Kamis, 22 Oktober 2020

Regional Value Chain di Perbatasan Mekong

China menggunakan tiga kebijakan untuk memperlemah ketergantungan akan harga dan mengurangi ketergantungan ekonomi daerah yang dialiri buruh migran. Caranya: 1. Pemberian gaji rendah untuk buruh industri, yang dibantu melalui subsidi, kontrak, dan perekembangan infrastruktur; 2. Adanya kerja bergaji rendah dan outsourcing dengan pusat produksi berharga rendah di Asia bagian tenggara; 3. Manufaktur China yang didukung oleh upgrade produksi dan kondisi kerja dengan tujuan branding China yang baik untuk pasar nasional dan internasional.

Ini sebagaimana yang dikatakan David Harvey (2003): kondisi surplus buruh dan surplus modal, surplus dapat diserap dengan: (1) Pemindahan sementara melalui investasi dalam proyek kapital jangka panjang atau belanja sosial (seperti pendidikan dan riset) yang menangguhkan kembali masuknya nilai modal dalam sirkulasinya di masa depan, (2) Pemindahan ruang elalui dibukanya pasar baru, produksi kapasitas baru, dan sumber daya baru, sosial, dan kemungkinan buruh lainnya; (3) gabungan kombinasi (1) dan (2).

Di Asia Tenggara dan Timur, logika kapital telah menghasilkan lanskap ekonomi  secara regional (daerah). Di wilayah urban dan peri-urban, ekspor berskala besar dengan harga rendah produksinya meledak dan menjadi point utama penyalahgunaan nilai di tempat kerja. Dengan standar minimum akan kesehatan, keamanan, gaji, dan keuntungan. Ini yang terhadi di produksi pusat China, Thailand, dan Vietnam. Maka dibutuhkan managemen surplus dan pekerja lokal yang berbayar rendah. Penelitian ini ingin menjawab bagaimana konteks regionalisme masalah ini dalam pabrik global?

Integrasi subdaerah dan strategi industrialisasi di perbatasan. Investasi asing yang besar tengah dikonserntarasikan di ibukota seperti Phnom Penh, Bangkok, dan Ho Chi Minh City. Meluas juga ke titik lain seperti Laos, Burma, dan Kamboja untuk memperdalam ketidaksetaraan antar-daerah. (Ternyata China dekat dengan Indonesia jika dilihat dari peta: Kamboja,  Vietnam, Thailand, Laos, Myanmar, China).

Alih-alih menarik keterlibatan negara secara langsung di perbatasan, pertbatasan secara bertahap menjadi tempat artikulasi baru investasi dan administrasi ruang. Meski pemerintah pusat masih dominan menentukan parameter dasar dari rezim perbatasan.

Pada 1992, Asian Development Bank (ADB) menginisiasi terbentuknya Greater Mekong Sub-region (GMS) sebagai program kerjasama ekonomi. Ini mendorong stimulasi pasar bebas dan investasi di daerah. Anggotanya terdiri dari negara-negara sepanjang Sungai Mekong: Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Yunnan China.

Tujuan utama dari program GMS adalah mengimplementasikan kondisi institusional yang memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara pasca-sosialis, dan untuk membantu stabilitas geopolitik. Tujuan dasar dari program tersebut adalah mencabut halangan di perbatasan, mempromosikan perdagangan dan investasi, memfasilitasi jaringan produksi, dan keberlanjutan pertumbuhan untuk menurunkan kemiskinan. Bidangnya berfokus pada transportasi, telekomunikasi, fasilitas perdagangan, investasi, energi, lingkungan, perkembangan sumber daya manusia, turisme, dan pertanian.

Proyek ini sama dengan yang terjadi di segitiga Indonesia-Malaysia-Singapura.  Menciptakan suatu sistem ekonomi bebas dan pemerintah yang otoritarian, dan bagaimana neoliberalisme dikonseptualisasi. Menurut Ong (2000), segitiga pertumbuhan ini tidak memiliki banyak pertanyaan terkait pasar versus negara, atau transisi dari negara ke pasar; tapi penciptaan pasar yang diatur di mana negara terkadang sangat kuat di satu area, tapi di area yang lain absen, menciptakan variabilitas spasial yang berguna dalam memelihara fleksibilitas modal.

Namun di area GMS batas dari Zona Ekonomi Khusus, peneliti artikel ini menembukan perbedaan di mana negara memiliki peran yang berharga. Para peneliti menemukan negara menjadi aktor kuat dalam mempengaruhi kompetisi global yang bersandar dalam pekerja migran yang rentan. Mae Sot menunjukkan bahwa politik memainkan jalur penting, khususnya terhadap formasi dan reproduksi populasi surplus pekerja migran dari Burma.

Manufaktur Thailand mengadopsi rangkaian strategi menurun (downgrading strategies) meliputi (Mounier and Charoenloet 2007): (1) Menurunkan operasi dan memberhentikan pekerja secara regular tanpa kompensasi, (2) Informalisasi relasi buruh dengan memperkejrakan pekerja kontrak melalui agensi buruh, atau produksi secara outsourcing, pekerja berbasis rumahan, dan workshop berskala kecil (lebih lanjut menambah kerentanan tenaga kerja di sektor garmen), (3) Menambah kecepatan proses produksi menggunakan berbagai intensif, (4) Menampung wilayah perbatasan atau membangun produksi dari negara tetangga dan ekspor kembali ke negara Thailand.

Ada sekitar 3 juta pekerja migran yang bekerja di sektor pemorsesan makanan laut dan nelayan, konstruksi, maufaktur termasuk tekstil dan garmen, agrikultur dan kerja domestik. Sepersepuluh dari angkatan kerja Thai masuk dalam sektor-sektor ini, 2,5 juta dari Burma dan 500 ribu dari Lao PDR dan Kamboja. Jalur Mae Sot menjadi jalur strategis, koridor ekonomi Timur-Barat yang memaksimalkan dampak pembangunan dan meminimalkan anggaran. Tak heran Mae Sot menjadi pusat ekonomi yang menyediakan aneka jasa dan produk.

Sektor yang disorot dalam penelitian ini adalah industri rajut dan garmen. Yang menyisakan banyak pekerja tak terdaftar, praktik sweatshop, dengan tingkat pendapatan yang rendah. Ekonomi modern Mae Sot ini berhubungan dengan tegangan geopolitik di sepanjang perbatasan Thai-Burma. Kondisi kerja orang-orang Burma di pabrik Mae Sot sangat miskin. Mereka dibayar di bawah upah minimum, kerja antara 12-16 jam, tinggal di pabrik dan tidak boleh meninggalkannya, pelecehan seksual, dll.

Faktor nasionalisme dan rasialisasi juga menjadi masalah antar negara yang saling bertetangga, terlebih antara Burma dan Thailand. Akibatnya tidak ada toleransi bagi migran terlebih bagi pekerja berketerampilan rendah untuk melakukan hak-haknya, misal melakukan event budaya dengan alasan keamanan.

Banyak pekerja di pabrik-pabrik Mae Sot berhubungan dengan rantai nilai global dasar. Ini ditambah juga sekitar 80% pekerja di pabrik garmen Mae Sot adalah perempuan. Di mana pabrik tidak mengingnkan adanya kehamilan. Jika hamil akan diganti oleh pekerja yang lain.

Aktor-aktor lokal juga berperan dalam dinamika kekuasaan. Pekerja migran juga harus menghadapi polisi lokal dan otoritas negara seperti Dewan Keamanan Nasional dengan cara-cara pemaksaan/kekerasan (vigilante). Para pekerja dipaksa pula membayar biaya administrasi di luar kemampuannya, sehingga banyak illegalisasi yang terjadi. Sebab jika tak bisa membayar akan dijebloskan ke penjara hingga kasus deportasi.

Arnold, D., & Pickles, J. (2011). Global Work, Surplus Labor, and the Precarious Economies of the Border. Antipode, 43(5), 1598–1624.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1111/j.1467-8330.2011.00899.x 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar