Kamis, 02 November 2023

Abidin Kusno - The Ruko: Changing Appearances and Associations of Shophouses in Urban Indonesia

Ruko adalah bangunan umum yang sering kita lihat di tepi jalan, terutama di area urban kawasan Asia Tenggara. Bagian bawah sebagai toko yang menghadap ke publik, dan lantai paling atas menjadi tempat tinggal atau hunian yang sifatnya lebih privat.

Artikel Abidin ini meneliti makna dari ruko dalam konteks sosio-politik dan sejarahnya di Indonesia. Untuk memahaminya, maka diperlukan analisis yang lintas arsitektur atau tipologi bangunan. Ruko secara arsitektural menjadi bangunan yang ditekan karena kepentingan pemulihan ekonomi, selain itu juga menjadi simbol formasi identitas.

Sejak 1980, ruko kebanyakan vertikal dan ada billboard di depannya atau iklan sebagai fasadnya.

Di antara ruko biasanya ada gang beratap (arcade) yang menjadi ruang negosiasi nilai antar pedagang kecil atau PKL di sekitarnya. Gang ini menjadi ruang interaktif, beberapa orang menilai adanya pedagang di jalur ini mengurangi minat seseorang untuk datang ke pasar tradisional.

Biaya pendirian ruko ini di kisaran 600-800 juta rupiah. Saat ini kepemilikannya berdasarkan kelas ekonomi sangat bervariasi.

Mungkin sebenarnya masalah terjadi ketika ruko banyak didirikan tanpa adanya perencanaan, dia meluas tanpa kontrol di berbagai area, sehingga menyebabkan adanya macet, penurunan keamanan masyarakat, dan bertambahnya volume sampah. Semakin tak terkendali ketika datang iklan billboards.

Ruko (rumah-toko) di Indonesia ada di mana-mana, ruko tak hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga tempat jualan dari restauran, toko komputer, bangunan material, toko buah, toko elektronik, dan aneka ruko lainnya. Esai jurnal ini menempatkan ruko pada konteks sosio-politik, alih-alih bangunannya secara stilistik dan fungsional belaka.

Secara arsitektural, ruko mengalami perubahan sepanjang waktu. Di Singapura contohnya, ruko menjadi warisan budaya yang dijual ke turis. Meski di Indonesia, ruko tidak diperlakukan sebagaimana tipe bangunan penting. Sebatas menjadi bangunan untuk lancarnya aliran ekonomi. Pada tahun tertentu, ruko menjadi jawaban alternatif di tengah krisis.

Abidin menganalisis bagaimana ruko ini memiliki pengertian berlapis, sebagai ruang bersama, bagaimana relasinya dengan identitas, khususnya di era 1980an ketika ruko menjadi bangunan industri properti berskala besar. Lebih spesifik lagi, bagaimana kaum Chinese/Cina/Tionghoa di Indonesia melakukan praktik perukoan mereka sehari-hari.

Pertanyaannya, kenapa orang Tionghoa lebih memilih tinggal di ruko? Orang Tionghoa yang dianggap punya dua identitas, satunya sebagai borjuis yang sangat ekonomistik, kedua sebagai ras minoritas. Apalagi di masa Suharto, orang Tionghoa diminta mengadopsi nama Indonesia mereka. Bagi mereka, ruko tak hanya sebagai tempat tinggal dan bisnis, tapi juga investasi dan akumulasi modal hingga cukup membeli rumah. Cerdas mereka.

Bahkan di Palembang ada kepercayaan, orang Tionghoa di sana percaya ketika mereka punya empat anak, mereka harus punya empat ruko. Mereka yakin jika mendirikan ruko, pasti ada yang beli. Sebab ruko ini membawa hoki, yang berhubungan dengan reproduksi keturunan.

Ini dijelaskan pula oleh arsitek Adgraph Studio bernama Jongki Wardiman yang telah membangun banyak ruko di Kepulauan Riau, Pekanbaru, Tanjung Pinang, dan Batam. Ruko mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Jongki mengkarakterkan kliennya dengan: orang yang berpikir sederhana, tak peduli dengan arsitektur dan estetika, tak suka pohon di sekitar ruko, membatasi diri dengan lingkungan dengan menambah tingkat, lebih suka jendela kecil, dan memberi warna yang menarik mata. Tak jarang menambah lantai untuk menarik burung walet bersarang. Singkatnya, bagaimana memperoleh laba dari ruko.

Selain itu di tempat-tempat tertentu, ruko dinilai secara negatif sebagai tempat yang terselubung untuk mempengaruhi dan dicurigai sebagai tempat yang tidak baik. Depan ruko hanya sebagai alibi untuk menutupi kegiatan di atas ruko: judi, panti pijat, layanan plus-plus, prostitusi, bahkan kegiatan agama seperti gereja Kristen yang pendiriannya susah mendapat izin (kasusnya seperti terjadi di Bandung).

Pada perkembangannya kemudian juga muncul layer berikutnya yang disebut sebagai ruko islamis. Seperti di Great Saladin Square, Depok yang terdiri dari 120 unit ruko. Di sana juga ada hal lain seperti mini-market, fast food, salon, dll. Para penjaganya memakai jilbab dan disebut sebagai Ruko Islamiyah.

Link: https://intellectdiscover.com/content/journals/10.1386/ijia.1.2.219_1

#ruko #urban #indonesia #shophouses #chinese #identity #jakarta #politics

Quote:

"In the words of Indonesian sociologist, Arif Budiman, ‘there are many kinds of Chinese: rich, poor, business tycoons, workers, small traders, and unemployed. Some Chinese make money and become rich; some others remain poor, discriminated against, and exploited.’10 One can also add that not all ethnic Chinese live in or can be associated with the ruko."

Refleksi jurnal:

IS 1: Aku melihat ruko malah sebagai jawaban dari efisiensi bagaimana privat dan publik itu jadi satu bangunan. Lalu di desa, bagaimana dengan rumah yang tidak tingkat, tapi di depannya dijadikan warung? Sesederhana ini ya menemukan kebaruan. Jadi punya alasan buat riset.

IS 2: Jadi orang bisa memahami sesuatu itu lebih dari bentuk, tapi juga konteks yang lain. Dalam hal ini Pak Abidin menautkannya pada konteks sosial, politik, ekonomi, hingga identitas, terutama identitas yang dekat dengan dirinya, China.

IS 3: Jadi pengen punya ruko gw wkwk. Yang bisa kubuka dan kututup sesuka hati. Ini jadi investasi jangka panjang gw selain jadi penulis. Ya, pasti akan gw telateni. Ruko Buku. Ya, namanya ini.

IS 4: Dan kenapa orang Cina suka pakai nama Wijaya?

IS 5: Semakin detail dan fokus, semakin banyak kebaruan yang kamu temukan. That's it.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar