Minggu, 15 November 2020

Memahami Orang Lain dengan Empati

"Halah cuma segitu aja udah nyerah," seloroh Budi pada Ani. Niatnya sih mungkin baik, mau nyemangati, tapi Budi gak sadar kalau dia telah meletakkan standar yang ada pada dirinya pada orang lain. Padahal setiap orang beda kondisi psikologis, latar belakang, dan kemampuannya buat dealing pada sesuatu. Bisa jadi yang menurut kita ringan, sangat berat buat untuk orang lain; vis a vis sebaliknya. Jadi ucapan seorang teman suatu hari yang pernah bilang, "yah, cuma segitu aja," sebaiknya diswasensor aja. Ya-ya, tahu kamu bisa, tapi untuk orang lain?

Kejadian ini berhubungan dengan apa yang disebut empati. Sederhananya, empati adalah suatu sikap gimana kita memahami (verstehen, comprehend) kondisi orang lain, dengah seolah-olah kita ada di posisi dia. Dari situ kita bisa tahu perspektif, motif, dan proses kenapa dia jadi seperti itu. Bedanya sama simpati, kalau simpati lebih kepada perasaan ikut serta pada keadaan orang lain lalu memberi dukungan padanya semampu kita. Empati ini lebih ke ranah jadi orang itu, mahami dia, dan tak berkaitan dengan baik atau buruk; baik atau jahat; segala perasaan sebenarnya bisa didekati dengan metode empati. Kalau simpati lebih cenderung ke arah ketidakberuntungan, kesialan, atau kesedihan.

Empati itu ada tiga jenis: (a) Empati kognitif, ketika seseorang mengenali perasaan orang lain; (b) Empati emosional, ketika seseorang merasakan apa yang orang lain rasakan; (c) Empati pemahaman, ketika seseorang ingin membantu orang lain dari apa yang telah dia kenali dan pahami. Sikap empati ini memiliki hubungan dengan bagian di otak juga yang menimbulkan perasaan senang (munculnya hormon oksitosin), serta dalam psikologi ilmiah berhubungan dengan bagian otak yang berhubungan dengan syukur, terima kasih, dan pikiran pro-sosial lainnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi empati ini, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan gak harus formal ya.

Beberapa tokoh dan filsuf yang konsen mengkaji terkait empati juga gak sedikit. Seperti Wilhelm Dilthey yang mengartikan empati sebagai suatu kesadaran gimana kita memhami orang lain dengan menempatkan posisi kita pada situasi orang lain. Dilthey menyebutnya sebagai Silogisme Analogis. Lalu ada Max Weber yang melihat empati sebagai suatu metode bagaiamana kita memahami ilmu sosial dan rangkaian peristiwa sejarah sejarah. Habermas yang mengartikan empati bukan hanya metode pengetahuan sejarah atau suatu bentuk penjelasan, tapi juga bagian yang integral dari aksi itu. Ada pula pengertian empati dari JD Troit, Thoas Aquinas, Robert Vischer, C. Rogers, hingga Adam Smith.

Inti besarnya, empati merupakan suatu karakter yang krusial di masa teknologi dan robot seperti sekarang ini. Di mana empati dan simpati tergerus pelan-pelan, menjadikan manusia serupa robot dan algoritma. Terlalu rasional sehingga menyingkarkan hal yang emosional; satu elemen penting bagi kesehatan mental. Bahkan dalam hal psikologi politik, empat benar-benar telah dilupakan dan banyak yang mengejar kepentingannya sendiri. Menjadi orang yang empati adalah sikap dan pilihan yang layak untuk diperjuangkan dan diusahakan. Dengan begitu, akan lebih banyak tumbuh kebaikan. Namun sebelum melakukan empati pada orang lain, terlebih dululah untuk melakukan empati ke dalam diri kita sendiri.

Pohoată, Gabriela & Waniek, Iulia. "DO WE NEED EMPATHY TODAY" Euromentor Journal; Bucharest Vol. 8, Iss. 3,  (Sep 2017) 7-16.

Selengkapnya: https://search.proquest.com/openview/b5512707f00a39fa8307ac81ed49d777/1?pq-origsite=gscholar&cbl=1316370

Tidak ada komentar:

Posting Komentar