Jumat, 01 Januari 2021

LPJ 2020: Tahun Spiritual dan Padat Makna

Ketika akan menulis ini tiba-tiba pikiran saya kosong. Apa saja yang masih saya ingat selama setahun ini? Tonggak apa saja yang telah menyulut transformasi hidup saya? Namun saya merasa tahun 2020 begitu padat makna. Baik secara spiritual, fisik, dan psikologi. Banyak pihak yang tak pernah saya rencanakan datang ke hidup saya dan mengubah banyak pandangan. Jika di LPJ 2019 lalu hidup saya terasa sangat api, 2020 ini hidup saya lebih seperti air.

2019 lalu saya melewati tahun baru di kos Mak’e yang terletak di Jalan Dewi Sartika Semarang dengan kegiatan begadang menulis. Waktu itu saya sudah lebih menikmati Semarang, meski kondisi masih sama: jauh dari kesejahteraan, haha. Dan kalau saya pikir-pikir sebenarnya yang saya cari dalam hidup bukan uang yang merujuk kesejahteraan (itu kenapa saya sulit banget cari uang untuk kemudian ditabung dan kaya raya), tapi lebih ke menstabilkan diri saya baik di luar dan di dalam. Saya banyak perang dengan diri sendiri terkait tindakan dan pikiran yang saya ambil, terlalu overthinking, dan terlalu rendah melihat diri sendiri. 

Bianglala yang ada di sekitar Puri Maerokoco
Tahun 2020 berjalan dengan selow. Di awal-awal bulan masih menjalani liputan gembira di Inibaru.id, menjelajahi aneka kuliner, wisata, dan komunitas di Semarang. Serta perayaan-perayaan umat Tri Dharma yang bagi saya baru dan meriah di Pecinan. Lebih sering juga pergi ke Perpustakaan Daerah di dekat Taman Budaya Raden Saleh sebelum pandemi Covid-19 meluas di sekitar bulan Maret. Setelah itu kehidupan rasanya berubah total hingga akhir tahun.

Pertengahan bulan Juni saya kena dampak Covid-19 karena dirumahkan entah sampai kapan—bahasa luar negerinya layoff. Sehingga 100% kerja saya jadi WFK, Work From Kost dengan ritme yang bisa dibilang suka-suka asal beres. Saya mengerjakan terjemahan, content writer, notulensi, bikin annotated bibliography, dan spent too much times to explore the research world in the international university. 

Self consent
Saya juga pernah sampai di titik kulminasi jadi journal hoarder dan tukang download Libgen dan Sci-Hub yang freak sampai webnya nggak bisa diakses saking over-download, wkwk. Sehingga saya beralih ke booksc.xyz; dan dicueki Sci-Hub saat itu lebih berat rasanya dibanding nggak namaste karena dengerin lagu-lagunya Akeboshi dan Pink Floyd, sumpah! Rasanya pengen nangis di depan Mbak Alexandra Elbakyan aja biar koding Sci-Hub di laptop saya dibenerin. Belakangan saya sadar itu nggak baik, intinya jangan jadi hoarder. Jawanya, nyusoh tok.

Bisa dibilang minat dan cita-cita saya berubah dari reporter berita ke peneliti dan penulis jurnal. Banyak pertimbangan kenapa sampai ke titik ini. Beberapa di antaranya efek dari ikut pelatihan Prakerti dulu, melihat pola kerja saya yang lebih cocok di belakang layar, lebih suka dalami satu hal daripada tahu banyak hal, dan dunia jurnal ilmiah sepertinya lebih banyak membutuhkan orang yang serius daripada dunia jurnalistik—wartawan keren di Indonesia sudah turah-turah, tapi scholar Indonesia yang keren nggak sounding sama sekali; masak iya Vedi R. Hadiz lagi, Ariel Heryanto lagi, yang muda-muda dong, haha. Saya senang dengan kemunculan scholar muda baru kayak Mas Iqra Anugrah dan Mas Geger Riyanto.

Nasihat Kim Jung-hwan

Ya, saya mengamati ada perbedaan yang jauh antara jurnal Indonesia dan luar negeri, scholar Indonesia dengan scholar luar negeri, akademisi Indonesia dengan akademisi luar negeri, dosen Indonesia dengan dosen luar negeri, peneliti Indonesia dengan peneliti luar negeri. Luar negeri di sini yang saya maksud negara-negara yang risetnya maju seperti di Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Pertama, jurnal luar negeri dibuat dengan serius dan selalu mengejar kebaruan. Keseriusan paling mencolok mata terlihat dari jumlah halaman dan pemakaian daftar pustaka. Kebaruan yang ditawarkan juga dinamis-berkembang, berbeda dengan jurnal Indonesia yang terkesan reproduksi isu lama, suka mbebek isu sampai teori, dengan referensi bacaan yang masih sedikit dan analisis yang nggak dalam.

Kedua, penelitian dan nulis jurnal di luar negeri itu kayak ghiroh, tapi di Indonesia kayak tuntutan. Itu kenapa perkembangan ilmu pengetahuan di luar negeri lebih cepat. Jadi Indonesia itu kayak ketinggalan peradaban.

Ketiga, karir akademisi dimulai sejak mahasiswa S1 tingkat awal, hingga dia linier ke S2 dan S3 sampai postdoc; kalau di Indonesia, yah, kuliah ya kuliah aja. Misal ntar akhirnya jadi akademisi atau dosen kayak untung-untungan. Maksud saya, karier sebagai dosen jarang ada yang dipersiapkan dari awal. Itu dampaknya besar ketika si orang ini jadi dosen, akan gagap. Dan masih banyak lagi sih, lain kali kalau sempat saya buat tulisan tersendiri deh. Sekarang fokus ke cerita perjalanan hidup saya dulu setahun ini, hehe.

Gendhis lagi main
Nah, di kos, redaktur saya Mbak Zum satu kos dengan saya di kos Mak’e. Mbak Zum punya satu anak perempuan cantik dan manis bernama Gendhis Najwa Putri (5 tahun). Saya dan Gendhis sering main, hahaha. Main apa aja, dari masak-masakan, pasir-pasiran, bola-bola, dan lain-lain. Salah satu hal paling sedih di Semarang adalah ketika berpisah dengan Gendhis saat saya memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta lagi. Pagi itu, Sabtu, 5 Desember 2020, Gendhis dan Mbak Zum ngantar saya ke halte bus Trans Semarang Dewi Sartka. Jabatan tangan Gendhis sangat erat, Ya Allah… Semoga Gendhis punya teman yang banyak dan selalu ceria.

Spiritual

Pandemi Covid-19 mengajari saya untuk banyak merenung dan kontemplasi lebih dari biasanya. Ada dua tempat di Semarang yang sering sekali saya kunjungi untuk menenangkan hati: Gua Maria Dewi Sartika dan Makam Soegijapranata di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal. Keduanya tempat berdoa umat Katolik dan saya selalu merasakan kedamaian tiap kali berkunjung ke sana. Di Gua Maria, saya sering menikmati Semarang dari ketinggian, di sana suasananya sangat tenang, teduh, dan beban hidup saya terasa hilang setiap kali berkunjung.

Di makam Rm. Soegija, beliau sudah saya anggap sebagaimana kakek saya sendiri. Saya membaca kisah beliau dari buku Ayu Utami berjudul Soegija: 100% Indonesia. Buku ini salah satu buku profil terbaik yang pernah saya baca. Menceritakan bagaimana perjalanan Rm. Soegija masuk ke Katolik, ikut sekolah pastur, mendapat pendidikan Belanda, hingga menjadi uskup peribumi pertama Indonesia. Bagaimana Rm. Soegija menjadi “penggembala” umat. Beliau “meninggalkan kemewahan duniawi dan menjadi pelayan Kristus.”

Main ke makam Rm. Soegija

Sebagaimana yang dikatakan Ayu Utami, Rm. Soegija memutuskan mengambil perjalanan menjadi manusia baru (novis). Beliau imam yang ditempa secara matang dan terpelajar, yang menguasai bahasa Latin, Perancis, Belanda, Italia, dan Inggris. Dia membawa hawa yang mengubah dunia, dengan mata, senyum, dan sikap yang tak senaif dulu ketika dia masih kecil. Rm. Soegija setia akan kaul prasetya Serikat Jesuit: hidup miskin, murni, dan taat dengan nasihat injil. Imam yang mampu berdiplomasi untuk mempertahankan sesuatu yang baik. Rm. Soegija mengingatkan saya dengan Romo-Romo lain yang saya kenali dengan baik: Rm. Driyarkara (alm.), Rm. Mangun (alm.), dan Rm. Benny Juliawan. 

Everald Candi Semarang

Meski begitu, saya tetaplah Islam. Tradisi dan pelajaran dari umat Katolik memperkaya cakrawala pengetahuan saya terkait agama di luar saya dengan lebih komprehensif. Sebagaimana saya juga dekat dengan agama Tri Dharma ketika saya lihat mereka dari dekat di kelenteng-kelenteng. Bagaimana mereka beribadah, siapa saja Dewa dan Kong Co mereka, seperti apa ajaran kebaikan mereka. Lalu saya berkenalan lebih dalam dengan Dewi Kwan Im, Toisme lebih dekat, Buddhisme lebih dekat, dan kisah dewa-dewa. 

Mausoleum Thio Sing Liong yang adem

Pikiran saya jadi lebih terbuka dengan agama di luar saya. Tempat spiritual lain yang saya datangi seperti Makam Sunan Pandanaran, Masjid Baiturrahman, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Gereja Gedhangan, Kelenteng Hoo Hok Bio, Kelenteng Tek Hay Bio, Kelenteng Grajen, dan lain-lain.

Kelenteng Grajen

Selama pandemi pula, saya mendengarkan Ngaji Filsafat dari Pak Fahrudin Faiz di Youtube lebih banyak dari biasanya. Saya menyukai cara penyampaian Pak Faiz yang adem, tulus, dan menthes. Banyak tema-tema dan tokoh-tokoh yang membuat parasut otak saya terbuka lebih lebar, bersama Pak Faiz saya diajak berkelana pikiran para filsuf dan tokoh sehingga lebih mendekatkan saya dengan Allah SWT. Yang masih saya ingat tentang Al Ghazali dengan metode analitikanya yang terdiri dari 6 tingkat dari tertinggi hingga terendah: ilmu, itiqad, zann, syak, wahm, dan jahl. Semakin menjauhi ilmu mending nggak usah direken

Doa pada Kong Co

Asmara

Umur 27 tahun cukup mengganggu saya tiap ada tanda dari orang-orang dekat yang seolah ingin bilang: saya perempuan dan harus cepat nikah. Dikira nyari dan milih jodoh semudah nyari dan milih ayam goreng di warung apa ya. Apalagi pengalaman saya soal percintaan sangat minim. Saya sebetulnya itu orangnya setia; sulit jatuh cinta; dan sulit membuka diri-perasaan. Saya ketutup banget bahas ini, tapi kalau udah ketemu, saya cenderung langsung ngungkapinnya langsung ke orang itu. Dan, well, saya ditolak and it was okay. Nolaknya emang nggak secara langsung, tapi dengan alasan-alasan yang coba bilang: Is, sadar, dia nggak suka sama lu! Dari situ saya banyak belajar terkait kebodohan-kebodohan saya dalam mencintai seseorang, dan saya janji kebodohan itu nggak akan saya ulangi lagi.

Bener Bu Lee Il-hwa
Pandemi ini dalam konteks percintaan membawa saya ke aplikasi Tinder. Kalau pernah nonton film DOA: Cari Jodoh; Tinder diplesetkan jadi Minder dengan motto: cari jodoh jangan minder. Di sini saya banyak bertemu stranger dan banyak obrolan yang bisa saya ambil hikmahnya. Saya lumayan intensif main Tinder selama kurang lebih dua bulan, sekitar Agustus dan September. Dari akun nama alias hingga nama asli. Yang profil asli perasaan kisahnya lurus-lurus aja, yang alias dengan nama dan foto yang misterius, saya banyak match dengan laki-laki berbagai model. Dari yang baik-baik, yang kontemplatif, yang rajin olahraga, yang peneliti, yang buaya, yang bapak-bapak, yang tukang selingkuh, hingga yang mesum dan predator. Tinder bener-bener dunia yang brutal. Banyak sebenarnya yang masih berhubungan sampai sekarang entah lewat WA atau Instagram. Saya akan coba ceritakan yang meninggalkan kesan khusus, mungkin satu saja ya, lainnya biar kisah mereka saya save di memory khusus.

Well said dari Mbak Velove Vexia
Pernah nggak sih kamu ketemu dengan orang untuk pertama kali, tapi kamu merasa kamu dan dia pernah bertemu sebelumnya? Ya, itu yang saya rasakan dengan pria ini. Intuisi saya yang entah tajam atau tidak coba mengatakan bahwa dia orang yang jujur dan baik. Dia menceritakan pada saya terkait kisah hidupnya, ya sedih sih bisa dibilang. Tapi entah saya menemukan chesmistry yang membuat saya nyaman dan cocok sama dia—entah dia. Di chatting pertama kali, dia merekomendasikan lagu yang seperti mengangkat kesedihan saya kala itu. Saya sering dengar lagu itu, dan saya suka dengan lagu itu. Tiap kali dengar lagu itu anehnya saya ingatnya dia. Tahulah. Lagu itu sempat jadi lagu yang paling sering saya putar selama empat bulan terakhir ini, sempat jadi nomor satu juga di Spotify saya.

Lagu-lagu yang enak didengar
Terus saya coba jalin komunikasi dengan dia dengan cara yang nggak lebai-lebai amat lah ya. Saya juga sadar kok ini cuma Tinder dan saya juga nggak berharap-harap banyak. Suatu hari saya dan dia saling berbicara di telepon, dan obrolan dengan dia mengajarkan saya banyak hal. Saya jadi paham diri saya macam apa dalam hidup dan dalam menyukai orang. Kami sama-sama berkepribadian INTJ (MBTI Personality), tapi sekilas saya perhatikan dia lebih jaga privasi dia dengan membatasi diri pada sosial media. Saya pikir dia orangnya tertutup, setelah teleponan nggak juga, haha.  Tapi bener sih kata-kata dia kalau saya pikir-pikir:

“Kamu udah kebanyakan rem. Kamu perlu jalan. Kamu terlalu banyak yang dibakukan dan diteorikan … Cara nglatihnya dilakukan, nggak ditanyakan … Susah hidup text book. Nanti nggak fleksibel … Enjoy aja … Jalanin, nglakuin … Kalau perlu tabrak. Kamu kurang nabrak, kurang nge-gas … Kamu kurang keluar dari ceruk yang kamu buat dan kamu tangisi sendiri …” Jleb.

This was my big note, abundantly thanks for him. Thank you for his times and caring, may he has his truly life and love. And I hope success for him. 

Kayaknya ini obrolan malam hujan-hujan di Reply 1988

Lalu salah seorang sahabat baik saya memberikan nasihat-nasihatnya pula terkait pengalaman percintaan. Sahabat saya ini beda jauh dengan saya. Dia sudah lebih 22 kali pacaran, pernah menggunakan Tinder pula selama sekitar 2 tahun dan dia ceritakan semua kebusukan-kebusukan orang di Tinder. Sejak saat itu, saya punya prinsip saya sendiri dalam mencintai seseorang (apalagi memilih pasangan).

Intinya, jangan bodoh dalam mencintai, “cowok suka dengan tantangan. Jangan mudah ngasih cinta ke cowok. Cowok yang sungguh-sungguh sama kamu akan merjuangin dan jaga kamu, bukan kamu yang merjuangin dan jaga dia. Ntar berat di belakang.”  Sahabat saya menambahkan aturan lagi kalau mau cari jodoh, “Lihat juga bibit, bebet, bobot dia.”  Jadi ladies, kalau dalam diri cowok tidak ada ciri-ciri atau kapasitas itu, mending mundur aja, berat di belakangnya entar, berattt—and I do that. Cinta bisa diusahakan, tapi kecerendungan, komitmen, dan kepribadian susah. Jangan mau dibodohin cinta doang—palagi sampai bucin, hedeh.

Di sisi lain, saya hanya teringat pesan dari app The Pattern yang dikenalkan oleh salah seorang teman Tinder pula, kata aplikasi itu: “If you’re constantly drained and exhaust, it’s a sign, you’re offering your love to the wrong person or using your gifts in unhealthy ways.”  Big-hell-yes.

Saya juga percaya, sebagaimana janji Tuhan, bahwa jodoh, rejeki, dan mati telah ditentukan; jodoh tak perlu dicari. Nanti dia akan datang sendiri kalau kamu sudah “siap” (setidaknya untuk ukuranmu). Kalau dicari takutnya orang itu akan manfaatin kamu. Entah psikologi, emosi, material, tenaga, fisik, dll. Kalau bahasanya Radiohead: True Love Waits.

Dari pengalaman ini saya sudah mengikhlaskan semua beban cinta yang memberati batin saya. Dari kisah cinta saya semasa kuliah hingga saat ini. Dari cinta yang keras kepala, hampir 7 tahun saya masih memelihara rasa padahal saya tahu dia nggak peduli, ya sudah let it go that feeling. Juga pernah ada perasaan sama adik tingkat saya di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Tapi ini udah clear sih, soalnya dia udah punya pacar juga. Ngapain coba ganggu? Cari penyakit aja. Mesti tegas lah soal gini-ginian. Hidup ini keras dan bajingan, Bung!

Haha, terampil menderita

Benar kata Koh @keisavourie, “Prinsip penting: jangan membuang waktu, tenaga dan perasaan untuk mendekati orang yang tidak memberikan respon positif.”

Kesehatan

Perubahan lain yang saya sadari pada 2020, saya lebih banyak olahraga jalan pagi tipis-tipis keliling kompleks perumahan Dewi Sartika, sepedahan sekitaran Sampangan dan Sam Poo Kong, dan sepanjang tahun ini saya bersyukur tidak ada masalah fisik serius yang menimpa saya. Paling ya kadang lapar karena nggak ada uang untuk beli makan, itu aja, haha. 2020 ini saya bersyukur juga bisa lebih banyak puasa daripada tahun kemarin, semoga berlanjut di tahun 2021. Puasa bisa ngendaliin diri saya agar nggak terlalu overthinking dan ngontrol ego agar jinak.

Pohon paan sih itu?

Dari olahraga, terutama jalan-jalan pagi itu memberikan energi besar buat psikologi saya. Satu jam jalan kaki bisa menjaga mood saya tetap baik sepanjang hari. Dari jalan-jalan itu saya lebih banyak nglepas dan detox hal-hal yang menurut saya penting ternyata nggak penting-penting amat. Saya seperti ada jeda antara diri saya dan masalah saya. Bisa melihat lingkungan sekitar dengan lebih menghayati, melihat bagaimana roda relasi berputar, hingga jadi pengamat arsitektur dari jalan. Ya, saya punya ketertarikan lebih juga sama dunia arsitektur. Saya suka ngamati fasad rumah seseorang, modelnya, bentuknya, penataan ruang, warna, juga tanaman-tanaman mereka. Saya juga sudah punya rencana model rumah seperti apa yang saya inginkan. Tinggal memprogram diri jadi kaya, haha. Ini susaaahh. 

Dengerin nih ayahnya Taek

Tahun 2020 ini saya sedikit-sedikit juga mengalami kemajuan dalam merawat diri sendiri—nggak freak-freak amat merawat tulisan dan bacaan. Setidaknya saya tahu handbody, parfum, bedak, sabun cuci muka yang cocok untuk saya. Meski dengan eksperimen-eksperimen ini jerawat saya ternak banyak. Terima kasih juga untuk sahabat-sahabat perempuan yang peduli pada saya. Berkomunikasi dengan mereka secara tak langsung menjaga saya pula untuk tetap waras. Ada beberapa nama yang akan saya kenang.

Karier

Saya mengakui sepanjang 2020 ini ada beberapa pihak yang telah saya kecewakan. Saya minta maaf dari lubuk hati terdalam. Terlebih pada project membuat buku terkait Petrokimia Gresik bersama Pak Nasir Tamara yang berhenti di tengah jalan. Jujur saat itu mental dan kejiwaan saya tak siap; bulan yang memukul karier saya, dan saya masih merasa tak pede dengan kemampuan saya sendiri. Kedua, pada institusi les di Semarang yang tiba-tiba saya keluar padahal sudah diterima jadi guru les Fisika. Lagi-lagi saya terlalu inferior akan skill sendiri yang bahkan belum saya coba. Saya terima penghakimannya sebagai hukuman untuk saya pribadi. Beberapa seleksi kerja saya juga gagal, termasuk di media Kontan, Harian Jogja, salah satu start up teknologi, Wikimedia, dan lain-lain.

Sebelum pengemuman gagal menyerang
Namun saya bersyukur dan senang dengan beberapa capaian yang saya lakukan di tahun 2020. Di antaranya:

1. Membuat buku kumpulan liputan selama di Inibaru berjudul “Semarang dan Sahabat Baik”.

2. Menyelesaikan novel Kaki Lima yang sudah bertahun-tahun tak saya pegang.

3. Membuat 48 review jurnal akademik yang saya share di Instagram @ideopraksis dalam rentang 18 September-28 November 2020. Saya ingin melanjutkan pembumian jurnal ini lagi agar tak stuck di menara gading.

4. Bisa ikut berproses bersama kawan-kawan di web Islam Bergerak (bersama Mbak Riski Amalia Afiat, Mbak Rasela Malinda, Bung Azka Fahriza, Bung Ahmad Thariq, Bung Sutami, Bung Muhtar Habibi, Bung Azhar Irfansyah, Bung Khalid Syaifullah, Gus Roy, dll). Kawan-kawan yang selalu membuat saya terus ingin belajar dan melecut semangat keilmuan saya dengan metode dan kritikan yang ketat—sometime pedes, haha.

5. Menulis satu artikel tentang pandemi berjudul “Melawan Teater Pandemi Post-covid” bersama Satupena yang diterbitkan Balai Pustaka. Buku ini dapat penghargaan MURI yang ditujukan pada Satupena sebagai “Penyusun Kitab Pertama tentang Pandemi Covid-19 yang ditulis oleh 110 Ahli Lintas Disiplin” pada 17 Desember 2020.

6. Diterima jadi peserta Sekolah Penelitian Sosial yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas. Di sini saya banyak mengenal guru-guru lagi, terlebih dari UMY, UIN, UGM, dll: Cak David Efendi, Mas Fauzan, Mas Ahmad, Mas Herdin, Mbak Mia, Mbak Sanny, dkk para peneliti-peniliti sosial muda. Untuk alasan ini saya ke Yogyakarta kembali. Sebagaimana tekat saya dari awal, saya ingin menyeriusi dunia penelitian. Karier saya ke depan ingin saya fokuskan ke dunia penelitian.

Wankawan Sekolah Penelitian Sosial #3 RBK

7. Rezeki yang tak pernah saya duga-duga bisa menjadi bagian dari penelitian etnografi digital bersama pakarnya langsung: Prof. Ward Barenschot (University of Amsterdam, KITLV), Doktor Yatun Sastramidjaja (University of Amsterdam, ISEAS), Mas Wijayanto (LP3ES), Prof. Peter Burger (Leiden University). Makasih banyak pada Mbak Fatimah Azzahra (Asean Youth Forum) dan Mas Rizal (LP3ES) yang telah memberi saya jalan untuk belajar. Saya ingin belajar banyak dari penelitian yang sangat baru ini.

Untuk ukuran karier, secara materi saya memang masih jauh jika dikatakan telah sejahtera. Doa saya di tahun 2021 adalah semoga saya lebih syukur, sabar, dan lapang dada. Semoga Tuhan memberi saya kestabilan finansial, serta saya ingin lebih banyak ngobrol dan membuka diri saya dengan orang lain tanpa perasaan takut, tertekan, dihakimi, dan merasa inferior. Mungkin sudah cukup saya mengisolasi diri dari sejak kecil hingga sekarang. Saya juga lebih ingin menikmati perjalanan hidup apapun kondisinya dan mencintai seseorang dengan lebih dewasa. Semoga ini cukup realistis untuk saya wujudkan. Aamiin.

Apa yaa?

Penutup

Renungan mendalam yang mungkin saya dapat selama tahun 2020 adalah saya menemukan inti ajaran Stoa (Stoikisme). Filsafat sebagai laku hidup dan menerima segala hal dengan apa adanya. Memberi batas yang jelas antara apa yang tergantung pada kita dan apa yang tidak tergantung pada kita.

“Di mata kaum Stoik, kira-kira apa yang menjadi penyakit jiwa kita? Penyakit utama jiwa adalah emosi negatif (nafsu-nafsu atau hasrat berlebihan menginginkan atau menghindari sesuatu); dan emosi adalah cara menilai yang tidak tepat (faulty judgement). Menurut diagnosis kaum Stoik, emosi-emosi tak teratur menjadi petunjuk adanya “mental disturbance, gangguan mental” yang lebih dalam: yaitu cara berpikir dan cara menilai yang salah.

Filsafat sebagai terapi-jiwa ditujukan terutama untuk menyembuhkan jiwa kita sendiri. Itu makanya, filsafat sebagai praktik bahannya adalah diri kita sendiri.” (A. Setyo Wibowo dalam buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, 2019, hlm. 36-37).

Suatu ajaran yang tanpa saya sadari telah diterapkan oleh orang-orang yang menginspirasi saya ketika kuliah. Yang kuncinya secara nggak sadar diberikan kepada saya oleh bantuan orang lain pula beberapa waktu yang lalu. Terima kasih.

Godean, 31 Desember 2020-1 Januari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar