Dalam rangka memperlancar upaya mengikhlaskan patah hatiku, seorang pembimbing menyarankanku untuk melakukan misi. Dia mencontohkan, aku bisa baca 10 buku dalam 10 hari, dan misi lain, tiba-tiba ada yang lewat bilang, kenapa aku tak mendalami film sufi saja? Hingga dengan upaya yang paling random dan effortlessly, aku ngetik "sufism film" di YouTube, dan bertemulah aku dengan film "Bab'Aziz: The Prince That Contempleted His Soul", yang rilis pertama kali di Swiss tahun 2005. Agak aneh rilis di Swiss, berhubung ini film berbahasa Arab, keprancis-prancisan, dan digarap oleh sutradara Tunisia Nacer Khemir.
Film ini digarap dengan banyak sekali simbol yang ditampilkan. Dibuka dengan seorang kakek tua (the kind of darwish) bernama Baba Aziz (Parviz Shahinkhou) yang hendak pergi ke sebuah tempat bersama cucu perempuannya bernama Ishtar (Maryam Hamid). Anehnya, dia tak tahu di mana tempat yang dituju itu, sebuah perkumpulan para darwish yang hanya dilakukan beberapa puluh tahun sekali. Baba Aziz dan Ishtar selama perjalanan itu banyak bercengkerama hal-hal yang kurasa "sufistik".
Baba bilang, dia tak tahu kemana, tapi bagi orang yang beriman, jalan itu pasti ada. Orang-orang yang semesta "undang", entah bagaimana pun caranya, akan selalu menemukan jalan untuk tiba. Baba juga bilang, orang yang tenteram itu tak pernah kehilangan jalannya. Yang menarik bagiku tentu sosok Ishtar, meskipun muda (kira-kira dia berumur 8 tahun, seperti anak SD kelas IV), dia ini old soul, jiwanya tua. Dia suka diberi cerita, dan Baba bercerita tentang seorang pangeran di gurun pasir, yang mengejar sebuah kijang gurun dengan kuda.
Namun, pangeran gurun itu malah berubah menjadi agak lain, entah gila entah terlalu reflektif. Dia menemukan sebuah kolam kecil, dan berkaca di kolam itu tiap hari. Seorang darwish yang melayaninya ikut menjaga si pangeran, aku gak tahu ini simbol apa. Namun aku melihat, si pangeran yang awalnya hidup khas raja, dengan melihat perempuan menari sambil diiringi lagu-lagu, sampai dia dijebak kijang (kijang yang juga berteman dengan Baba di masa present dia bercerita, kijang itu bahkan luluh sama Baba, dielus-elus kayak ngelus kucing).
Kisah film ini gak linier. Belum selesai di kisah pameran, ketika Baba dan Ishtar sampai di sebuah pemukiman padang pasir dan mencari makan (Ishtar ini juga agak aneh, dia kadang main serobot dan gak mau antri pas minta makan di daput umum), ketika makan bersama Baba, tiba-tiba sekelilingnya ramai. Ndilalah, ada orang yang menceburkan diri ke dalam sumur. Pria naas itu bernama Osman, untungnya dia diselamatkan masyarakat lokal setempat. Osman bilang, dia menemukan Istana di sumur itu.
Flashback kemudian, bagaimana Osman bertemu dengan pria yang suka main-main dengan burung di sangkar, lalu memberi Osman surat yang ditulis di kain seperti sapu tangan. Surat itu diberikan ke seorang perempuan, yang kayaknya dengan perempuan ini, Osman punya hasrat. Sayangnya, perempuan ini sudah bersuami. Ketika suaminya datang, dan terlihat si peremuan dan Osman sedang bergenit-genitan, karena isi sapu tangan itu semacam puisi menggoda, suami si perempuan datang. Osman shock dan langsung lari terbirit-birit seperti dikejar setan; ada yang menyebut Osman ini memang dijadikan mainan setan; terus ketika sampai di atap, dia gak tahu kalau bawahnya itu sumur, jatuhlah dia.
Tapi sebelum ke cerita Osman, ada pula kisah saudara kembar yang karakternya beda 180 derajat. Satunya di masjid, satunya di tempat khamr dan maksiat. Salah satu anak kembar ini namanya Hasan, satunya rapi, satunya berantakan. Hasanlah yang nanti di akhir film, yang mengubur Baba Aziz, karena di akhir cerita, Baba Aziz meninggal. Di antara latar sumur, ada juga sesosok orang yang giat banget nyapu. Uniknya, lalu ada nyanyian, yang coba kureka ulang kalimatnya jadi gini, "bersihkanlah halaman itu seperti kau membersihkan hatimu. Tuhan akan datang jika kamu membersihkan rumah seperti membersihkan hatimu."
Kira-kira gitulah ya, nah, sosok orang yang bersih-bersih ini juga yang ditampilkan ulang ketika Baba dan Ishtar sampai di sebuah rumah atau kerajaan gitu, dia seperti menguras pasir dari bawah ke atas. Kupikir itu kegiatan yang sia-sia karena pasirnya ditiup angin dan akan ke bawah lagi. Tapi pesan yang sama selalu diulang, bersihkanlah yang nampak, seperti halnya kau membersihkan hal yang tak nampak. Pembacaan dekat (close reading) film ini juga pernah terbit di salah satu jurnalnya Taylor and Francis, judulnya "Sufi Aesthetics and Cinematic Journeys: A Close Reading of Bab’Aziz: The Prince Who Contemplated His Soul" karya Pervez Khan. Disebut film ini tuh dibuat pasca tragedi 9/11, dia juga ngulas soundscape film yang diambil langsung dari tempat syutingnya. Keren sih.
Dalam perjalanan Baba Aziz dan Ishtar, ada sesosok pemuda yang menemani perjalanan mereka juga bernama Zaid. Dia pinter dan merdu banget soal nyanyi dan bersyair. Namun, dia punya motif lain dalam perjalanannya, dia ingin menemui kekasih hatinya bernama Noor. Kisah Noor ini juga tragis juga karena dia sedang mencari ayah, sambil dia menyamar menjadi laki-laki lewat pakaian Zaid. Sebab, kalau dilihat dari latar sosial-budayanya, itu tempat gak ramah dengan perempuan yang pergi jauh-jauh sendirian. Entah alasan budaya atau agama, intinya perempuan masih dikekang. Baba bilang, Zaid bisa bertemu dengan Noor lewat nyanyian, dengan dibantu Ishtar setelah dia kena demam, Zaid pun akhirnya ketemu dengan Noor.
Baba juga pernah bilang ke Ishtar, ketika bayi berada di kandungan ibunya, dia mengetahui semua rahasia alam semesta. Namun, ketika dia dilahirkan di dunia, malaikat menutup mulutnya agar rahasia itu tak terbongkar. Tanda-tanda malaikat menutup mulut bayi itu Baba temukan di wajah Ishtar. Ini bagiku agak sufistik juga. Pesan utama yang kutangkap dari film ini: perjalanan dari yang nampak ke tidak nampak ini bakal berat banget seperti perjalanan Baba. Namun, bagi mereka yang beriman, mereka tak akan merasa tersesat, dan mereka akan selalu bisa menemukan jalan.
Di film ini aku belajar banget semangat ber-Islam dari Baba. Bahkan, dia yang buta tetap bisa solat waktu di situasi segersang gurun pasir tersebut. Dia solatnya gak pakai air, tapi tayamum pakai pasir. Di sini aku melihat Islam dengan wajahnya yang lain. Si sutradara yang nuntut ilmu sampai ke negeri Prancis itu pernah bilang gini juga:
"I would explain it with this allegory: if you are walking alongside your father and he suddenly falls down, his face in the mud, what would you do? You would help him stand up, and wipe his face with your shirt. My father’s face stands for Islam, and I tried to wipe Islam’s face clean with my movie, by showing an open, tolerant and friendly Islamic culture, full of love and wisdom . . . an Islam that is different from the one depicted by the media in the aftermath of 9/11."
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar