Senin, 05 Oktober 2020

Republik Lapar - Utsa Patnaik

Pada 1998-2003, populasi Republik India mengalami penurunan konsumsi makanan (foodfrains) per kapita. Ketika reformasi ekonomi dimulai pada awal 1990-an, tingkat penyerapan makanan per kepala juga mengalami penurunan dari 177 kg ke 155 kg. Ditambah masa kekeringan menambah kenaikan angka masyarakat dan orang yang kelaparan, khususnya di wilayah desa. Sedangkan di kota tingkat penyerapan makanan meningkat juga terancam, menambah jumlah kelaparan.

Persepsi pemerintah dan mayoritas akedemisi, memberi interpretasi yang berbeda akan hal tersebut. Kenyataannya progam pembangunan tidak ada yang luar biasa. Bahkan jika hal itu dilihat sebagai pembangunan yang positif, menunjukkan pola konsumsi yang beragam di semua segmen termasuk orang miskin. Insiden kelaparan terjadi, anehnya mode penolakan (denial mode) di antara pemerintah dan pembuat kebijakan malah jadi sesuatu yang umum.

Namun kasusnya saat ini, perbedaan antara bertambahnya angka kelaparan dan pembenaran akan fenomena tersebut sebagai sesuatu yang positif sangat mencolok. Hal ini membutuhkan penjelasan teoritis, dengan melihat sejarah India di masa lalu. Bahwa pemerintahan sekarang dan kelas penguasa India membenarkan tren anti-humanis yang menambah angka kelaparan. Yang mengganggu pula bertambahnya akademisi liberal dengan teori mereka yang cukup salah.

Sebelum merujuk ke India mari kita berbicara pada konteks internasional yang lebih luas terkait bencana kelaparan ini. Utsa Patnaik mengambil dua kasus: kelaparan besar di China karena dugaan Lompatan Besar (Great Leap) pada 1958-61 dan kelaparan di Rusia di paruh pertama 1990an. Jika merujuk pada dua kasus ini, jelas kelaparan merupakan masalah ideologis dan kurangnya ukuran akademis untuk menjelaskannya.

Kasus pertama, selama periode Lompatan Besar, diperkirakan menurut buku Ansley J Coale (1984) dan Judith Banister (1987) ada 27-30 juta manusia mati. Dijelaskan pula oleh Amartya K. Sen dalam ceramah dan bukunya Development as Freedom (1999) bahwa China pernah mengalami sejarah kelaparan terbesar di dunia. Angka 30 juta ini kemudian jadi cerita rakyat, jumlah angka belum ada basis akademik meyakinkan yang mendasarinya.

Faktanya, ada tiga kali gagal panen besar dan menurunkan 30% persediaan makanan China pada 1960. Dua alternatif dalam perkiraan kematian akibat kelaparan masih diragukan. Pertama, dari jumlah yang meninggal bukan soal berapa yang hidup dan mati, tapi juga masyarakat secara keseluruhan ikut hilang dalam jumlah ini. Misal jumlah kelahiran yang tak turun. Dari 30 juta orang yang hidup kemudian mati, 19 jutanya tidak pernah ada karena mereka tidak pernah dilahirkan sejak awal dan tak masuk rumus. Sehingga jumlahnya salah dan tidak jujur.

Ditambah lagi berdasar pada laporan Coale dan Banister yang meragukan, mereka mengambil total populasi China 1953-1964 di otoritas yang bersangkutan memang benar, tapi membantah angka kelahiran rata-rata yang jumlahnya lebih besar dari populasi. Misal sensus Nai-Ruenn Chen (1966) menginformasikannya. Jika banyak orang yang lahir pada 1953-1964, maka banyak pula yang meninggal di periode yang sama. Ini tentu menjadi parodi dalam norma integritas akademik yang melebih-lebihkan kematian akibat kelaparan.

Kasus kedua di Rusia pada awal pertama 1990an, Utsa Patnaik menemukan adanya keheningan yang memekakkan telinga dari akademisi yang sama. Metode yang digunakan di China tidak diterapkan di China. Faktanya ada terapi kejut terhadap penganut kapitalisme, di bawah saran-saran ahli Barat, yang mengarah pada bangkrutnya GDP pada masa negara sosialis antara 1990 dan 1996. Saran salah ini kemudian diikuti oleh para pembuat kebijakan lokal. Lalu kemudian akademisi yang berkonsentrasi pada isu kelaparan atau jurnalis yang ingin meliput, pada masa itu tidak ada akses terhadap negara. Dapat dikatakan tidak masuk akal meghitung angka kematian karena kelaparan.

Kembali ke India, data yang diambil Utsa dari pihak otoritas pada 1999-2000 menemukan bahwa sekitar 40% populasi pedesaan di India memiliki tingkat penyerapan nutrisi yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata penyerapan nutrisi darerah Sub-Shaharan Africa. Ditambah 50 tahun masa-masa kolonial sebelum kemerdekaan mengurangi penyerapan makanan per kepala tiap tahun pula. Dari 199 kg menjadi 148.5 kg. Termasuk pula kelaparan yang terjadi di Bengal dengan angka kematian setidaknya 3 juta manusia.

Sosok P. Mahalanobis memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan pasca-kemerdekaan. Dengan tujuan mencapai keamanan makanan menjadi prioritas. Juga strategi pertanian terbaru dan revolusi hijau membuat naiknya rata-rata disribusi konsumsi tiap kepala. Meski pencapaian tersebut seakan lenyap di dekade-dekade terakhir ketika reformasi ekonomi yang bersifat neoliberal diterapkan. Ketika 8 juta hektare tanah untuk pertanian dialihfungsikan pada 1991 dan 2001. Belum lagi kebijakan impor berjuta-juta ton makanan.

Reformasi neoliberal yang berkombinasi dengan perdagangan bebas memperburuknya. Di India pengembangan kawasan desa yang rata-rata GDP sebesar 14,5% pada 1985-90, sebelum reformasi, berkurang menjadi 8% di awal 90-an. Lalu semakin menurun hingga 6%, 5%. Maka pendapatan yang didapat dari bidang pertanian ini sungguh berkurang sangat besar—angkanya tak main-main. Tak hanya itu, pekerjaan di desa juga berkurang bahkan hilang karena rendahnya angka partisipasi, tingginya angka pengangguran terbuka, dan berkurangnya angka orang-orang yang bekerja di bidang pertanian.

Berkurangnya kekuatan pedesaan ini berkonstribusi pada resesi industri, berhubungan dengan konsumen dan persediaan bahan baku.  Namun pemerintah dan pembuat kebijakan di India malah menimbulkan ksesengsaraan bagi para petani dengan mematuhi dogma dan melanglang di altar BWI dan WTO. Di mana para korporat internasional ini mengurangi perlindungan mereka, bahkan menipu negara-negara berkembang.

Ribuan petani bunuh diri di India karena kehilangan akses akan tanah dan produksi mereka. Mereka juga banyak menderita hutang dari para rentenir, lupa jika India pernah mengalami kelebihan petani. Lalu elite urban bermain-main dengan mainan barunya di bidang automobile. Orang-orang miskin pun semakin kelaparan dan hidup di bawah angka kalori rata-rata.

Dari paper ini saya belajar untuk hati-hati mengambil sumber data. Bisa jadi itu direkayasa dan perhitungannya tak sesuai fakta dan aturan. Sebab efek politiknya bisa sangat berbahaya ketika otoritas dan akademisi ini menggunakan metode yang salah; kemudian mereka melakukan klaim bahwa kemiskinan terlah berkurang. Lalu formulasi dan kebijakan yang salah pun lahir dan terciptalah Republik Kelaparan.

Patnaik, Utsa. (2004). The Republic of Hunger. Social Scientist, 32(9/10), 9-35.

Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/3518206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar