Senin, 23 Juli 2018

Picisan (2)

Kemarin pagi seusai bangun tidur banyak hal yang rasanya hilang satu per satu. Sebuah kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Aku membuka buku. Membuka Ana Maria Shua yang memberiku inspirasi menulis tulisan-tulisan pendek. Lalu kulanjutkan membaca buku Pram yang kalau tidak salah sudah seminggu tak kupegang lagi.

Naas, sejujurnya aku tak bisa berkonsentrasi penuh. Hal menyedihkan jika suatu konsentrasi hilang dalam tiap melakukan sesuatu. Konsentrasi adalah kunci meditasi untuk mencapai apa yang quote bilang: Carpe Diem. Pikiran ini terlalu berisik mencapai derajat konsentrasi penuh itu. Berisiknya melebihi pasar kala H-1 lebaran.

Banyak hal yang kulewatkan sekali lagi, dan aku harus belajar mengikhlaskan dengan sedikit sakit yang tak berdarah. Semisal menanyakan: mengapa kerjaku sangat lama? (Tapi aku sepenuhnya percaya, aku orang yang paling bertanggung jawab melakukan sesuatu jika diamanahi, meski kerjaku sering tak tepatnya, percayalah aku selalu akan berjuang hingga selesai, selama apa pun itu); mengapa mudah sekali teralihkan oleh hal-hal yang tak penting? (Percayalah, aku juga manusia yang masih dikaruniai rasa patah hati semisal ketika terjebak pada kisah cinta rumit yang menjengkelkan, yang kalau kata mereka yang sudah makan asam garam soal hubungan, ini hanya masalah ecek-ecek saja. Tapi bagi orang yang baru pertama ini cintanya ditanggapi lalu terjebak di hubungan yang salah, aku harus membunuh hatiku perlahan, dan itu susah cum sakitnya minta ampun. Bisa-bisa aku serapuh Annelies saat mencintai Minke. Ah tenang, aku juga tak selemah itu, aku punya banyak nyawa kemandirian yang menjadi asetku sejak lahir); mengapa, mengapa, mengapa? Aku selalu bertanya dan tak berhenti berpikir.

Di subuh ini, aku bangun tidur dengan perasaan yang patah lagi. Aku terserang rindu berat yang sangat menyakitkan--padahal baru kemarin aku dan dia Whatsapp-an lumayan lama lagi. Membahas perjalanan, mengkritik dunia wisata, hingga kenangan dia yang begitu membekas saat rapat tahunan. Tak kusangka tafsirannya sejauh itu; orang paling mudah membiasakan banyak hal yang sejujurnya sangat berharga bagi orang lain. Dan baru kemarin juga aku curhat ke dia, jika aku stress, aku akan bersepeda serta menulis apa pun di buku. Lalu dia sangat perhatian bilang: Tapi Mbak Isma jangan minum ya, rokok juga jangan. Seberapa pun stressnya jadi jurnalis nanti (ditutup dengan emoticon oke dan tertawa). Aku terharu. Belum pernah rasanya aku diperhatikan sebegitu rupa. Aku kasi bintang pesan itu. Perhatian-perhatiannya menimbulkan ketergantungan yang dalam dan substil di hatiku. Sungguh, perhatian secara personal begitu candu yang lebih bahaya. Efek terbangnya lebih tinggi daripada sekedar mendapat nilai tinggi saat ulangan atau dipuji karena prestasi-prestasi yang sebenarnya sampah. Perhatian membuat orang nge-fly. Ini kali alasan kenapa ketika orang putus cinta jadi sedihnya setengah mati, karena efek nge-fly dihentikan.

Sebenarnya, aku dikejar rasa bersalahku sendiri pada hubungan yang salah ini. Aku sungguh tak ingin menyakiti orang lain; menyakiti kekasih sah dia. Aku punya batas yang sesakit apa pun itu harus kepegang kuat-kuat. Suatu pendirian yang susah dijelaskan dari sekedar hubungan. Dia sudah paham kalau aku ini sangat keras kepala. Dan pendirian adalah pendirian. Hubungan soal lain. Tapi aku juga sedih, sakit, dan sesak. Tulisan-tulisan semacam ini adalah caraku mengurai kerumitan itu. Otak kita sama-sama rumit bukan?

Kalau kondisiku terus begini, aku akan menulis picisan-picisan yang lain...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar