Rabu, 21 April 2021

Saluran Penciptaan Reproduksi Sosial

Awal debat terkait nilai reproduksi sosial terjadi pada 1972 oleh tulisan Selma James dan Maria Rosa Dalla Costa berjudul “The Power of Women and the Subversion of the Community”; suatu pamflet dan narasi politis yang berfokus pada pekerjaan rumah tangga yang tak digaji. Di mana kapitalisme melakukan generasi dan regenerasi, baik secara biologis maupun sosial. Leopold Fortunati bahkan menyoroti tidak hanya pekerjaan rumah tangga, tapi juga kerja seks menjadi kerja reproduktif dalam skema produktivis. Hal yang luput oleh pengamatan para Marxian ortodoks.

Diskursus lainnya, Federici lewat “Caliban and Witch” menganalisis akumulasi primitif sebagai proses yang menimbulkan perampasan, devaluasi, dan domestifikasi perempuan. Dia mengamati kondisi kerja perempuan dan laki-laki koloni sebelumnya selama fase fordist dan post-fordist. Dan menunjukkan bagaimana kapitalisme pertama kali membangun perampasan imperial dan kolonialnya.

Sedangkan sosiologis feminis Jerman, Maria Mies, lewat analsisinya dalam “Leacemakers of Narsapur” di India (1982) menghilangkan mitologi nilai hanya sebagai hasil dalam dunia produktif. Di mana proses housewifisation secara sistematis mengaburkan nilai dan menghalangi perempuan secara produktif berkontribusi pada pasar, karena kerjanya tanpa nilai produksi.

Dalam artikel ini Alessandra menguliti ulang terkait Teori Reproduksi Sosial/Social Reproduction Theory (SRT) yang disalahpahami dengan berbagai logika, termasuk oleh para feminis radikal. Awal analisis reproduksi sosial dasarnya berpremis pada pekerjaan rumah tangga, lalu fokus meluas hingga kurangnya upah. Hal ini mendapat kritikan dari para Marxian, karena menyamakan antara faktor produktif dan upah sebagai hal yang sinonim. Sirkuit perawatan (care) yang mereproduksi pekerja sebagai penghubung, berbeda dengan modal dan penciptaan-nilai. Reporoduksi sosial dan perawatan tidaklah sinonim sebagaimana analisis dari feminis liberal. Ditambah patriarki dan kapitalisme bukanlah sistem yang bertentangan.

Di sisi lain, geografi selalu berpengaruh terhadap logika yang dimilikinya. Scholar yang mendalami SRT kebanyakan fokus pada Eropa dan Amerika Utara, terkait bagaimana institusi dan arsitektur kapitalis bertranformasi selama masa neoliberal, yang mencipakan relasi trayektori di berbagai wilayah.

Analisis yang dilakukan oleh Alessandra berpendapat bahwa pemahaman aktivitas dan ranah reproduksi sosial sebagai pemroduksi nilai dapat mengembangkan pemahaman kita terkait hubungan buruh pada masa kapitalisme kontemporer. Menurutnya, aktivitas dan ranah reproduktif berkontribusi terhadap proses penciptaan nilai melalui tiga saluran:

(1) Penguatan pola kontrol buruh secara langsung sehingga angka eksploitasi meluas. Faktor ini terlihat dalam kontrol yang melebihi waktu kerja, sebagaimana terjadi di Vietnam, China, Republik Ceko, India, dengan adanya asrama atau perumahan industrial yang memperluas kontrol buruh. Di sini, antara kerja dan waktu reproduktif jadi kabur, reproduksi sosial menjadi terindividualisasi dan masuk dalam proses penciptaan nilai.

(2) Menyerap eksternalisasi sistematis biaya reproduksi. Ranah reproduksi sosial dan aktivitasnya secara langsung berkontribusi terhadap penciptaan nilai lintas pabrik global. Lewat penyerapan secara sistemik eksternalisasi biaya reproduksi sosial yang secara de facto mensubsidi modal.

(3) Proses subsumsi formal tenaga kerja yang tetap endemik di sebagian besar dunia. Aktivitas dan ranah reproduksi sosial secara langsung menggantikan nilai melalui proses ekspansi subsumsi (subsumption) formal buruh. Membuat kemungkinan fragmentasi dan dekomposisi buruh di seluruh dunia. Analisis ini referensinya dari Sweatshop Regime.

Konsep ini meluas ke kerja informal dan penginformalisasian. Mayoritas rakyat di planet ini berada dalam ekonomi informal. Data ILO, 85,8% total pekerja di Afrika, 71,4% di Asia dan Pasifik, 68,6% di Negara Arab, dan 53,8% di Amerika adalah pekerja informal. Atau hampir 2/3 dari pekerja di seluruh dunia adalah informal.

­Di India sendiri, berdasarkan penelitian dari Barbara Harriss-White dan Nandini Gooptu, para pekerja informal di India dan tempat lain tidak banyak terlibat dalam perjuangan kelas, karena mereka masih memperjuangkan hal lain, yaitu "perjuangan memperebutkan kelas". Mereka berjuang untuk diakui sebagai kelas pekerja lalu mengembangkan kesadaran kelas mereka sendiri.

Quote:

“Specifically, this analysis argues that reproductive realms and activities contribute to processes of valuegeneration through three channels: first, by directly reinforcing patterns of labour control, expanding rates of exploitation; second, by absorbing the systematic externalisation of reproductive costs by capital, working as a de-facto subsidy to capital; and, third, through processes of formal subsumption of labour that remain endemic across the majority world.”

"In fact, reproductive activities and realms play a key role in shaping such relations and in the processes of surplus extraction they are embedded in, particularly, (albeit not only), developing regions; that is, in the ‘majority world’."

"Geography always matters for the ways in which we explore the world and interpret its logics."

"[s]ocial reproduction realms and activities are directly crucial to the structuring of processes of labour surplus extraction; expand rates of exploitation; and hence build (exchange) value."

Alessandra Mezzadri, (2019), On the value of social reproduction: Informal labour, the majority world and the need for inclusive theories and politics, Radical Philosophy 2.04, 33-41.

Sumber: https://www.radicalphilosophy.com/wp-content/uploads/2019/04/radical_philosophy_2_04_mezzadri-on-the-value-of-social-reproduction.pdf

#alessandramezzadri #socialreproduction #theory #informallabor #informaleconomy #SOAS #sweatshopregime

Tidak ada komentar:

Posting Komentar