Jumat, 16 Oktober 2020

Peran Negara dalam Pembentukkan Buruh Outsourcing

Krisis finansial Asia yang terjadi pada 1997 menimbulkan kekacauan bagi ekonomi dan politik Indonesia. Ekonomi mengalami kolaps karena tingginya nilai rupiah dan tingginya bunga. Di bidang politik, rezim Orde Baru di bawah Soeharto beralih dengan sangat cepat dari rezim otoritarianisme menuju demokratis. Krisis juga mengubah pasar tanga kerja dan relasinya secara legal; tingginya pasar tenaga kerja fleksibel sebagai sikap dari ekonomi liberal, dan dianggap sebagai obat mujarab dalam kekacauan ekonomi.

Kemudian ekonomi neoliberal tumbuh dengan segenap strateginya: kompetisi pasar bebas, pembatasan peran negara dalam kesejahteraan, memfasilitasi bisnis privat, dan bertambahnya fleksibilitas pasar tenaga kerja. Dengan meningkatnya pasar buruh yang fleksibel akan menambah investasi dan argumennya akan menambah kesempatan kerja.

Jurnal artikel ini membahas buruh outsourcing sebagai bentuk utama dari kerja rentan di indoneisa. Ini dikarenakan permintaan buruh fleksibel dan ekspansi kerja rentan yang mengikutsertakan peran negara. Negara yang seharusnya melindungi pekerja malah bersuara rendah dalam panggung kapitalisme global dan justru mensponsori rezim buruh fleksibel.

Buruh outsourcing telah dilegalkan pada 2003, yang termaktub dalam UU No. 13/2003 terkait ketenagakerjaan. UU ini hadir atas persetujuan antara pemerintah dan International Monetary Fund (IMF). Buruh outsourcing ini kemudian berkembang luas dan memiliki efek merusak bagi pekerja dan serikat. Buruh outsourcing menciptakan aktor barunya pula dalam hubungan industrial, yakni agensi buruh (labor agency).

Agensi buruh ini menciptakan persoalan dan kesulitasn yang tinggi relasi kerja, memecah pekerja dengan status pekerjaan dan menimbulkan konfrontasi kekerasan antara serikat buruh dan anggota komunitasnya. Buruh outsourcing tengah menghadapi tantangan gerakan buruh Indonesia dalam mengembangkan strategi alternatif pengorganisasian.

Pada tingkat praktis, pasar buruh fleksibel ini tidak menguntungkan pekerja karena kurangnya keamanan, keuntungan, menurunnya upah dan kesejahteraan, terhapusnya perlindungan, dan melemahnya serikat pekerja. Mereka juga terancam proses informalisasi hubungannya dengan sektor formal.

Buruh fleksibel dalam sektor formal ini signifikan karena menjadi target pembangunan ekonomi yang stabil. Dengan banyaknya buruh fleksibel akan mengurangi benefit dari sektor formal, mengurangi kualitas pekerjaan, dan mengurangi kesempatan kerja. Otomatis akan menambah kerentanan di sektor formal.

Buruh outsourcing (tenaga outsourcing) dalam konteks penelitian ini merupakan proses rekruitmen dan kontrol terhadap pekerja menggunakan agensi buruh. Perusahaan mencari agensi buruh untuk merekrut sejumlah pekerja; di mana agen bertanggungjawab mengelola pekerja hingga menyediakan upah, keuntungan, dan hak-hak. Pekerja outsourced ini memiliki dua pekerjaan: mengelola performa kerja dan agensi buruh merekrut serta mengkontraknya. Tenaga outsourcing ini biasanya menjalani kontrak 6-12 bulan dan hanya dibayar sesuai upah dasar tanpa tambahan benefit.

Informalisasi

Lalu, pasca krisis ekonomi 1997, Indonesia dianggap sebagai negara industri baru, di mana industri manufaktur menyumbang 24,3% dari GDP, agrikulutr 14,7%, dan sektor jasa 14,7% (BPS, 2012). Indonesia juga berada dalam lokasi geografis yang strategis dengan melimpahnya sumber daya alam dan besarnya jumlah angkatan kerja. Indonesia pun terlibat dalam integrasi rantai produksi internasional dan menjadi basis produksi dunia produk-produk internasional—semisal di bidang tekstil, sepatu olahraga, elektronik, makanan, dan lain-lainnya.

Proses industrialisasi ini sangat substansial karena mengubah kontribusi bidang agrikultur, sehingga pekerja di desa berbondong-bondong ke kota untuk berkerja di perusahaan modern berskala besar. Mereka dibayar murah dan bekerja dalam kondisi yang eksploitatif.

Pembahasan kerja rentan di Indonesia dalam artikel ini berfokus pada sektor formal yang mengalami informalisasi dan mengubah relasi serta kondisi kerja. Situasi ini konsisten dengan perubahan relasi kerja secara global. Sebagaimana penelitian Chang (2009) yang meneliti beberapa negara di Asia dan proses inforalisasi sektor formal yang berlangsung secara masif.

Kemudian Standing (2011) mengidentifikasi ada tiga bentuk informalisasi; pergerakan menuju aktivitas produksi kecil dengan rendahnya produktivitas dan pendapatan; perusahaan menginformalisasi pekerja menggunakan sistem subskontrak dan pekerja outsourced, dan menggunakan bentuk-bentuk illegal dalam proses perburuhan. Tiga bentuk ini kemudian diinstitualisasikan ke dalam kebijakan negara dan relative absen dari keterlibatan negara secara eksplisit.

IMF, Regulasi, dan Buruh Lepas

Dasarnya kebijakan pasar buruh fleksibel mengatur buruh untuk proses kompetisi global dan liberalisasi ekonomi dengan menghabis regulasi pasar tenaga kerja, dan menciptakan investasi setingginya bagi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pasar buruh fleksibel ini telah diatur oleh IMF dan World Bank yang menyediakan pemulihan bagi krisis ekonomi.

Di Indonesia kebijakan buruh fleksibel yang merujuk pada LoI IMF terformulasi dalam regulasi UU 13/2003 tentang pekerjaan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Untuk mengakselerasi pembangunan nasional sebagai prioritas yang ramah investasi. Segala aspek relasi kerja ditukukan untuk memaksimalisasi laba modal. Kebijakan ini mensyaraktkan pekerja jadi lebih multi-kemampuan dan multi-tugas. Pekerja lepas ini kemudian lebih mudah untuk dimobilisasi dan didemobilisasi. Bahkan dari tingkat aliansi hingga negara mempromosikan pasar buruh fleksibel ini.

Prinsip pasar buruh fleksibel dan otonomi lokal mengurangi peran negara dalam menyediakan perlindungan buruh. Menimbulkan individualisme yang mengorbankan kolektivisme buruh dan aksi kolektif. Kondisi ini menambah kerentanan, ketidakamanan, dan ketidakpastian kerja.Praktik dari buruh outsourcing ini menimbulkan aktor baru yaitu agensi buruh.

Penelitian yang dilakukan oleh Tjandraningsih dan koleganya berfokus pada federasi pekerja metal Indonesia. Bagaimana praktik buruh pasar fleksibel di industri manufaktur mempengaruhi relasi kerja. Ada dua fitur utama: 1) Pengalihan status kerja dari permanen menjadi non-permanen, 2) adanya mode rekruitmen baru menggunakan agensi.

Agensi buruh ini terdaftar secara legal dalam bisnis. Bahkan ada juga agensi yang dimiliki oleh serikat aktivis, mantan pekerja kantor, anggota parlemen, dll. Agensi buruh ini sekarang jumlahnya ribuan dan terkhusus ada di area industrial. Ada tiga diskriminasi yang dialami buruh outsourcing: status umur dan pernikahan, upah, serta hak untuk berorganisasi. Dan regulasi negara seakan tutup mata akan hal itu.

Pekerjaan fleksbibel berlawanan dengan serikat. Ini diakrenakan dampak negatif dari rezim pekerjaan fleksibel, sangat sedikit pekerja lepas yang menjadi anggota serikat. Mayoritas para anggota serikat adalah mereka yang berstatus permanen. Ini karena ketakutan para pekerja rentan kehilangan pekerjaan mereka. Mereka takut jika ikut serikat maka kontrak tidak akan diperpanjang, sebab perusahaan sendiri kadang mengontrol pekerjaanya. Sehingga ketika regulasi ketenagakerjaan dibuat pemerintah, serikat tak memiliki bargain point dalam prosesnya.

Tjandraningsih, Indriasari. (2012). State-Sponsored Precarious Work in Indonesia. American Behavioral Scientist, 57(4), 403-419.

Selengkapnya: https://doi.org/10.1177/0002764212466236

Tidak ada komentar:

Posting Komentar