Dibuka dengan sebuah puisi yang cukup kelam, seingatku, kata pertama yang keluar dari film itu adalah "kuburan", ya kuburan kami ada di mana-mana. Kami yang dimaksud adalah para korban sejarah dan kemanusiaan sebagai tumbal parade kekuasaan dan kepemilikan. Lalu perlahan, kamera seperti mengajak penonton untuk perlahan-lahan melakukan transisi dari sebuah tempat di Indonesia, masuk terowong dan berubah latarnya ke beberapa landmark negara-negara di Eropa.
Lalu, satu per satu narasumber yang menjadi eksil dan menjadi materi dasar dari film ini memberikan kesaksianya. Para narasumber itu yang kira-kira terdiri dari 10 orang: Hartoni Ubes, Asahan Aidit, Sarjio Mintardjo, Chalik Hamid, Kusian Budiman, Djumaini Kartaprawira, Sarmadji, Tom Iljas, Waruno Mahdi, I Gede Arka, dll. Mereka berdiaspora ke berbagai negara di Eropa, dari Swedia, Belanda, Jerman, Ceko, dll, usai huru-hara politik tahun 65. Awalnya mereka mendapat beasiswa ke China, Rusia, Romania, tetapi pemaksaan ideologi, dan permintaan untuk mengakui hal-hal yang tak dilakukan membuat para diaspora ini tetap mempertahankan prinsipnya. Tidak mengikuti arus pemborjuisan diri yang melenakan.
Alih-alih larut dalam superdrama yang dibuat oleh rezim Orde Baru, para eksil memilih untuk menggeluti bidang yang menjadi panggilan hidup masing-masing. Ada yang bekerja di sebuah perusahaan di Swedia sampai diberikan rumah, ada yang kerja di bidang Kimia sebuah institusi riset di Jerman, ada yang membantu di bidang perkebunan, ada yang ahli fotokopi sampai diberi penghargaan, ada yang mengarsip, hidup tentu harus tetap berjalan bukan? Jika pilihan menjadi stateless adalah satu-satunya pilihan, maka kewarganegaraan tak lebih dari sekadar pengakuan di atas kertas.
Namun, meski mereka tinggal di luar negeri, pikiran mereka tetap tak bisa lepas dari Indonesia. Dan ini salah satu poin penting yang kutangkap dari film ini: Jika eksil di luar Indonesia seperti eksil dari India atau Timur Tengah bisa dengan mudah melepas diri dari bayang-bayang negara asal, sampai mereka bisa bekerja di bagian pemerintahan sampai jadi Perdana Menteri; maka eksil dari Indonesia rata-rata masih terpaku dengan kondisi Indonesia, fisik mereka di luar negeri, tapi jiwa dan pikirannya masih di Indonesia, berbagai informasi dari Indonesia diikuti, sampai-sampai, ada yang menanam tanaman khas Indonesia. Sebagai orang desa, seorang eksil menanam pohon pisang dan bambu dengan ukuran bonsai di dalam rumah.
Ada satu pernyataan menarik, jika seorang pembunuh hanya dikurung 20-25 tahun kemudian bisa bebas, sebagai eksil, jiwa mereka seperti terpenjara selamanya. Ada yang tinggal di luar bahkan melebihi masa kuasa Soeharto yang sepanjang 32 tahun. Mereka lebih dari tahun-tahun itu, efeknya pun beragam, ada yang mengalami trust issue, merasa diikuti oleh intel, dan takut menceritakan keluarganya kalau sewaktu-waktu pihak keluarga akan menjadi korban selanjutnya.
Akhir dari film yang dibuat sepertinya selama kurun waktu hampir 10 tahun ini bahkan telah membuat para tokohnya meninggal. Mereka dikebumikan di Eropa, dan anak serta orang-orang dekatnya memberi kesaksian. Salah satu yang kukenang, tentang eksil yang bahkan ketika dia hidup sendiri, kursi-kursi di ruangannya sangat banyak untuk menyambut orang-orang Indonesia ketika berkunjung, atau mahasiswa-mahasiswi yang datang mungkin sekadar untuk mengikuti short course.
Beberapa eksil dengan ketekunannya juga melakukan kerja-kerja pengarsipan di rumah pribadi mereka, sampai kamar isinya hanya buku-buku. Koleksi mereka seperti berbagai buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan karya-karya tentang Pram. Ada pula yang mengarsip orang-orang eksil lain yang meninggal menjadi buku khusus dengan informasi karya dan keluarga mereka. Eksil dan kerja-kerja pengarsipan ini menurutku menjadi hal yang menarik untuk dikulih lebih jauh.
Film yang disutradarai oleh Lola Amaria sepanjang 119 menit ini juga menampilkan banyak footage-footage tempat di Indonesia dan Eropa, entah apa kepentingannya? Namun, footage itu menurutku ada yang nyambung, tapi banyak yang tidak nyambungnya, atau kalau dihapus pun tak akan mengurangi nilai-nilai utama yang ingin disampaikan oleh film. Kekuarangan lain, tak ada narasi perempuan, meski telah dijelaskan film ini tak menghadirkan perempuan, karena mereka tidak mau.
Ketika menengok film Lola Amaria lain, seperti "Minggu Pagi di Victoria Park", aku sangat mengapresiasi beliau atas visi-misinya dalam dunia perfilman yang mengangkat kisah-kisah marjinal. Kerja-kerja yang dilakukan Lola juga mengingatkanku dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh penerbit Ultimus di bawah naungan Mas Bilven Sandalita. Ultimus setahuku banyak menerbitkan buku terkait eksil, bahkan paling banyak di antara banyak penerbit yang dimiliki Indonesia.
Tentu film ini mengingatkanku pula pada buku Bu Magdalena Sitorus terbitan Tanda Baca berjudul "Lima Puan dalam Pusaran Kelana". Buku yang kebetulan dulu aku edit ini bercerita terkait lima eksil perempuan yang tinggal di Belanda, ada Bu Siti, Bu Francisca, Bu Tiwi, Bu Yarna, dan Bu Aminah. Kalau kamu masih ingat dengan tokoh Pak I Gede Arka, eksil dari Bali, beliau adalah suami dari Ibu Yarna Mansur. Kisah mereka terukir dalam buku yang ditulis Bu Magda, bagaimana suka dan dukanya menjadi eksil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar