Selasa, 13 Oktober 2020

Kontrol Pekerja dalam Ekonomi Digital


Paksaan dan kontrol terhadap pekerja sangat dimungkinkan melalui teknologi. Ketika platform digital bagi pasar tenaga kerja telah begitu ramah, tapi di sisi lain melahirkan sejumlah eksploitasi bagi para pekerja. Pekerja rentan yang mencari pekerjaan melalu platform media digital sangat tinggi angka kontrolnya melalui manupulasi algoritma. Manipulasi ini membuat informasi jadi asimetris, kurangnya perlindungan buruh dan adanya model bisnis predator.

Jurnal artikel dari Bama Athreya ini ingin menjelaskan bagaimana platform digital mengubah relasi pekerja secara tradisional. Menjelaskan definisi terkini terkait pekerja dan apakah ruang digital menyediakan kita konseptualisasi model eksploitasi terbaru. Bagaimana pula model alternatif untuk terhindar dari hal-hal buruk ini.

Hari ini pekerja hidup dalam suatu sistem yang disebut ekonomi digital, ekonomi pengawasan, dan revolusi industri keempat dengan segala bentuk kontrol barunya. Para pencari kerja yang tak memiliki modal sosial beralih ke platform digital yang menawarkan jaringan kerja. Misalnya Kormo di Bangladesh, Lynk di Kenya, Bong Pheak di Kamboja, dlsb. Artikel ini berfokus pada kapitalisme pengawasan seperti meluasnya akses dan penjualan data individu sebgai dasar sumber daya mental yang menjalankan pasar global.

Beberapa perusahaan platform dianggap sebagai antidote (pencegah) meningkatnya ketidakseteraan dan penanda “ekonomi berbagi” (sharing economy). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Evgeny Morozov, kehadiran platform digital di AS dan Eropa memfasilitasi para pengangguran dan pekerja yang kurang layak untuk memonetisasi kemampuan dan aset mereka.

Pekerja infromal secara umum menghadapi kerentanan berupa kurangnya pendapatan regular atau perlindungan sosial. Platform juga memungkinkan ekstraksi dan komodifikasi data individu pekerja. Hal ini penting untuk dipahami tidak hanya terkait data pekerja tapi bagaimana kolonialisme data ini berjalan.

Sebagian besar yang diunggah di platform memiliki nilai dalam digital ekonomi tanpa adanya konsensus dan izin. Perusahaan memiliki bank milyaran data pengguna personal, menjadikannya algoritma untuk menentukan bagaimana memanfaatkan itu untuk memaksimalkan operasi mereka. Seperti Uber dan Lyft yang memanfaatkan data dari para driver mereka. Digunakan untuk meningkatkan ketergantungan melalui insentif dan paksaan ketika tidak mencapai target. Ada pula data yang digunakan untuk memanipulasi opini masyarakat dan memikat masyarakat ke dalam tingkat laku yang ekstrim.

Kerja-kerja ekonomi digital ini masih dibagi lagi menjadi kera-kerja mikro yang menimbulkan pola kerja gig economy, even dalam hal gaji yang juga jadi tambah mikro. Sedangkan penentuan upahnya pun tak bisa dinegosiasikan. Perubahan mendasar juga terkait relasi kerja yaitu hilangnya hubungan manusia antara pemberi kerja dan pekerja. Platform tidak misa merespon pekerja secara langsung, dan buruknya dapat menghukum pekerja melalui algoritma jika tak mencapai target. Tak hanya fisik yang ditekan tapi juga afeksi. Ditambah kondisi Covid-19 ini semakin menambah kerentanan kerja.

Dua bukti yang ditarik dalam artikel ini yaitu pekerja domestik di India melalui agen QuikrJobs yang sebelumnyabernama Babajob dan Afrika Selatan melalui SweepSouth. Platform SweepSouth dan QuikrJobs menghubungkan antara pencari kerja dan pekerja. SweepSouth sebagai penjaga pintu (gatekeeper) yang menentukan jenis kerja, remunerasi, kondisi kerja, dan aktivasi pekerja pada platform. QuikrJob sebagai aggregator yang berfungsi untuk negosiasi, remunerasi, kondisi kerja, dll. Beberapa peran ini memungkinkan tidak jelasnya ketentuan kerja, jumlah gaji, dan batasan kemampuan pekerja.

Sistem rating (bintang) dan kontrolnya deaktivasi juga menjelaskan bagaimana hukuman dan eksploitasi berlangsung. Pekerja yang mendapat bintang rendah akan dideaktivasi, sehingga para pekerja ini takut ketika klien memberikan bintang sedikit. Tak dasar klien menjadi instrument kontrol di sini. Sedangkan klien tidak sepenuhnya tahu bagaimana sistem bintang bekerja.

Dalam konteks seperti ini para advokat hak asasi manusia dapat berperan dalam menekan penggunaan izin bagi platform guna melindungi para pekerja. Jangan sampai kasus dalam Cambridge Analytica terjadi, ketika data dijual untuk keperluan politik dan memanipulasi pemilih di beberapa negara. Edukasi dan pengorganisasi bagi pekerja juga diperlukan, terlebih mengorganisasi pekerja gig, seperti Gig Workers Rising (US) dan Worker Info Exchange (UK) yang maulai meneliti isu data privasi dan data sovereignity. Meski usaha ini belum mencapai konsensus alternatif.

Strategi lainnya seperti reverse surveillance (sousveillance) yang merupakan aksi dukungan kolektif. Seperti membentuk WA antar pekerja dan berdiskusi di sana. Ketika pekerja mengalami segala bentuk perlakuan yang merugikan untuk mengunggah bukti, hingga meminta platform untuk tidak menggunakan data personal data. Juga adanya regulasi yang melindungi pekerja dan mengoreksi praktik-praktik yang merugikan pekerja. Ini ditentukan oleh para advokat, donor, pembuat kebijakan, dan stakeholder lainnya. Kita butuh mendemokrasikannya.

Athreya, B. (2020). Slaves to Technology: Worker control in the surveillance economy. Anti-Trafficking Review, 15, 82-101.

Selengkapnya: https://doi.org/10.14197/atr.201220155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar