Kamis, 09 November 2023

Hak Penggunaan Lagu dan Perizinan Pemakaian Lagu

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar Seri Diskusi Publik DKJ Komite Musik (8) dengan tema "Sudah Izin Belum? Mengurai Simpul Musik dan Hak Milik". Diskusi dilakukan di Teater Wahyu Sihombing TIM, Selasa (7/11/2023). Mengundang narasumber: Bayu Randu (CEO Musicblast.id), Candra Darusman (Musisi dan Komposer), Jonathan Nugroho (CEO Trinity Optima Production), dan dimoderatori oleh Nathania Karina (Pianist, Conductor, Anggota Komite Musik DKJ).

Bayu Randu memulai diskusinya dengan menjelaskan musicblast.id sebagai agregator dan publisher musik di Indonesia. Agregator berfungsi untuk mengumpulkan, seperti Spotify, YouTube, dll. Sementara publisher adalah orang yang menggunakan hak cipta tersebut. Platform yang dia kelola seperti platform ojol, perbedaan publishingnya mengumpulkan tak hanya dari musik, tetapi juga dari hotel, restauran, dll.

Orang yang menggunakan musicblast.id adalah user yang tergolong menengah ke bawah. Namun di daerahnya aksesnya bisa A. Pengetahuan seperti ini kemudian menjadi awam. Ketika punya musik bagus, rekaman dulu, masukkan agregator, lalu join dengan publisher/label. Label ini punya syarat-syarat lain, misal punya 3 single hits, sudah ditayangkan berapa ribu kali, dll.

Kebetulan di musicblast, sebagai publisher pasif menerima. Ada yang untuk film, iklan, dan game. Di musicblast kasusnya gak unik karena rentangnya daerah, yang tak punya pengetahuan akan hal itu. Konsen mereka yaitu YouTube, misal teman di Bali, tunggu naik dulu baru "petik-petik mangga". Publisher ini yang justru butuh pengcover, gak dimusuhin, tapi dirangkul. Yang dimusuhi kebanyakan yang sifatnya "etika".

Untuk sistem pembayaran, biasanya ditanya dulu lagunya buat apa? Misal film, dia dipakai sebagai main music atau scene saja, ketika dapat, akan diskusi ke owner. Yang flat itu ketika untuk cover YouTube atau platform Spotify. Setelah dibayarkan, baru dibuat kontrak. Di musicblast ada dua skema, yang dibayar dan tidak dibayar. Trus pembayaran ada yang sistemnya fifty-fifty.

Di kasus lain, ada sentimen suka dan suka pada pemilik atau performer lagu. Di daerah musisinya senior. Pas dicover, ditambah reffnya atau makai reffnya aja itu gak jadi dipakai. Di musicblast, bahkan bisa ratusan per hari. Ada 280 konflik di musicblast tahun 2023. Penyelesaian dengan take down atau diurus. Pihaknya coba meringkas birokrasi yang panjang.

Yonathan melanjutkan, label adalah label yang memproduksi karya lagu. SOP-nya dulu, baru kerja. Sound recording menjadi aset label. Label memiliki masternya, badan yang mengelola pencipta lagu. Belum tentu master dikelola oleh Trinity. Selain itu, label masuk hak terkait, ada performer dan label.

Ketika seseorang punya lagu bagus, perlu proses lain, seniman ini sebagai apa? Kemudian diatur, hingga proses distribusi dan monetisasi. Ketika lagu master menghasilkan uang, uangnya dibagi ke DSP.

Dalam instansinya, hak cipta jadi urusan nomor satu. Dibantu oleh YouTube yang menjadi the biggest disturber, sebagai UGC telah mengubah tatanan banyak hal. YouTube di satu sisi menguntungkan, tapi di sisi lain tidak. Dan di luar negeri, ketentuan hak cipta ini sangat berbeda. YouTube ini maunya "all right", isu sinkronisasi terjadi di Indonesia yang hanya mengurus "mechanical rights". YouTube ini fenomenal.

Sebagai pengelola label, pembayaran disesuaikan dengan lagu itu penggunaannya untuk apa, juga tergantung orangnya (pencipta a, b, c berbeda), yang berhak menentukan harga adalah pencipta. Yang buat hits, dirasa make sense, dibayar juga. Tinggal penggunaan dan siapa yang buat. Ngomong range, semurah-murahnya 2 juta sampai ratusan juta. Keyakinan label sama produknya. Market place ada supply and demand. Zaman juga berbeda, label bisa memprediksi berapa keping yang laku. Dihitung harga jual, DVD, dll, label tak collect komposer lagi. Label juga yang mendistribusikan.


Candra Darusman menjelaskan, awal dia bermusik tak belajar terkait hak cipta. Para musikus ada dua hal besar yang perlu diperhatikan: dimensi seni dan dimensi administrasi, dua hal ini harus dipisahkan. Sebagai seniman, administrasi diserahkan ke spesialis, bisa label, publisher, dll. Publisher sendiri ada dua, pasif dan aktif (yang ikut memasarkan).

Lagu ketika masuk ke publik apakah dibuat mentah yang kemudian ditawarkan ke publisher, dari publisher ke label. Lalu kemudian disebar ke berbagai platform. Dalam  pengalamannya di Musica tahun 1978, mereka dikontrak tiga album. Waktu itu Amrin Wijaya yang punya langsung mengurus.

Ketika dengar satu lagu di sebuah tempat, ada tiga hal yang punya hak: pencipta lagu, performer, dan label. Masing-masing ada yang mengatur, bagi yang tak mendalami bisa kesasar. Hak cipta ada dua hal besar, ketika digandakan (publisher) dan ditayangkan (Lembaga Manajemen Kolektif).

Presentase hak agregator 20, pencipta lirik 20, performer 5-20, Sisanya label 35 persen kurang lebih.

Dalam perizinan ada berbagai hak, hak ekonomi (ada 9 macam) dan hak moral. Untuk mengcover lagu harus minta izin ke yang buat. Meskipun ada catatan, YouTube menjadi hal yang menarik. Misal tak ada urusan komersialisasi seperti untuk ulang tahun tidak apa. Namun ketika masuk ke komersialisasi, ini yang menjadi masalah, harus izin terlebih dahulu. Biasanya seniman yang menghubungi si pembuat konten. Hak cipta itu bersifat eksklusif. Kalau ada orang yang mau membawakan lagu, izin ke LMK.

Sebagai seniman, dia bercerita ada pihak-pihak yang menghubunginya langsu ketika ada yang meminta hak. Namun karena semakin banyak diserahkan ke publisher. Ada patokan persen kalau di masa lalu, sekarang di digital lebih susah, ada yang streaming, belum lagi yang download. Dia memaparkan pendapatan musisi mengandalkan performance, nyanyi dan konser sendiri. Ada yang profesinya cuma buat lagu itu berat banget, apalagi kalau lagunya gak diputer. Sehingga ada singer-song writer untuk nambah penghasilan. Di label, sepanjang sudah menandatangani kontrak, tak bisa diubah. Media sosial lain seperti Tiktok, IG, FB, berusaha untuk memikirkan hak cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar