Selasa, 31 Januari 2023

Tabula Rasa (2014): Saat Orang Papua Memasak Masakan Padang

Di sekitar jalan menuju kosku, tepatnya di jalan menuju Museum Prasasti, ada empat Kedai Masakan Padang yang berjejer dengan jarak yang tak jauh. Aku bertanya-tanya, mengapa orang-orang Padang tak ada takut-takutnya berkompetisi dengan satu rasnya sendiri, dalam jarak yang dekat. Bisa jadi itu bukan kompetisi, tapi persaudaraan, sebagaimana yang dikatan Mak Uwo dalam film ini.

Ya, itu kesan yang kuingat ketika menonton film Tabula Rasa. Tapi film ini lebih kompleks dari yang kuduga. Kayak membayangkan sebuah dunia lain, yang diisi dengan masing-masing suku di Indonesia, dari Minang, Papua, Sunda, Jawa, hingga suku Kei barangkali hidup dalam satu rumah. Dan hal ini barangkali pernah kurasakan ketika sekolah.

Di film ini, Emak (Ria Irawan), Parmanto (Yayu Unru), dan Natsir (Ozzol Ramdan) yang adalah orang-orang Minang, dipertemukan dengan Hans (Jimmy Kobogau) orang Papua. Mimpi Hans sebagai pemain sepak bola profesional karam karena dia ditolak (bagaikan sampah yang dicampakkan). 

Kaki Hans yang sedikit pincang akibat cedera dirasa tak mendukung untuk dia jadi pemain sepak bola. Ya, ini diibaratkan seorang penulis tangannya cacat tapi dianggap tak jago dalam menulis.

Hans yang juga seorang yatim piatu pun hidupnya makin terlunta-lunta di pinggiran Jakarta. Lalu ada Emak yang menolong, karena Hans mengingatkan Emak akan anak laki-lakinya yang meninggal karena gempa di Padang. Hans pun diam-diam jadi anak angkat Emang, Hans diajari memasak masakan Padang, dan dia bisa membuktikan diri jika dia ternyata juga jago memasak masakan Padang.

Yang menarik, bagaimana budaya orang Padang dan budaya orang Papua dibenturkan. Orang Papua yang ceplas-ceplos, kasar, keras, pemalas, emosian, tak bisa menyimpan uang dengan baik; bertemu dengan orang Padang yang hemat, pandai mengatur uang, pekerja keras, dan ramah. Adaptasi antar keduanya terlihat dalam film ini, dan tentu Hans sebagai suku yang dianggap marjinal dalam film ini menunjukkan karakter aslinya. Pemunculan karakter ini jadi semacam stigma sendiri, tapi juga dikurasi oleh sang sutradara untuk menunjukkan ketegangan.

Dalam film ini pula, secara tak langsung aku diajari terkait teori memasak dan memilih material untuk dimasak. Bahwa bawang impor yang murah dan kelihatan segar itu rasanya tak setajam bawang merah yang kecil dan ditanam di tanah sendiri. Lalu bagaimana cara menikmati masakan Padang hingga papeda, cara membuat Gulai Ikan Kakap (alih-alih rendang).

Masing-masing aktor dalam film ini memiliki karakter yang kuat, yang membentuk keseluruhan cerita. Dunia ini rasanya memang dipenuhi dengan kontradiksi-kontradiksi. Dari kontradiksi itu kita sama-sama belajar. Tokoh-tokoh dalam film ini membumi, dan jika kita menjadi salah satunya, belum tentu bisa lebih baik membuat keputusan ketimbang mereka.

Moment paling mengharukan buatku saat Parmanto yang sedang bekerja untuk rumah makan Padang seberang memesan masakan Padang buatan rumah makan Emak yang masakannya dibuat oleh Hans. Di situ kek terlihat, kualitas tak pernah bohong, bahkan kualitas ini bekerja untuk bidang-bidang lain seperti menulis. 

Dalam film ini aku melihat bagaimana makanan yang tak bernyawa itu bisa hidup dan berbicara sangat banyak. Bagaimana kedai Padang sebagaimana gerai waralaba KFC yang bisa ditemukan dengan mudah di mana-mana. Atau tentang bagaimana Indonesia Timur dan Barat yang bersatu di Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar