Kamis, 25 Desember 2014

Sandiman Artifisial

Satu kekhilafan orang sudah cukup untuk menjatuhkan martabat bangsa--Roebianto Kertopati

Hatiku sedang tak enak, sedih habis ngantar bapak, ibuk, dan adik-adik pulang lagi ke rumah usai main dari Jogja. Nitikkin air mata, nggak tahu kenapa.
Lalu habis nganterin aku rencananya mau ke Gramed Sudirman buat beli buku diskon, tapi tutup karena hari ini hari natal. Sesuai kebiasaanku yang selalu ingin menggelindingkan roda, aku bersepeda... Dari Gramed menuju arah McD belok kiri. Disana ketemu dengan sebuah museum, namanya: Museum Sandi di Jalan Faridan No. 21 YK. Sandi (kriptografi) itu sendiri seperti password dalam sosmed gitu yang tugasnya ngamanin akun, dalam konteks ini sandi berfungsi sebagai pengaman data negara. Iseng, aku masuk. Bersyukur tak bawa HP dan alat eksis lainnya yang hanya akan mengajakku pada permukaan dan berakhir di sampah media sosial. Rasanya bawa gitu itu aku kayak hanya dapat eksistensi tapi nir esensi. Aku cuma bawa diri dan uang 27rb dari ibuk.
Setelah tanya satpam apakah boleh masuk? Jawabnya boleh. Aku masuk, ternyata HTM-nya gratis. Aku jalan-jalan di lantai satu, ouh, nampak mistis sekali di sini. Apalagi aku sendirian. Dingin dan  remang. Aku nglihat diorama, replika, dan alat-alat sandi gitu. Di lantai satu ini kita bisa melihat alat-alat sandi (semacam mesin tik, telepon, logam gitu bentuknya, yang isinya huruf-huruf enigmatis yang penuh teka-teki). Selain itu ada patung dan diorama rumah sandi tempo dulu, ada ublik-nya. Naik ke lantai dua ada pengetahuan seputar sosok-sosok pendiri persandian Indonesia. Bapak sandi Indonesia itu adalah Roebianto Kertopati. Sosok yang inspiratif menurutku. Beliau ini sekolah sandinya katanya tidak formal, tapi melalui kursus. Dia seorang dokter, penyembuh orang sakit. Dia menguasai empat bahasa (Inggris, Perancis, Jeman, Belanda). Mottonya: BERANI TIDAK DIKENAL. Lalu di ruang tokoh ini terpajang foto-foto pemimpin STSN dulu dan sekarang. Di sebelahnya ada sebuah manequine, seorang pria yang disebelahnya dikisahkan berasal dari masa Yunani yang di belakang kepalanya digundulI dan ditulisi sandi untuk raja jaman Romawi dulu. Aku mengajaknya bicara, tapi dia cuma diam. Matanya aneh, kadang melihatku, kadang pura-pura nggak lihat. Mungkin aku menamainya Julius saja. Trus di ruang sebelahnya ada ruang multimedia gitu, aku ngotak-ngatik komputernya, nyobain games-nya seputar sandi (dan aku kagak bisa jawab! padahal udah level terendah). Apakah harus aku jawab dengan kata sandi juga bahwa: zpf yvofn yrhz.
Usai puas jelajah bangunan yang sepi ini, aku keluar, pamit sama resepsionis yang ramah banget. Trus jalan-jalan di bangunan luarnya. Wih, suasana feodal banget euy.


Jalan-jalan Di Kompleks Kampung Code


Usai ke museum sandi, mimpi lamaku yang ingin aku wujudkan adalah bermain ke kampung code (di bantaran Kali Code). Aku masuk kampung itu, memarkirkan sepeda lalu ngluyur sendirian. Dari awal aku masuk bagus, ada rumah dengan cat-cat dan gambar-gambar cantik warna warni. Tapi disini begitu sempit dan sesekali aku mencium bau anyir. Aku berjalan dan terus berjalan sambil mengamati lingkungan disana. Menarik sekali di hampir setiap rumah ada tulisan: Waktu belajar bersama 18.00-20.00 gitu. Dan satu-satunya tokoh yang kuingat ya YB Mangunwijaya!
Lalu aku menemukannya dalam jalan sempit paling ujung. Aku tiba di sebuah rumah kecil, unik, warna-warni yang banyak tulisan inspiratif tentang perbedaan dan penindasan (Romo marxist kayaknya #lol). Aku membaca tulisan di rumah itu: Perpustakaan Romo Mangun. Aku dekati rumah itu, sampai aku naik ke lantai dua. Aku sedih karena di situ sepi dan kelihatan tak diurusi. Atau aku salah hari kunjung? Di dalam banyak buku dengan beragam genre dan ingin sekali kuhabiskan.
Akhirnya, aku putuskan untuk duduk sebentar di emperan perpus, melenturkan kaki dan melihat aliran sungai Kali Code yang syahdu.

Alternatif Baca Buku Baru Gratis

 

Habis dari Kampung Code, kemudian, aku sepedahan lagi. Menuju ke perpus kota, aih, tutup. Ya, karena aku lagi pengen banget beli buku aku ke Togamas Kota Baru. Aku masuk, trus langsung menuju ke buku sastra para penulis kondang. Aku baca judul-judul buku itu dan harganya, gila, mahal pisan. Yaudah, aku ambil buku yang udah nggak segelan, pilihanku ada di buku sajak Terliye judulnya Dikatakan Atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta, harganya 35K dan aku habis baca sekali berdiri dalam 15 menit. Aku membaca buku itu tak jauh dari pegawai toko. Buku kedua, Corat-coret Toilet - Eka Kurniawan (yang juga segelnya kebuka), ngakak banget baca buku kumpulan cerpen ini. Dari 12 cerpen, empat cerpen habis aku lahap.Cerpen pertama tentang hikayat orang gila yang kasian sekali, kedua tentang tokoh Cantik yang tak boleh keluar malam, ketiga tentang Maritje yang cantik tapi bloon (tapi lebih nekanin ke masa sejarah juga), trus corat-coret toilet itu, mbahas cerpen ini sama si Toto pasti nyambung deh, hahaha. Kisahnya tentang sebuah toilet mahasiswa yang dindingnya itu ditulisi bermacam-macam petisi/quote/bacotan gitu, dari yang berbau kritis, rasis, sampai hal yang konyol. Eka nyeritain ini lucu banget dan satirnya itu dapat.
Karena waktu sudah menunjukkan dzuhur dan jam satu aku ada kegiatan. Aku cepet-cepet. Di buku depan, aku kesandung lagi baca tulisan Emha Ainun Nadjib di tulisan artikel judulnya Puasa: Menuju Makan Sejati. Yang berkesan di tulisan ini, ingat istilah: "Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang"? Nah, itu tidak cuma berlaku buat urusan perut doang, tapi juga hal-hal lain dalam hidup. Seperti bertindak, bekerja, dll. Aku belajar berpikir alternatif lagi nih, haha, wawasan jangan disempitin. Jam 12 am pas, aku keluar Togamas, tanpa beli apa pun, tapi tetap bisa bawa ilmu. Yuhu!
Pelajaran moralnya: kalau mau baca buku baru gratis, pergilah ke toko buku dan cari yang segelnya kebuka. Carilah buku bagus dan penulis yang bagus pula. Kemampuan membaca cepat sangat diperlukan dalam praktik kegiatan beradrenalin ini. Jika ingin merasakan sensainya, lakukan saja. Kamu akan menemukan mata-mata yang akan mengawasimu, haha. (Is)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar