Selasa, 08 Juli 2014

Jangan Sampai Doamu Dibuat Mainan Jin

Ada yang menarik terkait ceramah di lab. agama brandal lokajaya tadi malam (7/7). Penceramahnya seingatku bernama pak zubaidi, dilihat dari retorikanya dia sepertinya seorang orator. Meski ceramahnya sedikit panjang (sampai hampir setengah jam) tapi ada hal keren yang didapat.

Jadi, pak Zubaidi ini membahas tentang topik lama yang dikemas menjadi baru, yaitu tentang doa. Kenapa sih doa kita itu tak terkabul? Beliau menceritakan tiap kita berdoa, kita menjadikan harapan sebagai tujuan. Misalnya saat membaca surat X sebanyak Y kali, kita berharap kita menjadi kaya, dan harapan kita menjadi kaya itu kita jadikan tujuan kenapa kita membaca surat X sebanyak Y kali. Atau ngggak jauh-jauh doa usai sholat aja, seberapa banyak sih yang dikabulkan? Kita sholat buat apa sih?
Dewasa ini (meski sudah dikatakan berulang-ulang) kita kehilangan inti dari ibadah yang kita lakukan. Terkait doa yang dijadikan tujuan, pak Zubaidi mengkritik itu. Di alam kita yang luas ini: 1/3 dihuni oleh manusia, di atasnya 1/3 dihuni oleh dunia jin, dan 1/3 di atasnya lagi dihuni oleh nabi penjaga langit, malaikat, dll. Nah, saat kita berdoa dan menjadikan doa itu sebagai tujuan dan melupakan esensi dari ibadah itu sendiri, pertanyaannya apakah sampai ke Allah? Jangan-jangan doa kita dijadikan main-mainan jin yang ada di atas kita? Lalu pak Zubaidi meenjelaskan panjang lebar juga tentang dunia jin baik di dunia sendiri sampai kerajaan besar di atas kita. Di dunia, jin disimbolkan bermacam-macam, di Mesir, India, Asia, penampakannya berbeda-beda. Ada yang lewat patung, perwujudan manusia, hewan, tumbuhan, dll. Atau biasanya menghuni di atas gunung, itu kenapa beberapa pesawat yang melewati gunung yang dihuni kerajaan jin pesawat bisa hilang. Jadi BAHAYA kan kalau doa kita dijadikan main-mainan jin? Atau paling mentok sampai di malaikat, dan doa itu pun harus mengantri dengan doa-doa bermilyar manusia yang ada di bumi. Padahal kalau dihitung secara sains (fisika), agar doa kita sampai ke langit itu membutuhkan berpuluh bahkan beratus tahun baru nyampai.

Masalahnya sekarang adalah seberapa dekat sih kita dengan Allah? Apa Allah itu kenal kita? Analoginya, mungkin kita kenal sama SBY tapi apa pak presiden SBY kenal sama kita? Kalau kita ke istana negara dan mengaku sebagai rakyat dia, apa dia mau nemuin kita? Belum tentu kan? Banyak protokol-protokol yang harus dilalui. Presiden aja gitu, apalagi sama sang penguasa kosmos coba? Nah, kedekatan kita dengan Allah-lah yang TERPENTING. Bukan karena agar doa kita terwujud kita dekat dengan Allah tapi karena esensi dari ibadah sendiri yaitu ibadah untuk beribadah. Dalam bahasa Jawa manunggaling kawula Gusti (menyatunya kita dengan Tuhan). Itu kenapa dia yang dekat dengan Tuhan, apa yang dia butuhkan (bukan apa yang dia mau) diberikan oleh Tuhan.

Berikutnya tentang simbolitas. Doa yang berupa simbolitas itu lebih mengena dan lebih garang dari verbalitas. Mungkin saya bisa mengatakan simbolitas mengalahkan verbalitas. Contoh sederhananya, ada pengemis dijalan mengadahkan tangan. Tanpa pengemis harus berkoar, “Buk, pak, saudara saya minta uang..” orang sudah mengerti kalau pengemis itu butuh bantuan. Atau pun seorang anak yang tiap hari dia minta terus sama orang tuanya ini-itu, lalu dibandingkan dengan seorang anak yang dia menunjukkan ketaatannya dengan simbol, dengan tindakan. Rajin belajarlah, suka membantu orang tua, dll. Orang tuanya lebih suka yang mana coba? Lebih besar mana peluang diberikan sesuatu? Begitu pun dengan berdoa. Kita hanya mengadah saja, Allah sudah tahu kamu minta sesuatu. Hanya mengadah saja nggak usah ngomong. Faktanya juga, sebagian besar ibadah-ibadah kita berupa simbolitas. Dalam sholat, puasa, zakat, haji, dll (lebih jauh teori simbol bisa dipelajari tulisan-tulisan Saussure, Pierce, atau Barthes).

Ini pun menjadi refleksi untuk diri saya pribadi: Ma, seberapa dekat kamu dengan Tuhan?

Jogja, 8 Juli 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar