Selasa, 24 November 2020

Buruh dan Negara dalam Lingkar Globalisasi

Artikel jurnal karya Vedi R Hadiz yang terbit di Asia Pacific Business Review berjudul "Globalization, labour and the state: the case of Indonesia" ini secara umum memiliki tiga kata kunci: globalisasi, buruh, negara. Bagaimana hubungan antara buruh/pekerja sebagai kekuatan sosial dengan negara dalam konteks globalisasi. Tuntutan globalisasi mengharuskan memenuhi standar tertentu yang "tersertifikat" agar bisa bertaring di ranah "globalisasi".  Indonesia dituntut mengikuti standar buruh internasional. Contohnya dalam urusan ekspor dan impor.

Globalisasi sendiri merupakan suatu varietas yang kompleks, tak sekadar proses integrasi ke jejaring dunia yang luas; tapi berkelindan dengan pembangunan  yang melibatkan ekonomi, politik, dan budaya. Terlebih di bidang ekonomi, Strange (1996) mengartikan globalisasi ekonomi menimbulkan efek kemunduran negara dalam membangun ekonomi nasional, karena mendorong aktor non-negara seperti kartel internasional untuk masuk. Ini semakin membuat buruh dan kekuatannya tertekan, mengizinkan kapital internasional mendorong iklim investasi. Lalu buruh termarjinalisasi sebagaimana kekuatan sosial dan politik.

Melihat ulang sejarah, pembangunan globalisasi di Indonesia, terjadi dengan adanya sektor manufaktur yang berorientasi ekspor, khususnya di bidang perminyakan. Integrasi Indonesia ke sistem ekonomi dunia berkembang dengan lebih besar pasca jatuhnya harga minyak pada 1980an (pasca oil boom, 1973-74). Kejadian ini merampok negara, sistem yang sifatnya keluar diadopsi. Ditambah krisis Asia.

Negara mengintrodusir sistem pembangunan neoliberal internasional menjadi dominan dan mengambil alih ekonomi ini. Berbondong-bondonglah perusahaan dari luar masuk, khususnya perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur. Namun adanya kasus korupsi di tubuh negara membuat situasi jadi semakin pelik. Bahkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di Hong Kong menyebut Indonesia sebagai negara paling korup di Asia. (Jakarta Post, 22/9/1997).

Winters (1996) memberi penjelasan struktural terkait mobilitas kapital yang beragam, berdasarkan mobilitas investor dan pekerja. Di mana dalam globalisasi corak kekuatan kapital memiliki mobilitas yang tinggi. Meski internasionalisasi ekonomi ini tak selalu berdampak negatif karena bisa membentuk solidaritas kelas pekerja yang lebih besar. Serikat bisa merusak kekuatan struktural kapital, karena mereka mampu menghadapi investor yang bisa berpindah-pindah seenaknya lintas tempat, daerah, negara.

Buruh dalam konteks internasional menghadapi efek globalisasi ini. Saat suprlus labor di Indonesia lagi banyak-banyaknya. Kekuatan serikat pekerja oleh sebab itu mesti solid. Ini untuk mencegah sebagaimana yang dikhawatirkan Moody (1997), pendapatan kelas pekerja jadi menurun, kondisinya lebih bahaya, tak sehat, rentan, membuat pekerja dan serikat jadi pasif.

Di sisi lain, serikat pekerja menjadi kekuatan alami yang tak terelakkan untuk membendung adanya globalisasi. Dalam sejarahnya, PKI pada masa Orde Lama dianggap memberi peran signifikan karena bisa mengorganisasi pedagang kecil, buruh urban, dan petani desa. Terbentuknya Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang menjadi federasi serikat buruh pertama di Indonesia pada 29 November 1946 merupaka afiliasi PKI yang berkembang pada masa Orde Lama. SOBSI setelah 1957 berhubungan erat dengan militer untuk melakukan nasionalisasi perusahaan.  Meski kemudian dua entitas ini pecah, dan militer membentuk organisasi baru sendiri bernama Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Lalu SOBSI dilarang pada masa Orde Baru.

Serikat buruh pun berkembang di masa Orde Baru menjadi lebih tersentral dan terbatas. Pada 1973, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dibentuk. Saat itu, Hubungan Industrial Pancasila diumumkan secara resmi untuk mengatasi konflik antara pekerja dan majikan secara kultural. Pada 1985, FBSI berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang lebih tersentralisasi dan hirarkis. Organisasi buruh jadi kontraproduktif. SPSI berubah lagi menjadi FSPSI menjadi lebih mengakomodasi aspirasi pekerja. Merepresentasikan institusi legal formal pekerja. Mengakomodasi Tripartit; salah satunya dengan adanya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Sayangnya di Indonesia kekecewaan dikarenakan tidak efektifnya Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI).

Sebab ketidakpuasan terhadap serikat yang dirasa tidak independen lagi, ada tendensi pula serikat menjadi Jadi kendaraan negara untuk mengontrol pengorganisasian buruh hingga tingkat yang paling lokal. Lalu pada 1990, muncul organisasi buruh independen: Serikat Buruh Merdeka (SBM) Setiakawan. Mendorong terbentuknya Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 di bawah kepemimpinan aktivis Muchtar Pakpahan. Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) adanya koneksi antara mahasiswa dan kelompok pekerja, paralel dengan yang ada di Korea selatan. Yang menuntut adanya pendidikan dan pelatihan untuk buruh. Serikat berkembang lagi dengan lebih akomodatif terhadap hubungan industrial dan menjalin kerjasama dengan NGO. 

Hadiz, Vedi. "Globalization, labour and the  state: the case of Indonesia." Asia Pacific Business Review 6, no 2-3 (2000): 239-259.

Selengkapnya: http://dx.doi.org/10.1080/13602380012331288552

Tidak ada komentar:

Posting Komentar