Minggu, 29 Januari 2023

Resensi Film-Film yang Kutonton Seminggu Ini

Trinity, The Nekad Traveler (2017)

Di film ini kek kita rasanya diajak si Trin (Maudy Ayunda) jalan-jalan ke berbagai tempat menarik di Indonesia. Melihat keindahan alam Indonesia yang begitu kaya. Tak hanya itu, juga diajak jalan-jalan ke Filipina sampai Maldives. Merasakan kuliner dan birunya air laut dan ombak bercahaya di sana, wuih, indah.

Pelajaran berharga yang kudapat dari film ini: Nilai dari menjadi seorang traveler, kamu gak sekadar seneng-seneng aja, tapi juga berpetualangan. Dan keputusan paling tepat saat menjadi traveler itu gak sekadar sibuk mendokumentasikan dengan alat-alat perekam, tapi juga "merasakannya".

Usai nonton film ini, aku jadi lebih terpantik untuk hidup lebih mengejar mimpiku lagi: "Berkeliling Indonesia!". Siap-siap bikin bucking list. Ya, aku percaya di setiap tempat akan ada teman baru yang bisa kutemui. Teman tak sekadar manusia, tapi juga lingkungan dan alam itu sendiri. Yak, cakep!

Filosofi Kopi 2: Ben dan Jody (2017)

Ekspektasiku nonton film ini sih pengen diajak keliling Indonesia juga dari sudut pandang "pecinta kopi", yak, coba masuk ke alam anak-anak kopi gitu lah. Kamu dibawa ke Jogja sampai ke Toraja. Pelajaran berharga dari film ini yang bisa kupetik: (1) Pemulia benih tak pernah mati. Penanam. (2) Setiap hal yang punya rasa, selalu punya nyawa.

Sebagai orang yang tak begitu demen kopi, lihat film ini tak menambah rasa tertarikku juga pada kopi. Malah jujur terganggu dengan akting marah-marah tokoh utama Ben (Chicco Jerikho) di sepanjang film yang rasanya bikin mood tambah males aja. Meski diimbangi sama akting kalem nan Budhist tokoh Jody (Rio Dewanto), si protagonis dalam film.

Tokoh lain yang menarik adalah Brie (Nadine Alexandra) yang kuat mental banget menghadapi Ben. Ya, bener sih, kalau bukan karena cinta keknya bisa kerja di lingkungan yang seperti ini bakal berat. Kusuka gaya dan akting Brie di film ini. Cool.

Ngeri-Ngeri Sedap (2022)

Spoiler, bagi anak rantau, film ini mengandung bawang. Ya, sebuah film keluarga yang pas banget buat ditonton sama mamak, bapak, kakak, adek-adek, dan keluar besar. Konfliknya sangat keseharian dan manusiawi. Adalah Pak Domu (Arswendy Bening Swara) dan istrinya Marlina (Tika Panggabean) sedih karena tiga anaknya Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel) tak pulang-pulang ke rumah selama bertahun-tahun.

Akhirnya orangtua mereka pura-pura marah dan minta cerai dengan bantuan anak kedua yang jadi PNS di kecamatan bernama Sarma (Gita Bhebhita). Penyamaran itu pun berhasil, sehingga membuat ketiga anaknya yang laki-laki pulang. Tiap anak punya permasalahan mereka sendiri, mimpi dan cita-cita yang jauh berbeda pula, ketegangan antara yang modern dan adat juga tampak.

Kelebihan juga dari film ini, bagaimana bisa menampilkan keindahan Danau Toba yang kek surga tersendiri aja. Juga rumah si orangtua Batak yang dekat danau itu kek rumah idaman. Bisa juga gambarin budaya makan mi gomak Medan, dan tradisi kumpul bapak-bapak saat malam. Juga bicara terkait kuasa seorang ayah di dalam keluarga. Bagaimana anak-anak meniru perilaku ayah, dan ibu. Film yang "keluarga Indonesia banget!".

Chrisye (2017)

Nonton film ini jujur karena saya mengidolakan Chrisye, sebagai musisi Indonesia yang belum ada yang menyamainya. Di film ini, aku jadi lebih mengenal dengan sosok beliau secara dekat dan berencana menyambangi makamnya di TPU Jeruk Perut Jakarta Selatan. Dari film ini aku belajar terkait kesetiaan, rasa percaya, cinta, dan perjuangan bersama dengan pasangan. Muncul mimpi baru juga: Jika aku telah bertemu dengan pria yang benar-benar jadi jodohku, aku ingin dikuburkan satu lahat dengannya; ini sebagaimana Chrisye dan Yanti, atau seperti Eyang Habibie dan Eyang Ainun.

Film ini juga menunjukkan terkait proses kreatif Chrisye dalam membuat karya-karya musiknya. Chrisye yang penuh dengan keraguan, kebimbangan, dan rasa tak percaya dengan diri dan karyanya sendiri kupikir menjadi salah satu ciri dari seniman hebat. Kemudian di luar sana, aku bertanya, kenapa banyak orang yang begitu membanggakan bahkan mempromosikan karya mereka yang barangkali banyak ampasnya itu ke publik.

Aku cukup lama mendengar Chrisye, dan bagiku melodi-melodi yang dihadirkan Chrisye benar-benar kelas legenda. Di rumah, Chrisye juga adalah sosok ayah yang baik, yang suka bercerita, dan meski dalam kondisi sakit, dia masih memberikan cahaya. Akting Vino G. Bastian sebagai Chrisye dan Velove Vexia sebagai Yanti, hadir dengan tak berlebihan di film ini. Aku merinding saat proses pengerjaan lagu "Ketika Kaki dan Tangan Bicara", yang liriknya dibantu pembuatannya oleh Taufiq Ismail. Lagu yang merangkum kandungan Surat Yasin.

Film ini membawaku kembali pada Tuhan. Chrisye yang mualaf bukanlah seorang Muslim KTP yang tak acuh pada Tuhannya. Eyang.... Kapan-kapan aku akan main ke tempat Eyang, aku janji Eyang.

Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan (2015)

Trilogi buku Ernest Perkasa yang berjudul sama dengan film ini "Ngenest", kubeli beberapa waktu yang lalu di pasar buku bekas Glodok. Film yang menunjukkan bagaimana rasisme bekerja dalam bentuk komedi yang bisa kita tertawakan tapi masih memberi kita arti yang dalam. Meski tak 100 persen sama dengan buku Ernest, pesan utama jelas, dari mana kita berasal bukan poinnya, tapi bagaimana kita bisa beradaptasi itu yang menjadi hal utama.

Pemeran Meira (Lala Karmela) cukup mewakili istri Ernest. Film ini berjalan linier dari saat Ernest dilahirkan, kemudian sekolah SD, SMP, SMA, kuliah, hingga mereka menikah dan punya anak pertama mereka, Sky Tierra Solana. Aku melihat perjuangan seorang istri, dan bagaimana suami memahami istrinya bekerja di film ini. Sebuah acara tembak menembak yang tak lazim, acara pernikahan Chinese yang kocak, hingga bagaimana psikologi kelas-kelas minoritas ditampilkan.

Yang menonjol dari film ini pula bagaimana kru-krunya membuat karya secara kekeluargaan. Bahkan istri dan anak-anak Ernest ikut nongol dalam film ini. Sebuah keluarga yang menarik. Film ini juga membawa kita bagaimana menghormati kaum minoritas secara baik. Dan Ernest sekali lagi: membawakannya dengan kocak dan bisa diterima kupikir oleh siapa saja.

9 Summers 10 Autumns (2013)

Nggak tahu, rasanya campur aduk nonton film ini. Aku kayak bisa nangis seharian cuma gara-gara nonton film ini saking relate-nya sama kehidupan masa kecilku. Film ini begitu terasa nyatanya, hingga tokoh Ibu (Dewi Irawan) dan Bapak (Alex Komang) begitu menggambarkan kehidupan rumah tangga di keluargaku juga. Berikut dengan jumlah saudara yang banyak, jika Iwan Setyawan aka Bayek (Muhammad Ihsan Tarore) dalam film ini anak ketiga dari lima bersaudara, aku anak pertama dari empat bersaudara. 

Dari masa kecil Iwan yang pinter matematika, punya keinginan memiliki kamar sendiri, ke sekolah dengan sepatu yang jebol, berprestasi dalam hal akademik begitu dekat dengan masa ketika kecilku juga. Ya Allah, film ini saking nyatanya seperti membawaku pulang. Apalagi tempat (setting) di daerah Batu, Malang, kondisi kota yang masyarakatnya tak jauh berbeda dengan kotaku pula.

Banyak pelajaran penting terkait pendidikan yang bisa kurefleksikan dalam film ini. Kupikir, pentingnya dari film biografi seperti ini adalah bagaimana seseorang bisa belajar melalui orang lain, hal-hal baik yang bisa kita tiru sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan kita. Iwan, anak seorang sopir angkot yang bisa menjadi lulusan terbaik di MIPA IPB dan bekerja di silicon valley-nya Amerika, di Big Apple memberi kekuatan lain dari sebuah harapan dan mimpi.

Iwan melewati banyak masa dan perjuangan. Dia belajar, dia puasa, dia tirakat, dia bertarung sendirian, mencapai mimpi-mimpinya. Sebagaimana judul, dia melewati sembilan kali musim panas dan sepuluh kali musim dingin di New York. Film ini mengajarkanku, aku malas menjadi miskin, perjuangan sepenuh hatilah yang mengubah hidup, dan harapan terbangun dari perjuangan yang kokoh.

Melihat Iwan, aku seperti melihat diriku yang lain.... Terima kasih untuk film mengharukan ini.

Shy Shy Cat (2016)

Nonton film ini seperti dibawa langsung ke habitatnya orang-orang Sunda asli. Kehidupan desa dan pemandangan alam yang ASRI, kebudayaan daerah yang menarik untuk dikulik, dan tentu tentang bagaimana seseorang bisa memberi dampak pada lingkungannya.

Terkisah Mira (Nirina Zubir) serta dua sahabatnya Jessy (Acha Septriasa) dan Umi (Ratu Tika Bravani) pergi bersama ke kampung Mira (yang sepertinya di Garut) untuk satu visi: menggagalkan perjodohan Mira dan Otoy (Fedi Nuril). Setelah sampai ke desa, ternyata Otoy dewasa jauh berbeda dengan kondisinya saat kecil. Otoy tumbuh jadi orang yang bisa membangun kampung, membuat program-program pemberdayaan bagi masyarakat, serta mendidik anak-anak jurus-jurus kanuragan di sana.

Tak hanya itu, Otoy juga lulusan Mesir dengan dua gelar, Sarjana di bidang Agama dan Magister di bidang Bisnis. Perbedaan dua jurusan ini ternyata berdasar dan saling menguatkan. Agama dipilihnya karena masyarakat di daerah itu masih banyak yang bodoh, dan dengan ilmu agama, dia ingin membuat perubahan menjadikan masyarakat lebih pintar. Dan jurusan bisnis dipilih karena masyarakat di daerah itu banyak yang miskin, sehingga dengan ilmu bisnis bisa membuat masyarakat lebih sejahtera secara ekonomi. Karena dua alasan keterbelakangan masyarakat di daerah dia menurutnya adalah kebodohan dan kemiskinan.

Lalu jadi teringat pesan Albert Einstein: “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”.

Pelajaran lain yang berharga dari film ini adalah jodoh itu akan memilih yang terdekat, yang kita punya irisan banyak sama dia, dan jangan pernah berharap orang di luar circle akan bisa masuk; ya bisa sih, tapi kemungkinan kecil, haha. Sebagaimana yang terjadi pada Otoy dan Inul (Titi Kamal). Sebab kupikir si Otoy ini akan jadi sama Mira, ternyata tidak. Macam ilmu memasak juga sih, "Kalau kita tahu hidupnya, kita lebih intim memasaknya," kata Inul.

Aku, Kau, & KUA (2014)

Niatnya setelah nonton Shy Shy Cat, aku pengen dalami film-film karya Monty Tiwa yang lain. Ketemulah dengan film ini Aku, Kau, & KUA. Nonton dua film garapan Monty, ada satu garis merah yang kutangkap, garapan Monty cukup profetik dengan membawa ajaran-ajaran Tuhan pada film-film dengan spesifikasi usia dewasa akhir.

Film berkisah tentang sekumpulan sahabat di usia mereka yang cocok untuk menikah tengah galau dengan masalahnya sendiri-sendiri. Fira (Nina Zatulini) yang gagal menikah dengan Lando (Eza Gionino) karena Lando mengaku dirinya selingkuh. Lalu Fira dikejar oleh Deon (Deva Mahendra) yang mengidap penyakit jantung ringan, yang diam-diam mencintai Fira. Adalagi kisah Mona (Karina Nadila) yang habis putus dengan Jerry (Fandy Christian). Mona berubah penampilan menjadi lebih solehah dengan tujuan utama mendapat cowok soleh. Meski dia terjebak pada cinta yang salah, suka dengan Kak Emil (Dwi Sasono) yang sudah punya istri Widi Mulia.

Kisah lain, si Rico (Adipati Dolken), si pemuda miskin yang sering ngutang dan menjalin hubungan dengan anak orang kaya yang hidup hedon bernama Aida (Bianca Liza). Hubungan mereka tak direstui hingga Rico menetapkan pilihannya pada Uci (Eriska Rein). Tapi ada kendala lagi, Uci yang pintar dan mendapat beasiswa ke Jerman meragukan relasi tersebut karena tak ingin terjebak LDR. Hal lain yang menurut Uci krusial, dirinya mengaku jika ia sudah tak perawan lagi pada Rico.

Setelah kegalauan itu akhirnya Rico dan Uci mendapat jawaban. Juga teman-teman Uci yang lain. Film ini cukup kocak. Pelajaran pentingnya terkait cinta: "Cinta (menurut istilah) adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kembali imbalan yang datang dan diridhoi Allah SWT."

Keluarga Cemara (2018)

Lihat film ini, semakin sadar, jadi orangtua itu tidak mudah. Film remake dari serial yang lebih panjang ini semacam dimampatkan. Emak (Nirina Zubir) dan Abah (Ringgo Agus Rahman) memiliki dua anak perempuan Euis (Adhisty Zara) dan Ara (Widuri Puteri Sasono). Abah terkena PHK dan rumahnya disita karena perbuatan saudara iparnya sendiri. Kemudian mereka pindah ke rumah yang lebih lusuh tapi dengan udara dan pemandangan yang menyegarkan. Perekonomian mereka berantakan hingga si abah jadi kuli bangunan dan driver Ojol.

Euis juga harus beradaptasi dengan sekolah barunya. Dia bertemu Rindu (Yasamin Jasem), Deni (Kafin Sulthan), dan lainnya. Euis harus berjualan opak di sekolah. Kehidupan mereka berubah total. Euis kehilangan pula kehidupan mewahnya, terpisah dengan gank dance dia. Tokoh Ara yang sepertinya tak tahu apa-apa berjalan kesana-kesini tanpa beban pikiran yang berarti. Dia tak mengerti kesedihan keluarganya.

Tokoh abah dalam film ini ditampilkan seperti sosok malaikat, kebaikan-kebaikannya dalam membantu orang lain seperti dongeng saja. Sementara si Emak sebagaimana ibu dan istri yang tak kalah baiknya menerima semua keadaan suami, bahkan di titik nadir mereka sekalipun. Ada satu kutipan yang kusuka, "Jika Abah bertanggungjawab kepada kami? Lalu siapa yang bertanggungjawab terhadap Abah?" tanya Euis. Suatu pertanyaan yang menyentil maskulanitas laki-laki.

Humba Dreams (2019)

Film beralur lambat yang lebih menekankan simbol daripada cerita itu sendiri. Banyak simbol yang luput dari analisisku. Yang menarik perhatian adalah terkait Sumba. Daerah yang terletak di NTT ini ingin kusambangi suatu hari, bermain, memakai tenung adatnya, melihat adat Marapu, berjalan di antara sabananya, naik kuda poni di sana, atau hal-hal lain yang menyenangkan.

Martin (J.S. Khairen) yang juga seorang mahasiswa jurusan perfilman mencoba memecahkan teka-teki warisan ayahnya yang telah meninggal. Warisan itu berupa film yang bercerita terkait Sumba, yang harus ditonton oleh masyarakat di sekitar rumah Martin. Membuka film tersebut bukan hal yang mudah, Martin pun berkeliling kesana-kemari untuk mencari cara agar film tersebut bisa diputar.

Dalam perjalanan itu, dia pergi ke rumah seorang perempuan lokal yang beristri pria bule. Di sana, Martin juga bertemu dengan Ana (Ully Triani). Di sana terjalin cinta kilat antara Martin dan Ana, hal tabu dilakukan, yang bahkan dengan cara yang sebegitu mudah. Aku cukup terganggu di adegan ini karena cenderung diada-adakan dan pemanis saja, alih-alih memperkuat cerita.  

The lion's share aja bagiku apa yang dilakukan Ana, dan di tengah masyarakat Sumba yang masih kuat adatnya, hal itu terasa aneh. Sementara Martin bertindak sebagaimana to lead one by the nose, to control Ana completely, and fucking Ana like shooting fish in a barrel. Lalu latar isu yang dibawa juga sangat banyak: imigran, kemiskinan, agama adat, dll.

Film ini juga membawa salah satu teoritikus film D.A. Peransi. Long in the tooth. Meski aku tak begitu ngerti-ngerti amat terkait film, film ini jadi semacam film renungan perjalanan yang suwung, perlu berpikir keras atau tak usah berpikir sama sekali untuk merasakan perjalanan tiap tokohnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar