Sebulan ini bakal capek banget dengan jadwal yang kubuat sendiri. Gak ada yang mudah buat tujuan yang susah. Pengen banget dapat harta karun kayak Monte Cristo, gak habis digunakan sampai mati. Atau ekspedisi kemana gitu kek, yang hidup isinya main doang atau lihat konser kesukaan doang. Tapi ya bagaimana lagi, di dunia ini hanya halu ku saja yang tanpa hambatan. Selebihnya kenyataan.
Aku merasa kemarin keadaan seperti mengkondisikan diriku bahwa ilmu itu mahal, ilmu jangan mudah disebar, mereka harus bayar buat dapat ilmu, dan aku jadi ingat sama salah seorang penulis di Semarang yang kuanggap sebagai salah satu guruku, dia bilang ilmu itu kemringet. Itu di satu sisi, tapi di sisi lain pikiran dan hatiku menolaknya. Di dunia yang sudah materialistik dan mahal ini, mengapa hal serupa "ilmu" juga harus diberi harga berapa dan berapa? Entahlah, sebagai pecinta ilmu, rasanya aku ingin menangis.
Konteks yang kuceritakan ini adalah ketika aku ikut sebuah kelas keterampilan yang kusukai. Lumayan aku membayarnya.Selama di Jakarta, banyak hal yang kurasakan sangat transaksional. Entah berapa kelas, konser, pameran, dan kesenangan yang kuikuti membayar. Ya, aku tak mempermasalahkan pembayaran yang sepatutnya, karena itu sudah semestinya. Namun aku merasa sudah "cukup" dengan aneka tai kucing bisnis yang sebenarnya tak kubutuhkan, tapi malah secara tak sadar alam bawahku tercuri, kemudian mengikutinya.
Aku paham, sebenarnya di kelas keterampilan terakhir terkait tulis menulis itu aku tak butuh-butuh amat, karena hampir semua bisa kupelajari sendiri. Belum lagi di media sosial, ketika melihat status, per satu atau per dua lihat IG story pasti diselingi iklan, gak cuman satu tapi dua. Bayangkan, satu banding satu. Aku makin malas saja untuk bermedia sosial sekarang.
Kemarin juga aku seperti dikondisikan untuk membenci orang lain karena perilaku yang seolah aku didiskriminasikan. Padal aku ada tapi dianggap gak ada. Tapi, untuk diriku yang ada problem dengan penolakan, hal itu terasa 1.000 kali lebih menyakitkan. Itu membuatku jadi membenci orang lain secara spesifik, meski kemudian aku menerimanya juga ketika hati menasihatiku untuk jangan seperti itu dan kembali memaafkan.
Menjalarnya lebih bodoh lagi, aku merasa bahkan idolaku juga mendiskriminasiku, khususnya saat aku memilih lari kepadanya. Kenapa ketika fans lain dikomentari, aku sendiri yang tidak? Lalu perasaan-perasaan seperti terkucilkan muncul lagi. Beberapa waktu aku jadi membenci idolaku, karena pesanku yang tak pernah dibalas, karena diabaikan. Aku berubah jadi kekanakan lagi, tapi perasaan ini masih valid, aku tak menyangkalnya.
Tapi kalau gini mainnya, aku sama kek yang lain, sesuai nilai lebih, nilai fungsi dan guna, kalau gak guna, gak dipertahanin. Semua relasi kemudian hanya dinilai atas dasar transaksional belaka, jika kau tak menguntungkan untukku, pergi. Aku membencimu.
Tapi keberhasilanku kemarin adalah, aku berhasil bilang "tidak" pada orang lain, yang aku merasa, harusnya kamu juga bisa tanpa meminta tolong padaku soal itu. Aku yang sulit-sulit, lalu dia tinggal pakai gitu? Oh, tidak. "No, thanks!"
Ya, mungkin aku harus membiasakan diri dengan penolakan-penolakan, sehingga aku terbiasa juga untuk melakukan penolakan-penolakan. Haha, aku menangis lagi.
Lalu tulisan akan "bhakti" ini memberiku jawaban, dan ingin ini kujadikan prinsipku sekarang.
Sebab pandangan ini pula, aku ingin membenarkan prinsip hiduku, bukan "nalar karya wangi budi" (nalar yang terkesan transaksional) tetapi "bhakti karya wangi budi" (kesetiaan terhadap nilai-nilai Ketuhanan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar