Selasa, 06 Oktober 2020

Mempertanyakan Ulang Historisisme dan Revolusi – Prabhat Patnaik

Bagi Prabhat Patnaik, historisisme memiliki pengertian yang berbeda dan saling berlawanan. Semisal sebagaimana yang dijelaskan oleh Karl Popper (1957) yang menggunakan diksi itu sehubungan pertalian dengan Hegel dan Marx: sejarah memiliki pola dan makna, memahaminya dapat digunakan untuk memprediksi masa depan. Popper melihat historisisme sebagai leluhur dari politik totalitarian dan pendukungnya sebagai lawan dari masyarakat terbuka; yang berusaha menekan masyarakat ke dalam kediktatoran baru akan kepercayaan-kepercayaan yang sudah tercetak.

Pengertian lainnya historisisme merujuk pada pandangan Marxist Barat seperti Gramsci (1973), Lukacs (1971), dan Korsch (1970). Hanya ada satu sejarah, darinya kita tidak bisa melangkah keluar, yang membentuk kondisi materi dan ide, berasal dan bertindak atas dirinya. Historisisme dalam pengertian ini tidak harus dicampuradukkan dengan materialisme historis; ada banyak penyesuaian dengan materialisme yang mengakui keunggulan praksis.

Kedua pengertian di atas berlainan. Yang pertama sejarah itu ada polanya, yang kedua sejarah itu relatif. Namun menurut Prabhat, pengertian historisisme berbeda dari ilmu sejarah. Historisisme esensial terhadap argumen terkait kebutuhan atau kesegeraan sebuah revolusi melawan tatanan burjois; dan hanya pandangan non-historis yang dapat mendasari secara teoritis berbagai macam revolusi dalam agenda masyarakat terbelakang. Dalam paper ini, Prabhat ingin menunjukkan itu.

Pandangan lain, Professor Irfan Habib (2003) berpendapat, dengan melihat pola dalam sejarah, memperlakukan sejarah tidak sebagai salah satu kecelakan, tapi sebagai sesuatu yang dapat diteragkan, yang secara metodologis menyuarakan prosedur.

Sedangkan beberapa kritik akan sejarah: (1) Historisisme tidak cocok dengan praktik teoritis yang sebenarnya dalam ilmu pengetahuan; dapat disangkal, ini tidak seperti mengukur basis di mana seseorang dapat segera menaksir konten keilmuan terhadap teori tertentu. (2) Ada perbedaan mendasar antara Hegel dan Marx dengan sudut pandang Popperian. Sebab ada batasan yang melakat, adanya penghilangan tanpa persetujuan hukum. Melihat suatu pola abstrak dalam sejarah sebagaimana yang Hegel lakukan tidak sama dengan membuka sejarah secara total untuk analisis saintifik yang ada pada proyek Marx. Semisal menghilangkan perbedaan antara konsep struktural pengamatan tidak langsung dan konsep metafisika. Konsep Marx tentang nilai kerja merupakan konsep struktural yang mendasari harga produksi. (3) Dalam perspektif Prabhat, kasus revolusi tidak perlu bersandar terhadap penerimaan historisisme sebagaimana yang Popper imajinasikan. Untuk sementara waktu, mari kita asumsikan tidak ada pola apapun dalam sejarah. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa sejarah bergerak secara pasti menuju kesudahan akhir dalam membentuk proletariat, memiliki tugas historis yang menggiring umat manusia dari putaran konflik kelas, memungkinkanya untuk membuat transisi dari pra-sejarah miliknya. Revolusi dalam pengertian yang lebih modern, muncul dari fakta bahwa kapitalisme sebagai moda produksi tidak hanya berdasarkan pada eksploitasi, tapi juga sautu sistem yang spontan, tidak bisa ditundukkan, tidak bisa direformasi.

Setelah pertarungan yang begitu lama, terutama setelah Perang Dunia II, managemen Keynesian tampak bahwa kapitalisme telah menyelesaikan tendensinya terhadap krisis over-produksi; di mana ukuran welfare state menjadikan kapitalisme lebih manusiawi; dengan pekerjaan mendekati  penuh di wilayah metropolitan dan kapitalisme membutuhkan tentara cadangan pekerja dalam jumlah besar. Perkembangan kapitalis membuat kaya di satu kutub dan kemiskinan di kutub lain. Juga dalam kasus geografis antara negara maju di satu kutub dan negara terbelakang di kutub lain. Ini menjadi fenomena dialektik, sebagai teori baru imperialisme. Namun tumpukan teori yang mempostulatkan kapitalisme sebagai sistem yang tak dapat direformasi menjadi sesuatu yang tumpul, khususnya dalam perkembangan kapitalisme pasca-perang. Ada banyak masalah bahwa proyek dekolonisasi lebih ditakuti oleh ketakutan bawaan akan sistem dibanding sautu tanda untuk diselesaikan.

Semua prestasi ini tampak tak masuk akal. Welfare state melemahkan, globalisasi memiliki makna bergulirnya kembali usaha dunia ketiga untuk mendapatkan pembangunan yang otonom, dan memadukan kembali ekonomi mereka ke dalam hegemoni metropolitan, yang mempercepat dampak pada pekerjaan dan kemiskinan. Krisis Asia menentukan cepatnya peralihan itu di dunia ketiga. Tak hanya menyasar kawasan metropolis tapi juga daerah terluar, perbatasan, dan terpencil.

Kegagalan teknik sosial sedikit demi sedikit karena kecerendungan yang tetap ada pada sistem kapitalis. Mereka yang selalu membelokkan perlawanan termasuk perlawanan politis. Apa yang nyata adalah perjuangan nyata yang ditolak sistem kapitalis. Dan kecerendungan ini tidak pernah dihentikan secara permanen meski sistem telah berakhir.

Sentralisasi modal yang merupakan fitur dasar kapitalisme akan menimbulkan kompetisi bebas, yang menurut Lenin berhubungan dengan naiknya dominasi modal finansial. Kontrol besar terhadap produksi keluaran sosial juga berhubungan dengan peran finansial. Faktnya kemunculan modal finansial global memerankan peran tendensi kapitalisme imanen ini dalam skala dunia dan konteks yang baru. Globalisasi modal finansial berarti bahwa intervensi negara menjadi tidak mungkin.

Modal finansial selalu berlawanan dengan intervensi negara terhadap manajemen permintaan. Ini jelas terjadi ketika depresi besar pada 1930. Modal finansial ini selalu bergerak ke berbagai arah dan menekan krisis ekonomi di mana para “borjuis negara” tak bisa menyelesaikannya. Tendensi imanen kapitalisme membuat sistem tampak humanis dan dapat direformasi; semenjak negara-bangsa hanya menjadi agen bagi kapitalisme untuk mengefektifkan berbagai reformasi yang humanis. Maka jalan satu-satunya untuk menciptakan masyarakat yang humanis dengan melebihi kapitalisme itu sendiri.

Menurut Gramsci (1973, 406) segala kepercayaan memiliki asal praktiknya, dan mewakili nilai sementara; berdasarkan posisinya yaitu filosofi praksis. Dalam tradisi Marxisme Klasik, Revolusi Proletariat menjadi pusat perkembangan negara kapitalis, khususnya Revolusi Eropa. Pada masa Perang Dunia I, tulisan Lukacs “History and Class Consciousness” (1923), tulisan Korsch “Marxism and Philosophy”, dan tulisan Gramsci “Prison Notebooks” simbol dari kekahalan revolusi sebagai sesuatu yang tak terelakaan dan agenda ke depan akan lebih banyak. Fakta secara teoritis bahwa historisisme Marxisme Barat bersandar pada konsepsi Revolusi Proletarian Eropa. Kepercayaan Marxisme universal kemudian harus dibedakan dengan lokasi dari dunia yang kontradiktif. Analisisnya melebihi relativisme tanpa mengklaim sebagai kepercayaan yang absolut.

Varian lain tentang historisisme dikemukakan oleh Althusser yang merujuk pada varian empirisisme. Ide dibentuk dari perjuangan, tidak hanya perjuangan dalam relitas ide itu sendiri tetapi perilaku (seperti melalui terbukanya arena intelektual).

Menurut Prabhat sejumlah dampak yang mengikuti dari pendekatan non-historis terhadap revolusi: (1) Hal itu menjadi sesuatu yang vital di luar agen, dengan membawa ide sosialisme dan revolusi terhadap kelas pekerja, dan kelas lainnya. Usaha yang merubah masyarakat. (2) Kebutuhan untuk revolusi muncul karena skala teknik sosial yang sedikit demi sedikit perlahan bangkrut, kejadian revolusi bukanlah hasil dari beberapa konspirasi para Marxist; itu terjadi ketika kontradiksi dalam masyarakat mencapai titik di mana resollusi menjadi kebutuhan tetapi tidak dapat terjadi. Maka protes terjadi. Sehubungan dengan isu kedua ini, beberapa sejarawan mengalami ketidakpercayaan terhadap narasi besar dan berfokus pada aspek-aspek tertentu yang menjadi domain tanpa berhubungan dengan isu yang lebih luas. Meski hal ini ada kritik dalam ranah metodologi. Apakah narasi besar itu valid dan apakah narasi kecil itu miskin secara keilmuan? (3) Gagasan implisit dari ilmu sejarah dengan aplikasi universalnya adalah revolusi demokratik. Tugas transformasi masyarakat melalui pemahaman kontradiksi sosial dan pengaruhnya tidak bisa dipahami oleh Eropa sendiri. Ketika masyarakat non-Eropa dianalisis, kapitalisme menyisakan para kompradornya. Agenda ke depan bukan revolusi sosialis, tapi revolusi demokratik. Konsep ini tampak pada tulisan Engels “The Peasat War in Germany” yang diabadikan dalam program Partai Bolshevik: revolutionary democratic dictatorship of workers and peasants. Revolusi Demokratik Baru menjadi inovasi teoritis yang hebat. Ini memungkinkan asimilasi situasi dunia ketiga dalam kerangka Marxist, meski konsep ini masih kompleks.

“The revolutionary perspective in the "modern society" does not need "historicism" in either of the two senses. It is based on a science of history which the revolutionary intelligentsia carries to the people, and which forms the basis of praxis. It is this aspect of a science of history which makes Marxism relevant for diverse societies, including especially underdeveloped ones where the proletariat has a minuscule presence.”

Isu yang penting tidak akan pergi meskipun mereka telah terselesaikan. Itu kenapa isu ini masih diperdebatkan hingga sekarang, alasan pula peristiwa ini telah merenggut banyak kematian dan kepergian. Dalam dunia intelektual, tidak dapat ditegaskan pilihan isu yang didiskusikan; karena eksploitasi dan hegemoni di bawah kapitalisme masih bersama kita. Ini menjadi peran para intelejensia revolusioner!

Patnaik, Prabhat. (2004). Historicism and Revolution. Social Scientist, 32(1/2), 30-41.

Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/3518326

Tidak ada komentar:

Posting Komentar