Hari ini kami membahas tema kelima dari buku The SAGE Handbook of Marxism, dengan bahasan terkait "Value" yang ditulis oleh Tommaso Redolfi Riva (Ph.D dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi). Diskusi kali ini menarik karena sudah tak ada lagi pemantik, dengan dibantu moderator Sulkhan, kawan-kawan yang ikut bisa langsung memaparkan hasil pembacaannya.
Riva secara umum menjabarkan terkait "nilai" dalam konsepsi Das Capital, dan dia mengkritik di masa modern ini persoalan nilai tidak dianggap serius, terutama penganut mazhab klasik ala Smith dan Ricardo. "Nilai" ini kehilangan eksistensinya karena cenderung dikaburkan atau dianggap sebagai sekadar rasio pertukaran dan harga. Padahal nilai ini tak lepas dari transformasi nilai-buruh ke dalam harga produksi hingga eksploitasi.
Nilai dianggap inheren (menempel) pada sesuatu karena proses produksinya yang dilakukan oleh buruh. Penggebungan nilai ada di proses valorisasi, kalau suatu barang (katakan) digunakan dia jadi nilai guna, kalau dipertukarkan jadi nilai tukar, kalau dipekerjakan jadi nilai surplus.
Dalam konsepnya, menurut penjelasan Aziz dan Dipa, nilai itu ada sebelum berubah jadi komoditas. Misal rumput liar, secara hukum alam dia spesies, sebelum diapa-apain, pas disabit kemudian si pekerja mengubah rumput liar menjadi tidak liar, jadi makanan ternak dan jadi nilai guna. Atau apel tetap jadi apel kalau gak diapa-apain. Harus melalui labor dulu. Rumput itu pun bisa jadi nilai kultural, rumput dari Jakarta, akan beda dengan rumput dari New Zealand.
Di esainya Riva bongkar, Marx mengkritisi tentang ekonomi klasik yang gagal melihat nilai secara lebih dalam dan cenderung terumuskan. Misal terkait invisible hand, pasar udah dirumusin, tapi menurut Marx “gak bisa begitu”. Ada variabel-variabel lain seperti: waktu kerja, relasi sosial, nilai budaya, dan hal abstrak lain. Atau konkritnya, kenapa buruh rata-rata dibayar per jam daripada berapa jumlah produk yang dihasilkan dalam satu jam? Sebab keterampilan di sini juga berperan dalam penciptaan value. Buruh yang terampil sejam bisa bikin banyak, makanya hitungannya per jam karena bisa dibayar murah.
Kritik Riva pula, scholars masih gagal dalam memahami proses perwujudan nilai dalam nilai guna komoditi dalam bentuk yang setara. Setiap komoditas mengungkapkan nilainya dalam semua komoditas lain, tetapi tidak ada ekspresi nilai yang umum: 'satu-satunya bentuk ekuivalen yang ada adalah yang terbatas, dan masing-masing dari mereka mengecualikan semua yang lain' (Marx, 1873: 157)
Setiap rantai yang ada di dalam produksi yang ber-nilai, semua bisa diintervensi, tapi siapa yang intervensi itu penting. Kalau kapitalis, pasti mana yang lebih efisien? Karena kapitalisme hidup dari situ. Negara di sini menurut Dipa punya peran besar, misal di Scandinavia, welfare state, intervensinya dengan pajak tinggi tapi juga proteksi yang besar. Rakyat bisa kerja 4 jam sehari tapi masih bisa produktif.
Studi kasusnya dari Sifa, terus bagaimana ngitung nilai misal dari produk-produk kebudayaan yang tak terlihat seperti desain atau lukisan? Salah satu jawaban, nilainya itu ditentukan bagaimana pekerja kebudayaan mengungkapkan value yang dimilikinya melalui otonomi dia sebagai pekerja kebudayaan.
"Marx clearly states that in order to produce a commodity the producer ‘must not only produce use-values, but use-values for others, social use-values […] Finally nothing can be a value without being an object of utility."
Diskusi ini meninggalkan pertanyaan lanjutan, di kapitalisme tingkat lanjut, bagaimana perhitungan nilai guna, nilai tukar, nilai surplus? Value dari labor sekarang lebih susah dihitung daripada dulu. Seperti kasus kapitalisme digital seperti sekarang, mengapa kita bisa membeli makan dengan hanya menggunakan nilai tukar digital yang bahkan bentuknya gak nampak?
Tulisan Riva terkait "value" memang seperti hasil diskusi hari ini: mengabstrakkan yang konkret, mengkonkretkan yang abstrak. Satu prinsipnya: "Nilai tak akan berubah kalau belum dibentuk."
Banyak studi kasus sehari-hari yang diungkap oleh kawan-kawan dengan apik, dan itu rasanya sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Di situ kritik Riva dan Marx jadi kerasa relevan.
Misal terkait komoditas namanya mobil listrik. Selain sebagai nilai guna dia bisa nganteri kita, mobil listrik itu punya nilai kultural, karena dianggap yang punya peduli lingkungan.
Kasus lain, orang yang beli sepatu karena hobi akan punya nilai yang beda dengan orang yang beli sepatu karena kebutuhan untuk sekolah. Contoh yang kedua berkaitan dengan nilai guna, yang pertama kita bisa bilang itu mungkin nilai kepuasan, kultural, atau apalah.
Nah, nilai-nilai tadi, di ekonomi klasik tuh jatuhnya kayak sama aja, tapi Marx bilang gak gitu bro.
Atau studi kasus menarik lain, terkait kerja-kerja abstrak yang dalam jokesnya Graeber disebut sebagai bullshit jobs, seperti label "performance marketing specialist" atau kerja ngedesain atau penulis konten.
Nah, kita punya tendensi untuk mengantagonisasi sebuah kerja itu gampang. Padahal kan gak gitu, lalu di medsos orang-orang ribut dengan saling mempersalahkan antar-divisi atau antar-pekerjaan. Kapitalisme itu menciptakan kontradiksi, semakin bisa mengantagonisasi, kapitalisme akan semakin berjalan.
#value #tommasoredolfiriva #nilai #nilaitukar #nilaisurplus #nilaiguna #marx #kiriretro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar