"The
SAGE Handbook of Marxism" bagian I
“Reworking the Critique of Political Economy” tadi
malam kami lakukan. Tema-tema terkait Marx ini memang sesuatu yang helikopter, kami
bersepakat memang bahasan terkait ekopol ini cukup banyak dan berat.
Kami merefleksikan keseluruhan bagian di bab 1 mengulas terkait fenomena kapitalisme di masa lalu dan di masa sekarang yang sudah jauh berbeda.
Setiap pemikir di
masing-masing chapter berusaha ditarik sesuai dengan kondisi di masa sekarang.
Sehingga perlu dipikirkan lebih mendalam terkait: “Kapitalisme macam apa yang
kita hadapi sekarang? Masalah sehari-hari apa yang berhubungan dengan modal dan
kelas yang dihadapi saat ini?”
Kawan lain berpendapat pula jika dilihat, bahasan Marx ini seperti kultur sekolahan. Marx dirasa kaku, old school culture, kurang bersastra, dan bikin capek. Apalagi membaca Marx tua yang kerasa kaku bin njiletnya. Belum bisa membawakannya ke dalam selubung yang lebih enak, seni, dan sastra.
Meski jika dipikirkan ulang,
“bagaimana manusia dilepaskan dari hakikatnya” itu juga sesuatu yang puitis. Walaupun
secara sastrawi atau akrobatik kata belum seperti Zarathustra yang berani
mengatakan, “Saya suka dengan kehidupan yang penuh rasa takut dan kebosanan,
itu bagus.”
Di sisi lain pembahasan di bab-bab ini juga memberikan pesimisme baru, tentang keterasingan kita yang semakin tersedot, memikirkan bagaimana menjadi buruh yang bebas? Atau menanyakan ulang, kerja yang benar-benar kerja itu apa? Disibukkan dengan kerja dan berakhir dengan “yang penting kerja.”
Sama dengan tradisi “yang penting makan dan kenyang”, padahal dulu makan adalah sesuatu yang sakral, dipilih dari benih baik, cara mengolah yang tepat, hingga proses sakral yang ada di jamuan makan.
Ofek dan Sulkhan bercerita, grup Simulakra ini diawali dari
wacana cultural studies saat dia dan teman-temannya menempuh studi S2. Bahasan terkait
ekopol media yang kompleks dan dirasa masih sangat konspiratif.
"Setiap orang mengalami kapitalisme masing-masing,” kata Ofek.
Kapitalisme memiliki peran besar dalam keseharian, dalam
prakteknya membuat stres, bertahan hidup dalam kondisi yang sebegitu rupa,
kerja sedemikian memuyengkan, masih memikirkan untuk ke depan harus bagaimana? Yang
membahasnya secara serius pun kebanyakan masih di kolamnya para akademisi.
Di tingkat lapangan, bahasan ini akan mengembalikan pada orang-orang yang “berjuang” baik di tingkat urban, rural, adat, dlsb. Terutama masalah terkait otomatisasi mesin yang semakin canggih, dan itu dirasakan oleh banyak profesi.
Membaca Marx secara lebih kontemporer kemudian dibutuhkan
sesuai dengan preferensi dan orientasi masing-masing. Mendekorasinya dengan
bab-bab lain kehidupan, apakah dengan ilmu psikologi, spiritualisme, hingga
mindfullness marxis.
Diskusi ditutup dengan beberapa evaluasi:
- Tidak ada target angka/jumlah yang muluk-muluk, hanya lakukan saja dengan konsisten.
- Ada penjaga gawang di setiap bab yang bertanggungjawab untuk membaca.
- Ada ide pembuatan “call paper” atau esai sebelum diskusi bagi yang mampu.
- Membuat diskusi selingan agar tidak kaku, seperti bahas Nietszche atau Freud.
- Ada selingan atau ice breaking selama diskusi, seperti pembacaan puisi, jokes, cerita, dll.
- Satu per temuan bisa bahas 3 bab sekaligus sehingga satu buku bisa selesai.
- Teknik moderasi lebih untuk “keeping time” lagi, mengingatkan agar pembahasannya holistik.
Terkait rangkuman di part 1 buku, bisa didownload di link: https://drive.google.com/file/d/1zaNdov1cYZ1IFeQ8zaXw0WcpWWp_GiHF/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar