Selasa, 27 April 2021

Kapitalisasi Islam Lewat Hijab

Hijab merupakan "tatacara berpakaian yang pantas" sesuai dengan agama. Menjadi dress code Islam, tertuang dalam QS Al-Ahzab: 59 dan An-Nur: 31. Istilah hijab merujuk pula kerudung populer awal 1980-an. Di berbagai negara bersinonim dengan burqa (Afganistan), abaya (Arab), Chador (Iran), tudung (Malaysia), purdah/niqab (Pakistan). Hijab sendiri dari bahasa Arab yang artinya tabir (penghalang), aurat perempuan seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Hijab telah ditentukan fungsi dan penggunaannya dalam syariat Islam.

Namun, fenomena hari ini telah terjadi pergeseran nilai fungsi hijab, alih-alih menutup aurat dan nilai relegiusitas, berkecenderungan mengeksploitasi pesona kecantikan bagi penggunanya. Hijab mengikuti mode adalah gaya busana zaman tertentu dan menjadi ekspresi zaman. Terlebih mode berkecenderungan sering berkiblat ke barat. Desain yang modis, colorfull, modern, dengan berbagai bahan, khususnya di kota besar. Hari raya agama jadi semacam festival dan pentas konsumsi; dirayakan oleh televisi, media sosial, dan pasar. Nyaris tiap hari terpapar iklan ini.

Kritik yang dilayangkan dalam penelitian ini adalah hijab dari yang awalnya bentuk kehormatan berubah menjadi tren budaya populer. Hijab kemudian mengandung konotasi fetis. Fetis berasal dari bahasa Portugsi, fetico, artinya daya pikat atau sihir yang terkandung dalam objek. Mengandung unsur jamal (keindahan batin) dan husn (keindahan zahir). Fetisisme: pemujaan akan sesuatu yang didorong atas kepercayaan tertentu yang menjerat manusia. Dalam konsep Marx, fetisisme komoditas adalah "sifat produksi komoditas dalam sistem kapitalis." Bukan hanya sebagai nilai guna, tapi juga daya pesona. Dia memberi kualitas yang menggoda meski di sisi lain menutupi asal tenaga kerja.

Fetisisme komoditas ini yang menyuburkan konsumerisme dan kapitalisasi Islam. Ibrahim (2009) memaknai kapitalisasi Islam sebagai "penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, bisnis, dan kapitalisme." Bukan konsumerisme yang memenuhi kebutuhan, tapi konsumerisme menyimpang yang tidak menurut kebutuhan, menekankan pada barang/materi sebaga ukuran prestise, gengsi, dan kebahagiaan. Cantik tak sekadar fisik lagi, tapi memakai brand yang diiklankan.

Diperkuat dengan eksploitasi yang diakukan di media massa melaui ilusi penggunaan tubuh (libidinal power) dan segenap sensualitasnya untuk menarik perhatian. Yang dalam hal ini dimonopoli oleh artis, model, figur publik hedon, dll. Digambarkan dengan busana menjadi kulit sosial yang mencerminkan gaya hidup dan pesan pada seseorang. Gaya hidup menunjukkan pula bagaimana seseorang mengatur hidup pribadinya, cara berperlikau di publik, terkait piliham, kebiasaan, sistem nilai, dan pembedaan status dengan yang lain.

Objek penelitian ini adalah hijab merek Rabbani dan Zoya, memakai metode kualitatif, dan dianalisis dari kacamata fetisisme komoditas. Data tak cuma angka, tapi juga gambar dan naskah dari buku, majalah, internet, wawancara yang kemudian diolah, dibandingkan. Lalu dianalisis menggunakan Konsep Gini Stephens Frings bahwa busana tak lepas dari elemen desain yang menyusunnya. Serta konsep dari Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani menyebut beberapa kriteria busana muslimah, yaitu:

(1) menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) warna tak mencolok dan memancing perhatian, (3) bahan tebal, tidak tipis dan transparan, (4) bentuk longgar, tidak ketat dan memperlihatkan lekukan, (5) tidak diberi wangian, (6) pakaian tidak menyerupai pakaian lawan jenis, (7) tidak menyerupai pakaian non-muslim, (8) pakaian tidak dimaksudkan untuk sanjungan/popularitas.

Sampel yang digunakan dalam penelitian yakni populasi produk Zoya terdiri dari kerudung instan (34 buah), tas tangan (4 buah), kerudung helai (6 buah), perlengkapan (15 buah), selendang (3 buah). Populasi produk Rabbani terdiri dari: kerudung (69 buah), dreslim (26 buah), busana kasual (29 buah), kemeja koko (66 buah), tunik (9 buah), kerudung anak (4 buah), setelan anak (3 buah), mukena (4 buah). Sampel-sampel ini mewakili populasi.

Hasil penelitian menunjukan nilai fetisisme komoditas itu ada pada kedua merk. Dari produk sampel yang diteliti ditemukan: 36,7% syariat dan 63,3% fetisisme komoditas. Dari dua produk itu, Zoya memiliki fetisisme komoditas sebanyak 63,3% dan Rabbani sebesar 44,3%, yang berarti busana muslimah yang dipasarkan lebih menonjolkan unsur moder serta penampilan fisik dalam desainnya. Jurnal ini menyarankan agar para Muslimah bisa memilah dan memilih kerudung yang sesuai dengan syariat. Tak hanya bagi pengguna, tapi juga produsen yang memproduksi hijab. Seni dalam konteks busana tidak sekadar visual semata, tapi juga mengandung makna, kebermanfaatan, dan nilai ibadah.

Quote:

"Sebuah karya seni rupa dan desain tidak sekedar wujud visual semata, namun harus mengandung makna,bermanfaat dan memiliki nilai ibadah (Rizali, 2010). Demikian halnya dalam penciptaan busana untuk muslimah hendaknya para desainer dan produsen tidak hanya mengejar keuntungan dan hanya menonjolkan aspek keindahan produk tanpa memperhatikan aspek fungsi busana muslimah yang telah diatur dalam agama Islam."

"[p]roduk hijab (kerudung dan jilbab) yang diproduksi oleh Zoya maupun Rabbani mengandung nilai fetisime komoditas. Produk hijab (kerudung dan jilbab) Zoya maupun Rabbani tidak berbeda dengan produk tren mode lainnya yang lebih mengutamakan aspek penampilan dan kecantikan para wanita penggunanya."

Sukendro, G., Destiarman, AH., & Kahdar, K. (2016). Nilai Fetisisme Komoditas Gaya Hijab (Kerudung dan Jilbab) dalam Busana Muslimah. Sosioteknologi, 15(2), 241-254.

Sumber: https://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/view/1384

#gatotsukendro #ahmadhaldanidestiarman #kahfiatikahdar #sosioteknologi #ITB #FSRD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar