang dimiliki oleh rakyat pekerja di Indonesia maupun dunia. Dalam pengertian umum, koperasi adalah "sejumlah orang mengadakan perkumpulan untuk memungkinkan secara kerja sama mencapai hasil-hasil yang lebih menguntungkan daripada kalau dikerjakan sendiri-sendiri oleh orang-orang itu." (p. 26) Pengertian ini tak didebatkan, tapi yang mendapat perhatian adalah adanya rumusan yang tegas terkait berbedaan koperasi dengan badan-badan ekonomi kapitalis seperti NV, PT, firma, dll. Di UU 79/1958, koperasi tidak merupakan wadah konsentrasi modal. Dia merasa masih ada regulasi yang umum, samar-samar, karet, dan mudah disalahgunakan secara praktik.
Sementara itu, Aidit menyebut definisi koperasi dalam empat prinsip pokok: (1) Ia adalah perkumpulan orang-orang dan bukan kapital. (2) Anggota-anggota perkumpulan itu mempunyai hak sama, peraturan yang berlaku adalah satu anggota satu suara. (3) Masuk-keluar perkumpulan adalah sukarela. (4) Perkumpulan mempunyai tujuan di mana anggota-anggotanya mempunyai kepentingan bersama dan pelaksanaannya memerlukan bantuan dari masing-masing anggota. "Menetapkan definisi-definisi yang dengan tegas membedakan koperasi daripada badan-badan ekonomi kapitalis adalah penting untuk mencegah penyelewengan." (p. 27)
Kedua, lapangan usaha koperasi, ini perlu diteliti mana yang paling sesuai dengan kepentingan golongan-golongan massa rakyat saat ini. UU Koperasi merumuskan lapangan usaha koperasi yang akan menentukan jenis koperasi. Aidit menekankan, ketentuan yang terlalu luas dan umum tentang lapangan usaha koperasi akan menjadi celah penyelewengan yang merusak tujuan. Penetapan anggota yang jelas juga penting, pasal ini terlalu luas dan tak ada batas, "...tidak hanya berdasarkan kepentingan-kepentingan yang bersamaan saja, melainkan juga yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang satu sama lain ada sangkut pautnya secara langsung." (p. 28) Karena memungkinkan masuknya orang-orang yang punya kepentingan berlawanan. Sekali lagi, jangan ada penghisapan manusia atas manusia dalam koperasi.
Ketiga, mengenai prinsip demokrasi daripada koperasi, dalam pasal UU Koperasi disebut kekuasaan tertinggi ada pada rapat anggota. Tapi ada pasal nyeleneh, yang memberi hak istimewa kepada pejabat untuk memutuskan pembubaran koperasi. Pasal ini menciderai keputusan rapat anggota dan badan pimpinan koperasi. Aturan ini dikhawatirkan memunculkan ekses-ekses. Selain itu, bantuan dari pemerintah dan bantuan dari luar gerakan koperasi bersifat bantuan sukarela.
Empat, mengenai peranan pemerintah dalam gerakan koperasi, hal ini perlu secara jelas ditetapkan. Gerakan pemerintah ini selaras dengan gerakan memperbaiki koperasi. Anggapan pemerintah tak usah turut campur ini dirasa Aidit tidak tepat, karena di baliknya ada maksud liberal, bahkan maksud yang menyimpang dari jiwa dan tujuan koperasi. Namun, pemerintah juga perlu tahu batas, jangan sampai ikut campur terlalu banyak pada internal koperasi, yang memungkinkan penyelewengan oleh pejabat yang tak baik.
Kelima, daerah kerja koperasi, ini perlu jelas. Di UU Koperasi diatur, diizinkan ada dua atau lebih koperasi sejenis dan setingkat dalam salah satu daerah kerja, maka pejabat wajib mengusahakan penyatuan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Peraturan ini bisa memunculkan penyalahgunaan tertentu seperti monopoli oleh salah satu golongan dalam gerakan koperasi.
Aidit menuntut mutlak perlu ada pengubahan sistem masyarakat dengan melikuidasi penghisapan-penghisapan besar di kota dan desa, menghapuskan kekuasaan kapitalis birokrat, komprador, tuan tanah, dan setan-setannya. Ini kata Aidit menjadi Program Front Nasional, yang berporoskan Nasakom dari atas ke bawah, dari pusat ke daerah. Di bab ini, Aditi menutupnya dengan harapan-harapan: (1) Gerakan koperasi supaya betul-betul menjadi gerakan ekonomi yang berjuang untuk perbaikan tingkat hidup massa anggotanya, massa rakyat pekerja yang ekonominya lemah, di bawah bendera koperasi progresif. (2) Sebagai koperasi progresif, gerakan koperasi tak hanya ambil bagian dalam kegiatan ekonomi, tapi juga kegiatan revolusioner. (3) Sudah saatnya gerakan koperasi menyimpulkan pengalaman dari kegiatan gerakan koperasi selama ini, sehingga bisa mengembangkan sisi-sisi positif dan menghilangkan segi-segi negatif.
Kembangkan gerakan koperasi untuk mengurangi kesulitan-kesulitan beban hidup rakyat dan dalam rangka membangun ekonomi nasional
Bab terakhir ini disampaikan Aidit selaku Wakil Ketua MPRS pada Musyawarah Pembiayaan Koperasi tanggal 13 November 1962 di Cipayung.
Dia membuka pidatonya dengan optimisme bahwa gerakan koperasi di Indonesia telah mengalami kemajuan. Dari data, koperasi konsumsi telah ada di semua daerah tingkat I, juga hampir semua daerah di tingkat II, dan mulai merata di desa-desa. Koperasi di Indonesia juga bergerak di sektor ekonomi negara dan swasta nasional. Aidit mengutuk para "pseudo koperasi", yang dia tulis sebagai, "Usaha-usaha beberapa golongan yang untuk kepentingan golongan itu sendiri, mempergunakan nama Koperasi. Terutama mereka itulah yang selalu mempergunakan dan menuntut kepada hak koperasi, tetapi tanpa memperhatikan kebutuhan daripada konsumen." (p. 36) Golongan ini mempergunakan rakyat untuk koperasi, dan bukan sebaliknya, koperasi untuk rakyat. Cara ini dianggap sebagai cara kapitalis dan bertentangan dengan asas kekeluargaan, asas sosialis, dan asas koperasi.
Aidit mengingatkan, kita tak bisa menutup mata dari perkembangan-perkembangan negatif yang nyata terjadi terhadap koperasi dan perlu diatasi. Inti pokoknya ada pada prinsip koperasi, pembangunan organisasi, dan kegiatan sehari-hari. Aidit berharap gerakan koperasi bisa tumbuh sebagai "pohon di udara bebas dan jangan seperti 'kamerplant' (tanaman penghias kamar) yang hidup karena disirami terus menerus". Gerakan koperasi perlu melawan liberalisme dan menjauhi terus menerus sifat perusahaan kapitalis.
Dalam kesempatan ini, dia menekankan perlunya pembicaraan tentang persoalan pembiayaan koperasi. Alasannya, (1) Persoalan ini perlu dipecahkan berdasarkan perkembangan kebutuhan gerakan koperasi, (2) Musyawarah bisa menghasilkan kesimpulan yang tegas dan konkret untuk mendorong gerakan koperasi agar sesuai asas. Serta, melalui bimbingan dan pengawasan dari petugas di Departemen Koperasi seluruh negeri, maka kredit-kredit perlu digunakan secara efektif dan efisien dalam kegiatan ekonomi. Dia berpendapat, penyaluran modal dan kredit swasta nasional yang progresif kepada kegiatan gerakan koperasi adalah hal yang bisa direalisasi, apabila dilakukan oleh pihak yang progresif, dan bukan prinsip kapitalis. Dasarnya sama-sama anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Dan kata Aidit, penggalangan modal koperasi tidak bisa diharapkan dari jumlah yang besar, karena bukan koperasi kapitalis, dan koperasi juga bukan konsentrasi modal. Sehingga koperasi pun harus dijalankan dengan prinsip tidak memberatkan anggotanya.
Jakarta, 17 Mei 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar