Jumat, 16 Februari 2024

REMOTIVI: Capres-Cawapres dalam Lensa Media

Remotivi menggelar diskusi "Capres-Cawapres dalam Lensa Media: Pejabat Publik Atau Idol?" di Sinou Coffee Jakarta Selatan, Senin (12/2/2024). Menghadirkan para narasumber: Surya Putra (Peneliti Remotivi), Kunto Adi Wibowo (Akademisi UNPAD), Andhyta F. Utami (CEO Think Pilicy), dan Fathia Maulidiyanti (Pegiat HAM). Diskusi dimoderatori oleh Raihan Luthfi (Upi).

Acara dibuka oleh penampilan musik Deugalih. Dia menyanyikan lagu "We Can Share All Pain My Friend", "Tanahku Tidak Dijual", dan "Buat Gadis Rasyid". Kemudian dilanjutkan dengan stand up comedy dari komika Igen Wahang.


Narasumber Kunto Adi Wibowo mengatakan, dalam komunikasi politik harus tahu siapa pemirsanya. Ada psikologi pemilih yang sering digunakan, seperti rasional. Ada derajat rasionalitas. Ada cerita di NTB, fotonya dipermak lewat Photoshop menjadi cantik dan menang (heuristik). Pemilih tak punya cukup motivasi dan energi untuk memilih. Di sini peran gimmick berperan. Politik bagi sebagian orang tak menarik, jadi orang yang susah menginvestasikan waktu kesana.

Dalam paparannya, Wowo menjelaskan, TV masih menjadi sarana utama komunikasi, disusul FB, Tiktok, YouTube, dan Instagram. Awalnya, paslon 01 menggunakan cara tradisional, seperti pidato politik. Di tengah-tengah bergeser, pakai TikTok (yang dicibir). Kritik ke 01 banyak omong, sehingga muncul "Desak Anis". Lalu bergeser ke K-Pop dan dibahas di Korea terkait pengggunaan K-Pop di politik Indonesia. Ada transformasi, yang gimmick jadi transformatif.

Lalu untuk paslon 02, dia hadir dengan konsep "lucu", yang unggahannya lebih dari 300 ribu. Prabowo dikit-dikit joget, dan itu proses rebranding yang luar biasa. Strateginya melanggengkan Jokowi. Lalu ada unggahan nangis-nangis berjamaah. Semua di-TikTok-an. Anis mulai riding the wave.

Juga paslon 03 di Tim Penguin Nasional (TPN) dengan mengkapitalisasi anaknya, Alam. Ganjar mulai tahun baru ganti strategi. Januari lebih soft.

"Kalau Pemilu tidak ada isu, maka capresnya yang jadi isu," katanya.

Polarisasi tahun ini yang disyukuri tak sekencang tahun 2014 dan 2019. Kalau melihat media informasi, media banyak media survei. Media gak kritis ketika lihat survei, seakan-akan survei sebuah kebenaran.

Narasumber Surya putra menjelaskanmenjelaskan terkait penelitian Remotivi, dengan mencari berita-berita terkait basa-basi politik. Menghadirkan relawan anak muda sebanyak kurang lebih 100 muda di 9 kota. Latar belakang karena memiliki kesamaan yang sama, dipenuhi hal-hal yang emosionil dan sentimen. Dampaknya gak tercipta pemilih yang rasional.

Remotivi memiliki premis, media terlalu banyak memproduksi berita tidak substansial terkait Pemilu. Berdasarkan temuan Remotivi, media ikut makan gimmick kandidat. Artinya, ketika media hanya mengamplifikasi kandidat, yang bercorak game frame (pertandingan olahraga) dan personalisasi (yang berfokus mengeksplorasi penokohan); media tidak berfokus pada substansi.

Dari temuan Remotivi, ada beberapa jenis berita yang non-substansial: pernak-pernik kampanye, debat pilpres, seruan terhadap kandidat (cheerleader kandidat), keluarga kandidat, kehidupan personal (suka anime apa, musik apa), dll. Berita ini mengkonstruksi kandidat dengan cara-cara tertentu.

"Melek pop culture anak muda, tapi gak tahu kebijakan yang berkaitan anak muda," terangnya.

Selain mengkonstruksi cerita, culture keluarga juga berpengaruh karena dapat exposure yang sangat tinggi. Bagaimana Gibran mengelola bisnis martabaknya; atau berita yang isi beritanya sandiwara antar-elite. Berita model kayak gini muncul sinisisme ke politik, karena bingkainya seperti itu, mengalienasi masyarakat dari politik. Padahal sebagai warga persoalannya konkret dan politis.

Ada asumsi, kenapa media tidak substantif, karena capres-cawapres juga tak membicarakan hal yang substantif. Pencitraan tak terhindarkan, tapi bagaimana dia dicitrakan itu penting. Misal yang ramah lingkungan dengan yang pakai outfit hijau. Kata Thomas Patterson, yang diangkat emang tokoh yang suka bergimmick ria dan jago berkomunikasi politik. Pemberitaan capres-cawapres di media online juga tergantung siapa yang memiliki media (konglomerat media).

Narasumber berikutnya, Afutami memaparkan, dalam konteks pasar informasi ada supply-demand, yang diproduksi media adalah permintaan masyarakat. Ada insentif ekonomi dan politik. Dalam konteks Bijakmemilih, fokus ke demand, bagaimana menciptakan demand. Bagaimana menciptakan anak-anak muda yang mencari informasi substantif. Demand-nya memang belum.

Bijakmemilih ada di kontainer dan isi. Kontainernya adalah yang melihat capres-cawapres sebagai pertarungan idola dan fans club. Yang ingin diubah ini bukan kontestasi idola. Nomor satunya ini bukan idolisme. Akhirnya defensif terhadap fakta-fakta. Karena idolisasi, di garis batas ada bias konfirmasi dari fakta.

Kemudian, memori history feodalisme kuat. Kalau ada anak Raja, itu jadi justifikasi yang masih diteruskan. Banyak konteks yang tidak diperhatikan.

Cara berpikir lainnya, di AS ada beer theory, dia approachable enggak? Elektabilitas ini menyangkut nilai-nilai, dan mendominasi.

Ada tiga kerangka yang difokuskan dalam Bijakmemilih:
1. Isu: menormalisasi isu yang berhubungan dengan publik, dalam hal tertentu menjadi aktivis. Memahami isu itu wajar. Masuknya dari isu dulu, misal undang-undang terkair ITE, EBT, revisi KPK, dll. Bukan masuk dari "sosok kandidat".
2. Partai: banyak orang Indonesia yang tak paham partai. Anak muda yang pendidikan politiknya tak mendalam itu tak paham, jumlahnya juga banyak banget, sampai yang ditunjukkan rekam jejak korupsi partai. Peran partai yang mengatur sistem itu penting.
3. Prestasi, kontroversi, afiliasi: ini berpengaruh pada kebijakan. Siapa yang masuk di rombongan capres-cawapres.

Pembicara terakhir, Fathia Maulidiyanti menyampaikan terkait cerita raja kurus dan pangeran utamanya. Kemampuan mereka dalam membangun dinasti bahkan cuma sembilan tahun. Kalau Soeharto hidup, barangkali dia akan sungkem pada raja kurus, "gw 9 tahun, lu harus 32 tahun, pakai lift bos."

Diktator seperti raja kurus membuat dinasti dengan menguasai media, menguasai orang-orang, hukum, UU ITE. "Untuk bisa mengendalikan itu semua, kita yang pegang," katanya.

(Joke: Kalau berkualitas itu gak laku 😂)




Tanya jawab:

1. Tips untuk disabilitas tuli agar melek literasi politik?

Pak Wowo: Literasi politik itu masalah luas, dan disabilitas cenderung dipojokkan. Sayangnya di Indonesia, masalah ini bahkan yang gak disabilitas pun gak bisa bedain DPR dan DPD.

Surya: Media gak substantif karena pengaruh oleh ekomomi. Logika komersil dan publiknya ini saling bertentangan. Parahnya logika komersil lebih dikeataskan daripada yang logika publik. Gimana mau buat berita substantif kalau sehari diminta nulis 10 berita? Demi klik.

2. Adakah keragaman ideologis di pemilu kali ini seperti di awal kemerdekaan?

Afu: Jika kembali ke pasar dan memakai logika pasar, maka gak ada keragaman ideologis. Hanya meraih market share mekanismenya sekarang. Misal lagi growing itu Partai Buruh, yang secara pesan itu lebih ideologis daripada Perindo dan PSI, muda apa itu gak jelas. Membiasakan masyarakatnya ideologis dulu, baru partainya ideologis.

Fathia: Di PDI-P, malah masuk gak lagi diajari Marhaenisme, tapi bagaimana mempertahankan kuasa. Bahkan oposisi politik kita sekarang dasarnya tak berideologi. Indonesia juga tak ada yang basisnya independen, harus ada partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar