Aku agak lupa, sepertinya ini buku kedua Najib Mahfuz, novelis Mesir dan peraih nobel sastra tahun 1988 itu yang pernah kubaca. Aku akan mencatat kesan-kesan yang kudapat setelah membaca buku ini. Ini murni catata, dan bukan resensi. Aku tak mau membebani diriku dengan analisis berat, karena aku sadar diri akan kemampuanku yang sepertinya belum sampai sana. Aku masih punya kekaburan untuk membuka pintu refleksi yang lebih luas. Jadi, sekali lagi, aku hanya akan menulis murni hal organik yang kudapat, sehingga pembacaanku ini juga akan terasa lebih jujur.
Buku ini kubeli saat ulang tahun Marjin Kiri ke-20 di Gudskul Ekosistem. Bisa dibaca sekali duduk dalam waktu sekitar 1-2 jam, jadi tidak lama. Dari pembukaan buku oleh jurnalis Muhammad Syu'air, Najib sepertinya punya hobi menulis menggunakan tangan, pena, dan kertas. Najib akan sering menyobek-nyobek kertas tulisannya yang dia rasa jelek. Sobekan itu bisa dihamburkannya di ruang kerja atau rumah. Untuk karyanya yang baik, dia menyimpannya di sebuah kotak. Dan dari kumpulan cerita yang mungkin jumlahnya ratusan itulah, 18 di antaranya dibukukan dalam buku ini. Sastrawan sepertinya punya mitos-mitos sendiri yang membuat orang bergidik, tapi ya, dengan cara itulah mereka bekerja.Dari 18 cerpen itu, atau fiksi pendek itu, bisa kau baca kurang dari lima menit, karena hanya satu, dua, atau paling banyak empat lembar. Jadi kau tak akan kesusahan untuk menikmatinya secara potongan dari halaman mana saja. Isu ke-Islaman sangat kental di sini, kamu bisa menemukan berbagai untaian moral Al-Quran dengan bahasa Najib sendiri. Banyak cerita di buku ini berakhir dengan mengambang, menggantung, dan tak selesai, seolah pembacanya sendiri yang diminta mengandai-andai akhirnya seperti apa. Aku sendiri kurang bisa melanjutkan, karena imajinasiku akan orang-orang Arab dan Timur Tengah masih sangat terbatas. Ya, barangkali aku perlu banyak nonton film TimTeng. Banyak nama-nama Arabik yang susah kau ingat karena tak biasa.
Secara keseluruhan setelah aku membaca buku ini, aku mendapat kesan kehidupan masyarakat Mesir di sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala kampung, dengan benteng yang dihuni jin di kampung tersebut, dan gejolak masyarakat sekitar yang menimpanya. Misalnya, kisah seorang perempuan membawa anak yang terus menerus berseliwertan di toko milik tuan kaya. Si perempuan tak mau pindah karena anak yang dibawanya itu adalah anak si tuan pemilik toko yang tidak dia akui. Hingga si tuan pemilik toko gila sendiri. Aku cukup amazed dengan kekuatan tekad si perempuan miskin ini. Isu kelas tentu ada, tapi tekad manusia di sini bagiku lebih penting. Perempuan ini bernama Zakiya.
Kisah lain yang bagiku unik, bagaimana seorang anak bungsu yang ditinggal mati oleh seluruh keluarganya (aku lupa entah karena perang atau bencana atau kutukan), dan ayah si anak ini menitipkan pesan, jika anak bungsunya hidup, dia diserahkan jadi pelayan surau, mengabdikan diri ke Allah. Namun, setelah tumbuh remaja, anak ini melakukan pemberontakan. Dia ingin ziarah ke makam orangtua, tapi imam bilang hari ini bukan musim ziarah (dalam hati, anjay, ziarah aja dimusimi, beda banget sama Indonesia). Akhirnya dia nekat ziarah dan mengaku telah bertemu arwah orang-orang yang meninggalkannya. Dia juga tertarik pada benteng yang dimitoskan jadi rumah jin, si anak ini mendatanginya. Akhir berakhir menggantung, anak ini seperti "gila" kembali.
Lalu ada pula kisah, sebuah wabah menangis yang terjadi di kampung dekat benteng (aku menduga-duga, barangkali Najib memang tinggal di dekat benteng). Setiap orang pergi ke pasar, misal membeli acar atau makanan, saat sedang membungkus makanan, atau menyiapkannya, tiba-tiba si penjualnya menangis. Ini terjadi meluas, tak hanya di pasar, tapi juga rumah-rumah. Kepala kampung akhirnya mendatangi imam kampung, seorang perempuan tiba-tiba juga menyeletuk jika penyakit itu bisa disembuhkan dengan tarian sufi. Entah apa hubungannya, tapi yang kutangkap penyakit ini tak terselesaikan, malah si imam sendiri yang ikut menari di sebuah rumah warga yang dia berprofesi sebagai pemilik hiburan semacam disko gitu.
Cerita lain yang kuingat tentang tukang roti yang kawin lari dengan seorang perempuan anak pengusaha kaya. Anak perempuan ini satu-satunya anak perempuan di keluarga. Dia lari membawa perhiasan ibunya. Lalu mereka menikah di daerah lain dan mendirikan toko roti yang akhirnya sukses. Si Bapak di suatu waktu mendapati dunia berputar seperti roda, usahanya bangkrut. Nasib terbalik, si menantu akhirnya mengirimkan bantuan ke si mertua. Hingga si mertua di akhir cerita berkata, anak perempuannya telah mengambil keputusan yang tepat. Wow, aku cukup mind blowing di sini. Seperti ada penjungkirbalikan fakta yang dilakukan oleh Najib Mahfuz akan nasib.
Kisah-kisah lain yang diceritakan Najib, seperti soal kisah perempuan yang bunuh diri dengan membakar diri karena tahu ibunya adalah perempuan tuna susila sementara dia baru menikah sebulan, salah seorang pria (yang juga imam) menyukainya seolah dilangkahi karena kelamaan. Dia merasa bersalah seperti menyebar fitnah akan ibu perempuan ini kemudian juga menjadi gila. Ibnu Hara, kasihan dia. Ramalan Namla, tentang orang gila yang stress, yang bisa berimajinasi bisa menyembuhkan orang lain dan termahsyur. Namun dia juga membuat ramalan sendiri terkait akhir hidupnya, di kelilingi orang-orang besar. Memang terjadi, tapi dalam kondisi mengenaskan, dan orang-orang besar yang dimaksud adalah semacam polisi, jaksa, atau struktur pejabat formal lain yang dingin. Bagiku ini ironi. Lalu kisah Hasan el-Dahshan yang menikah berkali-kali dan hidup seperti sial melulu, dan akhirnya tertarik pada pembantunya sendiri. Ini juga ironi. Bahkan di cerpen "Bisik Bintang" yang jadi judul utama buku belum bisa kutangkap dengan baik apa maknanya.
Cerpen-cerpen di buku ini bukan untuk pembaca cerpen pemula. Plot twist-nya berjalan dengan zigzag alih-alih bisa kau duga. Karena tipis, aku sepakat jika tidak terjadi kedalaman yang dibangun dengan utuh. Karakter tokoh merentang panjang dari orang terbuang dan gila, hingga para bangsawan dan pengusaha kaya raya. Dari anak-anak sampai golongan tua. Dan mungkin ketika aku lebih tua, aku bisa lebih baik memahami buku ini.
Judul: Bisik Bintang | Penulis: Najib Mahfuz | Penerbit: Marjin Kiri | Jumlah halaman: vi + 78 | Penerjemah: Muasomah | Cetakan: Edisi pertama, Desember 2020

Tidak ada komentar:
Posting Komentar