Kamis, 16 November 2023

Abidin Kusno - The Green Governmentality in an Indonesia Metropolis

POIN-POIN:

Kosakata "hijau" telah masuk ke dalam leksikon pasar porperti di mana-mana. Konsep hijau tak hanya bersifat material, tetapi juga ideologis, merambah dari lanskap hijau, lingkungan hijau, properti hijau, dll. Sampai di brosur pun dihiasi oleh gambaran-gambaran hijau dari pohon, semak, bunga, dll.

Ada kebutuhan untuk menciptakan ruang hijau. Slogan "go green" ada di mana-mana, iklan ini ada di sepanjang jalan dan dikampanyekan oleh aktor-aktor atau instansi-instansi yang berbeda.

Seperti masyarakat Jakarta hari ini, yang dihadapkan pada praktik-praktik keseharian yang mendorong pada dunia yang "bersih dan hijau". Bahkan salah satu partai juga menyebut dirinya sebagai partai hijau, dengan gembor-gembor kepeduliannya terhadap lingkungan.

Artikel ini berpendapat, bentuk kekuasaan kontemporer lingkungan hijau saat ini mensyaratkan individu untuk mengkonfigurasikan ulang diri mereka. Ini ditunjukkan oleh bagaimana penghijauan khususnya dalam konteks Jakarta dapat dipahami sebagai bagian dari pelibatan teknologi pemerintahan, yang hubungannya dengan pos-autoritarian Indonesia.

Kota menjadi arena untuk menambah daya tarik lingkungan hijau di antara para aktivis, arsitek, hingga residensi kelas menengah Jakarta. Ini menunjukkan juga bagaimana dinamika antara masyarakat dan alam terjadi dalam konteks model neoliberal pemerintahan, khususnya pasca runtuhnya rezim Orde Baru.

Masifnya eksploitasi yang terjadi pada sumber daya alam di bawah kekuasaan neoliberal ingin menunjukkan jika pelindung lingkungan adalah semua masyarakat. “Ilusi hijau” menjadi rezim yang melelahkan dari eksploitasi massa hubungannya dengan lingkungan.

Abidin menjelaskan diskusinya dengan inisiatif warga kelas menengah yang mengadvokasi adanya ruang hijau bagi kota. Lingkungan yang hijau akan bisa membranding kota dan mendorong wisatawan internasional dan domestik datang/berinvestasi.

Sektor swasta kemudian melakukan pengalihan perlindungan ini dengan menghubungkannya pada penghijauan kota. Perhatian terkait penghijauan lingkungan beroperasi dalam konteks diskursus kembali ke kota. Padahal situasi tersebut memberikan situasi paradoks dengan pemahaman mereka akan orang-orang miskin yang tinggal di ruang-ruang urban.

Klaim ilusi hijau ini kemudian menjadi bahasa perlawanan bagi arsitek/aktivis urban. Pisau analisis yang dipakai untuk membedah persoalan ini yaitu, Abidin menggunakan konsep dari gagasan Foucauldian terkait politik kelas. Lingkunganisme lebih dianggap Foucault sebagai hal yang ideologis alih-alih ilmiah.

Berikutnya, diskursus hijau ini diterima bentuknya sebagai kekuasaan, sistem manipulasi dan pengkondisian, yang menciptakan jaringan produktif pada seluruh tubuh sosial. Bahwa antara kelompok miskin dan kelas menengah bisa mendapatkan akses terhadap diskursus hijau dan memobilisasinya sebagai sumber daya dalam mengamankan hak mereka terhadap kota.

Diskursus lingkungan memainkan peran kunci pada permulaan abad ke-20 di masala pemerintahan kolonial Belanda. Bagaimana sistem desentralisasi dijalankan, dan kota diberi kekuasaan untuk mengatur sistem.

Para arsitek seperti H.F. Tillema dan Thomas Karsten kemudian menciptakan berbagai arsitektur dan tempat tinggal yang mengutamakan kesehatan lingkungan dan kenyamanan. Pada masa itu konsep higinitas dan kesehatan ditunjukkan, meski di sisi lain juga memperlihatkan adanya segregasi ruang yang berbasis kelas sosial.

Pada perkembangannya kondisi ini menguntungkan para kelas menengah dan memindahkan kelas miskin kota dalam proses gentrifikasi atas nama perkembangan lingkungan. Apalagi diskursus ini telah menubuh pada kelas menengah.

Selanjutnya, ajakan penanaman 1.000 pohon hingga 30.000 pohon yang dibantu oleh para relawan di berbagai ruang menjadi senjata. Ini dibantu oleh para media atau radio yang juga berhubungan dengan para pemilik bisnis besar. Ciputra, sebagai salah satu pengembang mega proyek di Indonesia telah berkontribusi signifikan terhadap degradasi lingkungan di Jakarta.

Kegiatan penghijauan itu kadang juga menjadi "pajak" atas eksploitasi yang mereka lakukan, kemudian dilabeli sebagai upaya penghijauan yang ramah lingkungan. Di Jakarta ini nampak seperti pada pemerintahan Fauzi Bowo. Fauzi Bowo yang menjadi wakil gubernur sejak 2002, masih menjaga ambisinya menjadikan Jakarta sebagai kota jasa berkelanjutan kelas dunia.

Ide ini pula yang didorong oleh Wirutomo, semisal komunitas dokter harus berkontribusi pada kesehatan kota; arsitek berkontribusi terhadap pendirian bangunan yang efisien, bersih, dan sehat; sampai grup media harus mendidik publik untuk mengembangkan mendidik masyarakat menjadi lebih baik. Sistemnya dengan menggunakan kerja bakti.

Salah satu arsitek yang lingkungan rumah yang ramah ini adalah Andra Matin. Dia mengrecovery lingkungan hidup dan kerja dari masyarakat pinggiran dengan rumah tingkat, yang memungkinkan seseorang memelihara binatang seperti kucing, bebek, ayam, dll.

Quote:

‘would prefer to stay close to the working area where they do not waste too much time commuting. Efficiency will be an important issue in the future. People would now think twice about living on the outskirts of Jakarta’

Kusno, A. (2011). The green governmentality in an Indonesian metropolis. Singapore Journal of Tropical Geography, 32(3), 314-331.

Link: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-9493.2011.00440.x

#abidinkusno #green #environment #governmentality #backtothecity #community #middleclass #urbanpoor #jakarta #parpol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar