Selasa, 02 Januari 2024

LPJ 2023: “Jika Ingin Hidup, Dekatlah dengan yang Hidup”

Judul LPJ hidupku tahun ini terinspirasi dari refleksi spiritual Prie GS dalam buku “Aku Hidupku Humorku” (2019), hlm. 136. Awal Desember 2023, akhirnya aku bisa membeli sepaket buku Pak Prie sebanyak 9 buku. Kubaca saat aku sakit sekitar 3 minggu usai aku minum air dari sebuah makam. Waktu itu jadi masa beratku setahun ini, badanku panas sambil mimpi aneh yang berhubungan dengan teori-teori, batuk tak berhenti, susah tidur, pusing, sampai ujian yang terakhir kesempret motor saat bocengan dengan teman—temanku nyerobot lalu lintas dan kakiku bengkak lebih dari seminggu.

Kesehatan yang menjadi prioritasku nomor satu dalam hidup jebol. Namun sebagaimana pesan Pak Prie, aku harus mendekati semua yang hidup agar aku tetap hidup. Menjaga kesehatan wajib dilakukan kapan pun dan di mana pun. Tanpa kesehatan kita bukan apa-apa. Aku ingin selalu sehat, bahkan ketika Allah SWT (Mahabesar Dia dan Mahatinggi) nanti memanggilku pun, aku ingin dalam keadaan sehat. Aamiin.

Hal lain yang patut kusyukuri di tahun ini, aku menemukan bidang keilmuan yang ingin kutekuni dengan sungguh-sungguh. Salah satu jalan itu ditunjukkan arahnya oleh Profesor Studi Lingkungan York University Kanada, dan Direktur Pusat Penelitian Asia York (YCAR), Pak Abidin Kusno. Ke depan, aku ingin jadi scholar atau pekerjaan yang bergelut dengan ilmu pengetahuan. Entah bagaimana nanti jalanku.

Diskusi Islam Bergerak bersama scholar Lin Hongxuan dari NUS
Secara garis besar selama tahun 2023, aku menemukan kepingan puzzle hidup yang lain, dari tujuan hidup, perjalanan ke berbagai tempat di Indonesia yang menyenangkan, dan aneka kegagalan/pencapaian berharga. Begini detailnya:

Membaca Tujuan Hidup di Ubud, Bali

Saat itu hari Sabtu, 9 September 2023, di Ubud, Bali. Aku bertemu dengan seorang ahli tarot bernama Aliya. Aku mengenalnya lewat Instagram dari jalur circle Icha (@hairembulan) dan Kongsi 8. Awalnya, aku pernah mengontaknya untuk memberi insight tentang masalahku via WA, biaya konsultasi dengannya 90 ribu/30 menit. Usai dengar pembacaan Aliya, sekitar lebih 80 persen menurutku sesuai dengan kenyataan, dan itu memberikan pandangan yang berbeda bagiku untuk menganalisis situasi dan menilai seseorang, khususnya dari sisi-sisi yang gak bisa aku lihat. 

Bareng Kak Theo Rumthe di Kongsi 8
Ilmu ramalan, perbintangan, ataupun sejenisnya memang masih menjadi perdebatan, ada yang percaya dan tidak percaya. Jika pembacaannya berdasarkan ilmu aku percaya, karena hal ini bisa dipelajari secara logika dan hanya orang-orang tertentu saja yang bersedia mempelajarinya dan menjadikan hal itu sebagai bagian dari pekerjaan profesional. Faktor lainnya, karena energi akan hal-hal yang bersifat spiritual di diriku ini tergolong berfrekuensi tinggi, akhirnya aku tertarik juga. Buat yang gak percaya, tolong jangan dicoba biar tak menyesal.

Aku memandang pembacaan dengan ahlinya langsung ini sebagai side opinion, dia pihak netral yang sama sekali tak kenal dengan orang-orang yang aku hadapi, sebagai pihak yang tak memiliki kepentingan, pembacaannya bagiku jujur. Aliya membuka pembacaan terkait “life purpose” juga dengan harga yang berbeda, akhirnya aku coba. Saat itu Aliya sudah tinggal di Ubud, saat aku dinas ke Bali, tepanya di Sanur, aku ngontak Aliya untuk ke tempatnya. Sanur ke Ubud ternyata cukup jauh, aku naik Go-Jek hampir satu jam, apalagi itu liburan dan arah ke Ubud macetnya udah kayak Jalan Thamrin Jakarta pukul lima sore, tapi dengan lebar jalan lebih sempit.

Energi Bali
Kami bertemu di depan sebuah supermarket, di depannya ada meja dari kayu dan kursi. Aku dan Aliya saat itu secara tak sengaja seperti janjian memakai baju hitam. Aliya ini tipe orang yang tergolong misterius karena tak menampakkan fisiknya barang satu pun foto terkait dirinya di media sosial. Tinggi kami tak jauh berbeda, berperawakan sedang, dan lebih tua dariku. Kami bersalaman, berkenalan sebentar, dan sekitar satu jam dia membaca nasib sampai garis tanganku.

Hal pertama yang membuatku shocked tentu masalah bintang. Dari lahir sampai umur 30 tahun aku mempercayai jika bintangku adalah Aries, aku pun hidup di bawah Negara Kesatuan Republik Aries (NKRA). Aku pun telah membaca dari berbagai sumber watak dan betitet Aries dari A sampai Z. Namun pas ketemu Aliya aku seperti terdeportasi dari NKRA, dan pindah ke Negeri Kesatuan Republik Pisces (NKRP). Waktu itu rasanya aku seperti mengalami transisi bintang, hal yang tak kuantisipasi sebelumnya dan benar-benar mengguncang status qou ku. Kira-kira Aliya bilang gini:

“Aku lihat fisikmu pertama kali itu sudah melihat kalau kamu itu Pisces, dari raut muka, cara bicara, ukuran badan. Aries itu gak gini, badannya lebih kekar, gaya bicaranya meledak-ledak, dan heboh. Kamu itu ngomongnya alus.”

Lukisan Mbak Cecil Mariani sebagai penggambaran hidup
Terus dia jelasin lagi, metode pembacaan dia pakai Sidereal Astrology bukan Tropical Astrology yang sudah laris dan jadi budaya pop. Kalau pakai Sidereal, 84% bintang seseorang akan berbeda dari zodiaknya sekarang. Cara menghitungnya juga rigid, pakai jam lahir, beda jam akan beda nasib. Tapi kalau dilogika, kelahiranku di 21 Maret itu memang di dua sisi, Pisces dan Aries, tapi karena aku punya feeling lahir subuh menjelang fajar, aku masuk di Piscesnya. Aku serasa masih newbie di Pisces.

Bermodal tanggal dan jam lahir, Aliya lalu membaca kehidupan lamaku dan kehidupan masa depanku. Dari keadaan keluargaku, orangtua, saudara, kelemahan, kecenderungan, keterpengaruhan, hobi, percintaan, peruntungan, dll. Banyak bacaan-bacaan yang menurutku menarik. Inti besarnya, past life aku (yang sudah kucapai di masa lalu) ada di rumah ketiga (Taurus), tentang kreativitas, media, keindahan, ini hal-hal yang bisa kucapai dengan mudah nyaris effortless. Sedangkan present life aku berada di rumah kesembilan (Scorpio), rumah ilmu pengetahuan dan akademia. Itu yang harus aku kejar meski dengan banyak hambatan. Aku ditakdirkan sebagai seorang higher learner, ini juga yang jadi kontrak jiwaku dengan pencipta. Masing-masing rumah akan punya fokus hidup mereka sendiri-sendiri.

Sekali lagi, namanya ramalan itu sifatnya dinamis, tidak akan 100% terjadi, karena manusia punya “kehendak bebas” dan “faktor X” yang gak satu pun makhluk tahu kecuali Tuhan (Yang Mahaesa). Ibaratnya gini, meski kamu diramalkan dan dibaca garis tangannya hari ini akan sukses, tapi kalau kamu malas-malasan yang garis itu bisa berubah mengikuti apa yang kita lakukan sekarang. Aku bukan tipe orang yang strict dengan ramalan, hanya sebagai pengetahuan tambahan saja.

Puri Ubud
Usai pembacaan life purpose, lalu aku dan Aliya berjalan-jalan di sekitar Ubud, selama kurang lebih 1-2 jam. Dia mengajakku ke Pasar Seni Ubud, Puri Ubud (yang tertua), Bukit Campuhan, dan berakhir dengan membeli Mixue di Jalan Raya Ubud. Pertemuanku dengan Aliya ini juga rasanya seperti keajaiban, gak mungkin terjadi kalau aku gak ditugaskan ke Bali, gak mungkin terjadi kalau pas dinas itu aku lagi sibuk-sibuknya liputan Pak Menteri, dan gak mungkin terjadi kalau misal aku gak punya tabungan uang. Ya, banyak faktorlah mengapa suatu pertemuan itu bisa ada dan tidak ada.

Di sepanjang perjalanan banyak ngobrol dengan Aliya terkait lika-liku hidupnya dan hidupku. Berada di Ubud itu seperti berada di negara lain karena mayoritas bule dan lokalnya justru sedikit. Banyak kafe-kafe mahal berjajar dan bahasanya pun bahasa Inggris, sampai orang yang nawarin kendaraan ke tempat wisata Bali pun bisa bahasa Inggris.

Saat itu aku yang berkhayal ingin jadi bintang ambasadornya Periplus (toko buku yang didirikan oleh Eric Oey dan menjual buku-buku impor), ternyata di Ubud gak berguna, wkwk, karena kalau dilihat-lihat setiap beberapa meter saja sudah ada gerai Periplus di mana-mana. Minat baca orang luar negeri memang setinggi itu. Saat di Sanur kuperhatikan mereka berjemur sambil baca buku cuy! Jauh-jauh dari negaranya cuma pengen merasakan hal sesepele itu.

Di Periplus Bali
Sorenya aku juga senang banget bisa ketemuan secara langsung dengan guru English First (EF) online-ku bernama John Gledhill. Dia dari Leeds, UK. Jadi ceritanya aku banyak booking kelas blio khususnya di hari Sabtu/Minggu pagi buat speak-speak English. John ini salah satu guru yang cocok di aku, karena dia suka baca, suka nulis, suka nonton, suka jalan-jalan, suka cerita keluarganya, dan suka Radiohead. Nyambunglah kami. Sebab sama teachers lain khususnya yang dari Afrika Selatan, Asia, Australia, atau Eropa bagian lain aku kurang cocok. Pas di Bali, kebetulan John tinggal di Sanur, ketepatanlah moment itu.

Kami bertemu sore hari usai aku dari Ubud. Dia mengajakku ke sebuah kafe depan pantai pas, yang sumpah bagus banget dan memorable! Nama kafenya Lilla Pantai Sanur. John datang sama istrinya yang berasal dari Bali namanya Mbak Ari, orangnya ramah dan baik. Kafenya enak banget buat ngobrol, itu tempat akan aku rekomendasikan untuk deep talk atau sekedar melepas penat. Sore itu aku pesan makan gado-gado, dan John makan dua porsi besar makanan Barat (aku lupa namanya). John bilang intinya, “Saya makannya banyak.” Aku baru ngeh, karena fisiknya yang besar, bule ternyata makannya banyak dibandingkan rata-rata makannya orang Indonesia. 

Thank you John dan Mbak Ari!
Sore itu kami ngobrol tentang pelajaran, tentunya pakai bahasa Inggris karena John belum bisa bahasa Indonesia. Kalau ada istilah yang sulit, akan dibantu Mbak Ari. Ya, meski bahasa Inggrisku belum jago-jago banget, tapi pede aja. Obrolannya seputar murid-muridnya, ternyata muridnya banyak yang dari China, hampir setiap hari dan mereka sangat kompetitif. Kalau dari Indonesia jarang, dan aku murid pertama yang dia temui secara offline. Obrolan lain terkait rencana masa depanku mau kuliah kemana, ngobrol buku, film, dan Bali. Nah, ternyata sore itu aku ditraktir sama John, makasi John. Pas mau pisahan, aku dan Mbak Ari beli ice cream Gelato, aku beli rasa strawberry favoritku, enak, haha. Nice to meet you, John dan Mbak Ari!

Agenda Travelling yang Semakin Percaya Diri

Perjalanan bepergianku tahun ini kalau digaris dari Timur ke Barat Indonesia, dari Merauke (Papua) sampai ke Aceh sudah ceklis beberapa. Dari pulau ke pulau, penerbangan ke penerbangan, bus ke bus, mobil ke mobil memberiku pelajaran berharga: hidup di luar tempurung itu sangat perlu!

Kalau kurunut perjalanan dari awal bulan ke akhir bulan yang sempat tercatat dan terdeteksi:

☘️🌳Tanggal 20-23 Februari 2023, aku pergi ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Untuk orang-orang dengan ingatan rata-rata sepertiku, mengingat nama tempat kadang nama orang dengan durasi yang panjang bukanlah fak-ku. Itu kenapa, menulis menjadi jembatanku dalam mengingat. Seingatku ketika main ke Balikpapan, kami menginap di sebuah hotel lama yang angker. Fasad hotel ini memang direparasi lebih modern, tapi tidak isinya. Segala perabotan sudah sangat lama, dari tegel, meja, kursi, sampai shower dan kamar mandinya nyaris seperti gudang lama.

Waktu itu karena Presiden sedang datang ke Balikpapan, hotel-hotel di kota sudah banyak di-booking, hanya tersedia hotel-hotel pinggiran dengan kamar sisa. Saat itu aku menempati kamar yang satu ruang diisi tiga tempat tidur ukuran satu orang, cahaya lampu kamar lumayan remang. Keangkeran terjadi saat kamar di sebelah kamar temanku penghuninya mengalami kesurupan. Paginya, kolegaku ngomel parah di mobil terkait hotel dan berniat memberikan satu bintang di Google setelah menulis kritik pedasnya. Salah satu omelan dia, “Selain angker, resepsionisnya gak sekolah, ditanya malah marah-marah, TV-nya hanya pajangan karena gak bisa dinyalakan.”

Di Pantai Lamaru, sempat nyasar
Belajar dari bapak tua yang bekerja sebagai penawar alas, dia sedih karena pantai akhir-akhir ini sepi
Namun, selama di Balikpapan, aku banyak berkunjung ke tempat-tempat wisata yang sudah kudaftar di buku. Aku mengunjungi banyak tempat sendirian. Aku sudah lupa rinciannya kemana saja, tapi jarak pulang pergi lebih dari 60 kilometer. Yang kuingat, aku pergi ke: Pantai Monpera, Taman Budaya Balikpapan, Museum Makam Jepang Balikpapan (Nipponkaigun Heishi Kinenhi - 日本海軍兵士記念碑 Nipponkaigun Heishi Kinenhi), Pantai Lamaru, sampai yang terakhir di sebuah pura di Mahavihara Buddhamanggala tapi berakhir gagal, aku tak diizinkan masuk, karena sudah malam. Kecewa malam itu sungguh, dan akhirnya kuobati dengan solat di masjid terbesar di sana, Masjid Madinatul Iman - Islamic Center Balikpapan. Saat di masjid kondisinya hujan. 

Taman Budaya di Balikpapan
Hal lain juga yang tak kulupakan saat ke Pantai Melawai, pantai ini di tepi jalan raya. Kalau sore ramai anak muda dan orang-orang jualan, saat menuju kesana di tengah jalan aku kehujanan, nyaris bajuku kebes air hujan. Pas ke Taman Budaya Balikpapan juga aku tersandera hujan magrib-magrib sangat lama, gedungnya kosong karena barangkali sedang liburan. Aku sendirian, lampunya belum dinyalakan, dan sampai dicari satpam, haha.

Seharian itu aku merasa sangat-sangat capek. Kadang sampai segitunya ya energi eksplorasiku. Aku sampai gak sempat melakukan refleksi ke buku.

☘️🌳Tanggal 28-30 April 2023, aku pergi ke Makassar, Sulawesi Selatan. Kesini buat meliput peringatan Hari Otonomi Daerah (Otda) yang acaranya berlangsung di lapangan Pantai Losari, yang tak jauh dari situ ada Masjid 99 Kubah. Sebagian besar kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) seluruh Indonesia datang kesana. Sebagian menang penghargaan yang diberikan langsung oleh Mendagri. Hal yang menurutku menarik, di Pantai Losari sudah bersiap banyak kapal dengan penari di atasnya, mereka gladi resik saat senja. Entahlah, sore itu tiba-tiba senjanya Boy Pablo di video klip “Everytime” di Norwegia itu kalah sama Losari. 

Pantai Losari Makassar
Yang tak kulupakan juga selama perjalanan ke Makassar yang kedua ini, aku bisa mengunjungi makam Pangeran Diponegoro, makam Sultan Hasanuddin, makam Syeh Yusuf, Benteng Rotterdam, Museum Kota Makassar. Ketika ziarah, aku ketemu abang-abang Go-Jek yang cerita banyak tentang watak orang Makassar sampai kisah pribadi dia soal keluarganya. Di perjalanan itu abangnya doain aku ini-itu, maklum, jaraknya mayan jauh dari Losari, sudah masuk ke kabupaten lain kali ya. 

Museum Kota Makassar

Rotterdam Makassar

Kompleks Makam Pangeran Diponegoro

Kompleks Makam Sultan Hasanuddin
Di Makassar pula sebenarnya ingin ketemu teman yang kuliah S2 di sana, tapi dianya di Malang, ya sudah. Aku akan senang sekali kalau bisa jalan-jalan sama dia di kota ini. Anaknya suka pindah-pindah kota sama sepertiku, tapi aku jauh lebih ingin bisa main ke kampungnya di Kei, Maluku, sana. Pesanku, kejar cita-citamu, terima kasih untuk semua persahabatan baik yang kita jalani bersama. Terima kasih telah mendengar semua curhat-curhatan dan segala keluh kesah yang mungkin tak perlu kau dengar, atau kuulang juga kadang, haha. Dengan siapa pun engkau hidup, semoga engkau selalu sehat dan bahagia.

☘️🌳 Tanggal 1-4 Juni 2023, aku pergi ke Purwokerto dan Dieng, Jawa Tengah. Kisah perjalananku ini telah kutulis di blog tersendiri di link berikut: Perjalanan ke Dieng, Negeri di Atas Awan. Sebenarnya pas sampai Purwokerto, perutku sangat sakit, dan aku istirahat lama di salah satu gazebo Taman Mas Kemambang. Aku merasa saat itu bener-bener sendiri, dan keberangkatan ke Dieng adalah kenekatan lain yang kusyukuri. Tempat ini benar-benar indah, aku juga bisa bersilaturahmi ke rumah dosen pembimbing skripsiku. Bertemu istri, mertua, dan anak-anak beliau. Selain itu, banyak orang-orang baik yang membantuku selama perjalanan.

Candi Arjuna

Kawasan Candi Arjuna

Kawah Sikidang

Di Batu Pandang Ratapan Angin

Gadjah Mada

Goa Semar tempat semedi orang-orang besar
☘️🌳 Tanggal 15-18 Juni 2023, aku ke Lhokseumawe kemudian lanjut ke Banda Aceh. Cerita lainnya bisa dibaca di link: Langit Lhokseumawe. Kota ini sebagaimana kota klasik lain yang dilupakan. Hal yang kuingat tentu ketika sore-sore berjalan ke kotanya, mampir ke Pantai Jagu, ketemu bangunan-bangunan tua yang seolah bisa bicara dengan arsitektur dan cat-catnya. Saat ke Majid Baiturrahman Banda Aceh pun yang ada hanya perasaan takjub, masjid ini memang hebat di depan tsunami. Siapa ya arsitek dan kontraktor yang bangun? Pengen kerja sama.

Arsitektur kota

Pantai Jagu tempat nongkrong

Danau buatan

Arsip lawas Lhokseumawe

Masjid Raya Baiturrahman Aceh
☘️🌳 Tanggal 7-10 September 2023, aku ke Bali. Kisah-kisah di Bali ini bagian menariknya telah kuceritakan sebelumnya bersama Aliya dan John. Kenangan indah lain yang kuingat dari perjalanan ke Bali untuk yang kesekian ini yaitu, aku baru nyadar ternyata Pantai Sanur seindah itu. Saat itu kami menginap di Hotel Prama Sanur, hotel ini seperti punya pantai pribadi sendiri. Jalan-jalan di sekitar pantai itu saat pagi/sore sangat indah sekali. Di sana juga ada vila-vila tropis, pura dalem yang khusus, kafe-kafe, dan saat itu aku eksplor nemuin banyak hal indah. Semisal pohon bunga bugenvil, garis horizon, pantai yang jernih, pasir putih, arsitektur yang menyejukkan mata. Juga, ya, aku selalu nekat untuk memberanikan diri masuk ke pura sambil mengucapkan salam pada dewa-dewi tak terlihat.

Restauran barat

Rumah tropis

☘️🌳 Tanggal 13-15 Oktober 2023, aku ke Semarang dan Salatiga untuk datang ke nikahannya Mbak Dwi Nastiti Muliasari dan Mas Fery. Mbak Nastiti bagiku sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Aku berangkat naik kereta malam hari dan sampai di Stasiun Tawang pagi hari. Tujuan pertamaku di kontrakannya Mbak Nisa di dekat Unnes daerah Sekaran, aku sudah bilang padanya akan nginep seminggu sebelumnya. Sayangnya saat itu Mbak Nisa sedang pergi ke Jambi sama gank filmnya.

Perlu kuceritakan sedikit, kontrakan Mbak Nisa ternyata rumah yang isinya banyak kamar yang kosong dan dia tinggal sendiri bersama dua kucing yang bernama Chika dan Combro. Apalagi pas diantar Mas-Mas Go-Jek dan saat itu kami nyasar, tak jauh dari kontrakan ada rumah kosong tak berpenghuni, masnya nyeritain hal-hal yang bikin merinding lagi. Lalu pas malam, kamar di sebelah kamar Mbak Nisa itu sering ada suara, entah tikus entah apa tapi mayan berisik. Perumahan di sana masih sepi, kontrakannya terasa suwung, dan bisa-bisanya akademisi film juri FFI 2023 ini berani tinggal sendiri?! Kuat mental sekali bliio.

Sebelum ke nikahan Mbak Nastiti di Rumah Makan Cikal Gading Tuntang, aku keliling Semarang dulu dong buat udar rasa. Melewati Jembatan Wesi Sampangan dan sekitarnya sudah bisa ngodal-ngadul kenanganku selama kurang lebih 18 bulan tinggal di lingkungan sana. Bisa jadi buku sendiri ini kalau diceritakan, dari kos-kosan, Pasar Sampangan, Masjid Sampangan, Tugu Soeharto, wah, banyak! Tapi moment pentingnya, bisa ketemuan sama Mas Galih, redaktur pelaksanaku dulu di Inibaru.id. Mas Galih masih sama seperti dulu, suka bercerita, suka merefleksikan hidup, suka ngemong. Kami cerita hidup masing-masing, cerita nasib media sekarang, cerita keluarga atau juga curhat ini-itu. Oh iya, mau berterima kasih sama Mas Galih sudah mau kutitipi makan buat Chika dan Combro, hehe. Sebab makanan dua anabul itu sudah habis, dan keduanya sama-sama suka ngglendot meskipun aku orang baru. 

Nisan Pak Prie GS
Waktu di Semarang juga kugunakan untuk nyekar ke makam Pak Prie GS, makam beliau suasananya padhang (terang). Salah satu makam dengan suasana enak yang pernah kukunjungi. Kijing yang terbuat dari keramik beliau sangat sederhana berwarna hitam. Sore itu aku kirim doa, baca Surat Yasin, dan ngobrol hal-hal yang menurutku ingin kuobrolkan. Habis dari makam Pak Prie aku janji akan melajari tulisan beliau, dan akhirnya keinginan itu berhasil kuwujudkan setelah membeli sepaket buku beliau dan membacanya satu per satu.

Jiwa Pak Prie begitu hidup di buku-bukunya, membaca buku itu seperti diceritain beliaunya langsung. Aku jadi bisa menelusuri sensibilitas beliau ketika menolongku dulu dengan caranya yang sangat halus. Tirakat, penderitaan, dan perjuangannya yang tak hanya berdasar pada intelektualitas dan emosionalitas, tapi juga spiritualitas. Sampai sekarang aku masih merasa jika Pak Prie masih mengawasiku dari jauh, menyemangatiku untuk mewujudkan cita-cita yang dulu pernah aku utarakan padanya di Kelas Prie GS, hadiah yang tak pernah kulupakan seumur hidup. Sore itu aku pamit, aku bilang padanya kapan-kapan aku akan main lagi.

Usai dari makam Pak Prie, aku pergi ke Goa Maria Sartika, tempat ibadah umat Katolik ini sudah kayak jadi tempat healing ku yang lain selama hidup di Semarang. Suasananya dari pagi sampai sore indah. Mau lihat surise atau sunset keduanya bisa, di atas ketinggian dan bisa melihat Semarang dari banyak sisi. Ya, tentu, jangan lupa salam dulu pada Bunda Maria. Di sana aku menulis sebentar, dan merasakan suasana sore yang perlahan mulai menggelap.

Paginya tanggal 15 Oktober 2023, dengan naik Trans Semarang, Trans Jateng, kemudian Go-Jek, aku sampai ke nikahannya Mbak Nastiti. Aku bawa kado buku (aku suka menghadiahi buku orang-orang yang kukenal dengan baik), kami berpelukan, dan bercerita setelah kurang lebih dua tahun tak bertemu. Ya, Mbak Nastiti tak banyak berubah setelah berbagai badai hidup yang menimpanya, dia selalu berdiri sebagai perempuan yang sabar, teguh, tegar, dengan berbagai kualitas perempuan sholehahnya. Mbak Nastiti menangis tersedu saat pernikahan, aku ketemu ibu, bapak, dan eyang Mbak Nastiti yang masih hidup.

Nikahan Mbak Nastiti
Dzuhur aku pamitan ke Mbak Nastiti dan suami, perjalanan kulanjutkan ke Universitas Satya Wacana Salatiga (UKSW). Mungkin sekitar satu jam aku keliling kampus UKSW, kampus ini sudah banyak melahirkan pemikir dari Arief Budiman, Ariel Heryanto, Andreas Harsono, George Junus Aditjondro, dll. Kampusnya teduh, dan meski di kalangan Nasrani, di kampus ini juga ada bangunan masjid.

Halaman depan UKSW

Langit UKSW
Usai dari UKSW, aku ke makam Pak Arief Budiman sekaligus berjunjung ke rumah beliau yang diarsitekturi oleh Romo YB Mangunwijaya. Makam beliau ada di kawasan bong, pemakaman yang dikhususkan untuk para Chinese. Makamnya rapi, bersih, dan tertata. Seorang bapak menemaniku, aku lupa namanya, tapi bapak inilah yang menemaniku ke makam lain, seperti makam scholar UKSW Oentoeng Soeropati (1945-2000).

Pas ke rumah Pak Arief Budiman, bapak paruh baya yang mengantarku tipe orang yang hobi bercerita. Dia akan menceritakan banyak hal melebihi apa yang kuminta, termasuk soal tokoh-tokoh di Salatiga hingga Pak Arief. Siang menuju sore itu, depan rumah Pak Arief sepi, si bapak memanggil-manggil tapi tak ada yang keluar sampai kami ke belakang rumah dan ketemu tetangga di sana yang bilang untuk lewat depan saja.

Makam Arief Budiman
Si bapak kemudian membuka gerbangnya yang ternyata tak ditutup. Selintas melihat wajah rumah Pak Arief memang mengagumkan, bangunan ini tak mengubah sama sekali geografi asal yang tanahnya tak merata, bukan diurug tapi memberi bentuk alternatif lain yang lebih alami. Kami bertemu dengan seorang laki-laki yang menjaga ruang depan dekat ruangan yang sepertinya diperuntukkan sebagai garasi.

Si bapak mengatakan keinginan kami untuk berkunjung ke rumah Pak Arief dan jika diperkenankan bisa bertemu dengan istri Pak Arief, Bu Leila Chairani. Si penjaga itu pun bilang, Bu Leila tak bisa ditemui kalau tidak ada janji terlebih dulu. Lalu si bapak melakukan lobi, tolong dibilangkan pada Bu Leila dulu. Akhirnya setelah menunggu, Bu Leila bersedia menemui kami, tapi tak lama karena beliau akan pergi check up ke dokter.

“Di sini prosedurnya memang begitu Mbak, bahkan katanya pernah ada yang diusir dan diminta pergi lagi karena gak janjian terlebih dulu. Maklum beliau sudah sepuh dan suaminya inikan orang penting,” kata si Bapak. Mendengar cerita ini aku jadi gugup sendiri. Kami pun menunggu Bu Leila keluar dari ruangannya sembari aku mengamati arsitektur rumah dan taman di sekitarnya.

Tak lama kemudian Bu Leila datang, kami bersalaman dan beliau menanyai namaku, dari mana, dan kerja di mana?

“Saya Isma, dari Jakarta,” kataku.

“Isma? Seperti pernah saya kenal,” kata Bu Leila yang seperti mengingat sosok lain bernama sama.

“Begini Bu, Mbaknya ini pembacanya bukunya Pak Arief, fans...” kata si bapak mengenalkanku tanpa diminta.

Bu Leila Chairani Budiman
Sungguh sore itu sebenarnya aku tak tahu hendak bicara apa, akhirnya hanya pembicaraan-pembicaraan sederhana, semacam sejak kapan tinggal di sini, kegiatannya yang sebentar lagi akan bertemu dokter. Tak ada lima menit pertemuan canggung itu berlangsung, karena aku tak enak kalau menjadi penghalangnya untuk pergi ke dokter. Namun sekilas bertemu Bu Leila, beliau orang yang baik dan ramah. Usai itu, Bu Leila ke lantai atas rumah lagi.

Aku dan si bapak berada di sebuah ruangan yang berisi bufet kaca yang isinya beraneka macam majalah lama, termasuk majalah-majalah pers mahasiswa. Tak dinyana, aku dapat majalah Arena edisi lawas. Ada juga majalah Balairung, jurnal Kritis UKSW, dll. Aku banyak motret tulisan-tulisan yang menurutku menarik. Setelah itu, kami pamitan sama laki-laki yang menjaga rumah tak jauh dari ruang garasi. Sesampainya di pagar luar, si bapak berkata padaku:

“Mbak beruntung sekali langsung ditemui sama Bu Leila, gak sembarang orang lho Mbak. Orang-orang yang mau ketemu biasanya harus janjian dulu, itu pun kadang gak langsung ditemui. Ada sesuatu dalam diri Mbak, saya akan terus ingat sama Mbak,” ujarnya dan terkesan melebih-lebihkan. Aku hanya nyengir.

Dan aku baru melihat di catatanku, nama si Bapak yaitu Benyamin. Kalau ke Salatiga lagi dan hendak main kemana, diminta kontak beliau—dan aku lupa mencatat nomornya di buku yang mana. Hehe.

☘️🌳 Tanggal 26-30 Oktober 2023, aku ke Kendari, Buton, dan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara (Sultra). Di Kendari, aku main ke areal kota tuanya. Di sana aku berkunjung ke makam Belanda aneh yang menyatu dengan rumah penduduk. Nah, dari makam itu terlihat jembatan besar Kota Kendari yang mengingatkanku dengan jembatan Brooklyn di USA (bentuknya agak mirip). Terus di sana juga terasa masuk di dunia Ghibli begitu, enak aja di mata. Di Kendari berkesempatan pula ke Makam Raja Sao-Sao dan Taman Makam Pahlawan Watubangga Kendari. 

Jembatan Teluk Kendari yang mirip Brooklyn
Esoknya, perjalanan berlanjut ke Buton. Kami naik pesawat lokal yang pilotnya nyetir sembari mabar game. Bayangin pesawat goyang berkali-kali bahkan di langit tanpa awan, dan itu cukup membuat beberapa penumpang mendadak relegius dengan menyebut aneka zikir. Mengingat Buton, fun fact, karena Bapak menyuruhku daftar PNS, aku pernah sempat melamar PNS di Buton—yang saat itu di imajinasiku tempatnya sangat jauh. Alasannya, formasinya lumayan banyak, dan kalau di daerah (apalagi terpencil) kayaknya mudah. Setelah pengumuman, aku kayaknya gak lolos di administrasi, wkwk.

Setelah aku benar-benar ada di Buton, ternyata bagian kotanya ramai banget Ya Allah, gak kalah sama keramaian kota-kota besar lain di Indonesia. Ada bioskopnya juga, beda sama Cepu, Blora, hiks. Malah aku bayangin, ini di Buton lho Is, bukan di Bandung. Di Buton, bersama kolega, kami juga berkunjung ke Benteng Keraton Kesultanan Buton. Joke bapak-bapak yang kudengar, saat Megawati lewat ke tanjakan menuju benteng, dia langsung jadi presiden! Dari benteng itu, kita bisa melihat keindahan pesisir laut Sulawesi yang indah banget. Di sana juga ada masjid tuanya, terus bendera yang umurnya lebih dari 100 tahun, makam lelulur yang tersebar, dan rumah-rumah tradisional Buton.

Kompleks Kasultanan Buton

Alam Buton
Hari itu, kami menginap di sebuah tempat buat staycation di daerah Pasar Wajo, Kondowa. Belakangnya itu langsung laut dan pulau, sumpah bagus banget! Terus lautnya jernih, dan aku bisa melihat salah satu senja paling indah di dunia di Buton! Nah, malamnya itu entah ada adat tradisional apa, kayak di depan rumah khas mereka gitu ada bakar-bakar kayu depan rumah. Di Buton juga ikannya segar dan besar-besar, sama pemilik penginapan dibantu dengan salah seorang penduduk asli, kami dibuatkan ikan bakar yang sedap banget, terus dimakan di tepi laut dan pulau. Nikmat mana yang kau dustakan, Is?!

Rumah Adat Buton

Senja di Buton
Esoknya kami lanjut ke Wakatobi. Nama ini itu sebuah daerah dengan kepanjangan Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Biongko (masih satu wilayah dengan Kepulauan Buton). Kami ke Wakatobi naik kapal bersama penduduk setempat. Wakatobi ini terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya, buat yang suka diving dan deep fishing (kegiatannya orang-orang kaya sampai superkaya), Wakatobi surganya. Yah, jangankan diving cuy, renang aja gw kagak bisa, haha. 

The best place for reading
Jalan utama di Wakatobi tuh ternyata kecil, maklum ini daerah masih di fase-fase baru pemekaran. Setiap desa itu dibatasi oleh gapura yang dibuat sejenis, nama-namanya dari Desa Wapiapia, Desa Waha, Desa Koroeonowa, Desa Waelumu, dan tentu jalannya dekat laut. Angin laut khas membelai wajah. Rumah-rumah penduduk kuperhatikan mirip rumah-rumah di Jawa, barangkali kebanyakan mereka merupakan pendatang. Kami menginap di Wakatobi Patuno Resort, Pulau Wangi-Wangi. Suasananya enak banget buat liburan atau bulan madu, sedikit banget gangguan-gangguan modernnya, orang sinyal saja susah.

Surga Wakatobi
Resort ini itu sampingnya pantai dan laut pas. Nah, di situ juga ada pulau kecil, saat laut surut aku sempetin sendirian kesana. Asyik juga, haha. Isinya gugusan batu karang aja sih, tapi kayak dunia kerasa luas aja, seperti ada di dunia entah mana gitu, dan airnya jernih. Aku suka di sini.

☘️🌳 Tanggal 24-26 November 2023, aku ke Soreang, Bandung sama anak-anak EF. Intensitas main bareng di EF sudah tak seintens ketika di awal-awal masuk, dan di Soreang ini kayak jadi puncak pertemuan kami lintas center EF. Selama tiga hari dua malam isinya karaoke, makan, bakar-bakaran, main games, goyang dumang, ngrumpi, seru sih seru. Kabar dari EF juga, Kris sudah pindah kerjaan, sudah gak jadi teacher di EF. Padahal bagiku Kris ini salah satu teacher terbaik. Mungkin Kris mau fokus di Rame-Rame Jakarta (RRJ) sama Mas Andesh, Barda, dan kawan-kawan. Di tahun ini beberapa kali juga main sama anak-anak RRJ, dapat teman di RRJ kemudian jalan-jalan lagi, haha.

My best EF teachers! Kris, Q-Man, Miss Rina

EF went to Bandung

RRJ jalan-jalan

RRJ di Pasar Baru
Berbicara RRJ, aku jadi ingat sama Mas Iwang dan Mbak Tita (satu komplotan sama Rujak Urban Studies, hehe), senang juga tahun ini akhirnya bisa main ke rumah pasangan seniman favoritku sejak kuliah ini. Rumah mereka bergaya industrial-minimalis yang homey buat bercerita, punya banyak kucing. Ngobrol panjang lebar bersama mereka terkait nasib pekerja di Jakarta. Sama Mbak Tita, aku juga diperkenalkan sama Weng, jurnalis dan aktivis dari China yang sedang liputan di Indonesia. Aku bertemu Weng di Upnormal Raden Saleh, kami membahas tentang kereta api cepat Jakarta-Bandung, cukup tertatih ngomong sama Weng karena beda bahasa, tapi lancar-lancar juga.

Bareng Mas Iwang & Mbak Tita lofff

Sama Ci Weng
☘️🌳Tanggal 4-8 Desember 2023, aku ke Provinsi Papua dan ke Merauke di Papua Selatan. Ini perjalanan keduaku ke Pulau Papua. Mengingat Papua aku selalu mengingat kisah Denias. Pas ke Papua itu makin kerasa suasananya, dari Bandara Sentani ke Jayapura, jarak sekitar satu jam, dan kami melewati berbagai perbukitan Papua yang mirip di film Denias. Cukup wajar jika di area pegunungan harga akan berkali-kali lipat, karena harus dibawa dengan helikopter. Di Merauke, kami sempatkan main di kebun binatang kecil di sana, juga ke Pantai Lampu Satu, tipikal daerah low land yang airnya keruh, meski pasirnya alus banget.

Pesisir di Jayapura, Papua

Pantai Lampu Satu
Kanguru!
Di tengah-tengah perjalanan ke beberapa daerah itu, tak lupa aku juga travelling solo atau duo ke sekitaran Jakarta, Bogor, Sumedang, dan Kota Bandung. Kalau untuk ini, perjalanan yang banyak kutempuh adalah perjalanan rohani dan spiritual. Misalkan, di awal-awal Desember, usai dari Merauke, pagi-pagi aku nyetel lagu Utha Likumahua berjudul “Sesaat Kau Hadir”. Lalu tiba-tiba entah seperti dapat wangsit darimana, lagu yang bagiku terdengar sangat transenden itu seperti mengundangku secara langsung untuk mengunjungi makam beliau. Berikut lirik lagu beliau yang bagiku terasa mengena:

Diri-Mu hadir

Bagaikan sinar menerangi jalanku

Kau tunjukkan arah mana yang kini harus kutempuh

Agar diriku tak sesat lagi seperti dulu

 

Bersama bayangan-Mu kasih

Seakan-akan kuterjaga dari mimpi-mimpi

Dari kehidupan yang semu dan melenakanku

Membuat kuterlupa akan segala-galanya

 

Hari ini hari ini

Aku mencoba berdiri dan melangkah lagi

Bila esok sinar mentari pagi kan bersinar lagi

Aku kan menuju cita-cita yang pasti

Yang pasti

.........

Setelah mencari informasi yang cukup dari internet, aku menemukan jika Pak Utha dimakamkan di TPU Cipaku, Bogor. Pagi-pagi dengan kondisi yang sebenarnya masih lelah dari Papua, aku naik KRL dari Juanda ke Bogor. Pas sampai Depok aku harus berputar lagi karena salah kereta, KRL tak sampai Bogor dan aku menunggu lama, alhasil aku merelakan 4 jam les IELTS ku di Ultimate Education yang kantornya di Gedung Sampoerna Strategic Square, Karet Semanggi. Sesampai di Stasiun Bogor, aku langsung pesan Go-Jek ke TPU Cipaku. Sesampainya di sana, ternyata makamnya sangat luas berhektar-hektar, ada yang diurus Pemda dan ada yang diurus swasta (yayasan). Pemakaman ini juga makam khusus Nasrani.

Tempat belajar IELTS
Aku langsung mencari orang-orang yang mengurusi makam, aku ketemu seorang mas-mas gitu yang sedang bersihin makam, tapi dia gak tahu makamnya Pak Utha. Lalu laki-laki tua yang tak lain bapaknya si mas-mas itu datang, menunjukkan aku di mana bloknya yang berada di tepi sungai yang kiri kanannya pohonan rimbun. Aku jalan sendiri dan ternyata aku ndredeg dan takut saat itu. Ada seorang ibu yang menangkap kebingunganku, yang diikuti seorang bapak yang tak terlalu tua mengantarku sampai di makam Pak Utha. Ternyata makam beliau banyak sekali alang-alang, rumput, dan tanamannya.

Sebab ibu yang mengantarku sudah pergi, tinggal bapak itu yang nemeni, aku memintanya untuk membersihkan makam Pak Utha. Kami terlibat tawar menawar harga. Akhirnya Bapak bersedia, suasana di situ saat itu kurasakan lumayan angker, karena blok itu pinggir sungai, tanahnya rendah di banding blok lain. Terus ada pohon besar juga di tanah blok atasnya yang juga terlihat wingit. Untungnya Bapak yang membantu membersihkan orangnya baik dan meredakan semua ketakutanku. Sungguh saat itu aku merasa, aku tak mau sendiri, rasanya aku ingin sekali ada sahabat yang menemaniku. Aku keingat seseorang, dan rasanya aku ingin sekali dia ada di sampingku, menemaniku, itu aja. Entah saat itu rasanya sangat sentimental dan aku pengen nangis. Padahal cuaca saat itu juga baik, tak begitu panas, agak mendung karena mau hujan.

Makam Pak Utha Likumahua setelah dibersihkan
Sambil membersihkan, Bapak yang kupanggil Bang (ikut-ikutan orang Jakarta) itu menceritakanku tentang banyak hal. Dia bercerita makam Pak Utha sudah jarang dikunjungi, terakhir saat Covid-19. Tapi seingatku bilang, dirinya bermimpi untuk membersihkan makam yang dekat sungai, dan kejadian hari ini. “Saya mimpi begitu, dan ini sedang membersihkan. Neng nanti juga akan jarang lagi datang kesini, iya kan?” tanyanya yang belum kupahami sepenuhnya. Maksud beliau, setelah kedatanganku hari ini ke TPU Cipaku, ke depan belum bisa dipastikan aku akan datang lagi. Aku pun mengiyakan.

Lalu kami terlibat obrolan yang cukup serius, aku bertanya kebingungan, “Bang, aku kan Islam, Pak Utha ini enggak, doanya bagaimana ya?”

“Ya gak bakal nyampai Neng. Kata Pak Ustad begitu, meski itu orangtua kita kalau gak seagama doanya ya gak bakal nyampai.”

“Kata ustad siapa Bang?”

“Lupa. Saya kan pernah ziarah ke makam wali-wali juga, Neng.”

“Lha terus bagaimana, Bang?”

“Ya, bagaimana ya.”

Tak ada jawaban dari Abangnya, dan pertanyaan itu kubawa sampai pulang dan sampai sekarang. Namun aku tetap berdoa melalui jalur kemanusiaan. Kita sama-sama manusia meski berbeda alam, dan aku mendoakannya sebagai manusia yang hidup kepada manusia yang telah tiada. Doaku adalah doa kemanusiaan.

Tanpa diminta si abang pun menceritakanku terkait beberapa makam yang sempat menjadi pembicaraan di TPU Cipaku. Salah satunya makam Hilarius Christian Event Raharjo, remaja korban kekerasan adu gladiator antar sekolah SMA di Bogor. Ibunya tak terima dan kirim surat ke Pak Presiden Jokowi di Facebook, surat itu viral, dan dilangsungkanlah autopsi, ketemu siapa pelakunya dan dipenjara. Sebab masih di bawah umur, kurungannya pun tak seperti diharapkan. Jujur aku sangat sedih baca kisah dramanya di internet. Bisa-bisanya hal seperti itu ada di sekolahan! Abangnya pun mengantarku ke makam Hilarius yang tanahnya lebih rendah lagi, dan bisa langsung lihat sungai yang gelap itu.

“Pas meninggalnya dia, satu sekolahan datang, terus pas ziarah pun sekelas datang,” kata si abang. Makam Hilarius sederhana.

Abang yang bantu-bantu bersihin makam
Lalu si abang mengantarku ke makam-makam yang lain, seperti makam oma/opa Ahmad Dhani; Friederich Silaban arsitek yang buat Masjid Istiqlal, GBK, dan Monas; sampai pendeta-pendeta, Romo, dan bruder-bruder yang setelah kucari namanya berasal dari Sekolah Budi Mulia.

Usai dari dari TPU Cipaku, aku berjalan kaki menuju Makam Mbah Dalem Batu Tulis. Jaraknya sekitar satu kilometer menanjak. Sebelum sampai ke sana, di jalan aku ketemu makam lain. Makam Mbah Batu Tulis ini warna dominannya hijau, di dalamnya ada juru kunci perempuan, tampak sibuk membaca doa. Aku yang seperti perlu diajari sopan santun dalam berfoto langsung ditegur sama si juru kunci, “Ini bukan TMII, ini makam, gak boleh foto sembarangan,” katanya langsung membuatku tertunduk dan bersimpuh tak jauh darinya, tepat di makam Mbah Batu Tulis yang berbau setanggi. Aku pun diberinya nasihat dan setelah itu berdoa.

Makam Mbah Batutulis

Begini suasana Bogor kala itu
Usai berdoa, juru kunci memintaku kalau bawa botol dimintanya mengambil air di sebuah kentongan gerabah. Katanya airnya sudah didoakan dan mempunyai khasiat ini serta itu. Air itu boleh untuk mandi atau diminum langsung. Tak selang beberapa lama, aku mengambil air tersebut, kemudian pamit sambil memberi derma semua sisa uang yang kupunya.

Pas jalan mau pulang ke Jakarta, sore itu aku lapar sedangkan uangku habis. Akhirnya aku makan di semacam KFC KW 12 tak jauh dari Stasiun Batutulis. Waktu itu pesan nasi bowl ayam, cilok, dan es teh, bayar pakai Q-RIS. Karena sambelnya kepedesan, sedangkan perutku sebenarnya tak kuat pedas, es ku pun langsung cepat habis. Kecepatan minuman dan makanan bagaikan deret hitung dan deret ukur, kok rumit ya, gitulah intinya. Nah, pas esku habis, sedangkan makananku masih belum habis, ada air botol dari makam itu di depanku, yaudah, karena kata Mbah boleh diminum, akhirnya kusok di gelas. Beberapa menit kemudian malapetaka itu datang, tenggorokanku sakit, sampai kos aku demam, sakit tenggorokan, diikuti batuk, pusing, nggreges, sampai kurang lebih dua minggu. Aku diminta untuk benar-benar istirahat.

Nikahan Niam & Nisa, di samping Nisa ada Ayu adiknya Fitri
Mengakhiri perjalanan luar kotaku, tanggal 31 Desember 2023-1 Januari 2024, aku ke Pemalang-Tegal dalam rangka datang ke pernikahan Niam dan Nisa. Niam sudah kuanggap seperti adik sendiri di Arena. Niam dan Nisa sama-sama anak persma, sama-sama wartawan (Kompas dan CNN), dan sama-sama suka baca sampai salah satu bingkisan dekat mahar buku “Orientalisme” karya Edward Said. Di rumah Nisa tak kusangka ketemu sama Ayu (teman dekat Nisa) yang ternyata adiknya si Fitri Wahyuningsih, anak Persma Teknokra Universitas Lampung (Unila) yang kutemui di acara Jelajah Wisata 1.000 Jurnalis di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dunia begitu sempit.

Selesai dengan Cinta-Cintaan yang Melelahkan

She doesn't know who he is

No, she doesn't know what he's up to

Her heart gets broken every time, every time

She doesn't know who he is

—“Everytime”, Boy Pablo

Penyanyi asal Chili yang saat ini menetap di Norway, Boy Pablo jadi artis yang lagunya paling banyak kudengar tahun ini. Meski paling banyak kudengar, penyanyi paling favorit di hatiku masih dihuni oleh baginda Akeboshi, wkwk. Nada-nada lagu Boy khususnya yang di album “Wachito Rico”, “Soy Pablo”, dan “Roy Pablo” aku suka. Kalau dianalisis secara lirik, liriknya gak seprogresif Radiohead sih, aku suka Boy karena efek chill dan relax yang dinyanyikannya. 

Thanks BP!
Lagu BP itu kayak panasea yang bisa menghilangkan sakit dengan cepat, terutama masalah cinta-cintaan. Kalau dari lagu BP yang kutangkap, semisal kamu masih sakit hati sama orang yang kamu cintai, ya berarti kamu belum kenal dia, lebih buruk lagi, kamu tidak mengenal dirimu sendiri.

Memasuki umur menuju 31 tahun ini, aku sudah tak se-excited itu lagi menemukan jodoh atau membicarakan pernikahan. Masa-masa itu bagiku sudah selesai. Aku mulai sadar kebutuhan utamaku adalah sahabat, bukan suami. Apa gunanya suami kalau gak bisa jadi sahabat dan diajak kerja sama? Unsur cinta juga bukan hal prioritas dalam hidupku, meski akan menjadi prioritas bagi hidup orang lain.

Perayaan umur 30 tahun bersama Keluarga Kos Pak Mamat
Berurusan dengan hati itu bagiku sangat melelahkan. Sebagai orang yang waras dalam mencintai, aku memilih cinta yang sehat. Aku menilai kualitas cinta juga dari usahaku dan usahanya yang bertemu, karena cinta bukan cuma kata. Jika tak ada usaha, ya sudah, tinggalkan. Orang akan datang dan pergi, it’s okay.

Meski Boy Pablo bernyanyi kembali:

Should've stayed at home

And searched, "How to date" on Chrome

Wkwk, pas baca lirik itu rasanya pengen tertawa, liriknya sesuai zaman. Tahun ini aku sudah benar-benar selesai bermain aplikasi kencan, lebih dari 20 orang yang aku temui di aplikasi ini hingga ratusan orang secara chatting telah memberiku banyak pelajaran terkait cinta, mencintai, dicintai. Ketergantungan pada seorang pria bukanlah natural atau sifat alamiahku. Jika aku menggoblokkan diri untuk bersikap clingy tentu itu akan membunuh diriku sendiri. Beberapa orang di aplikasi kencan yang kami pernah dekat juga ada yang sudah menikah, dan aku mengucapkan selamat kepadanya. Semoga langgeng dan samawa.

Manut Mbah Erich Fromm
Seseorang meramalkanku jika aku akan menikah di tahun ganjil dan bertemu jodoh di tahun genap rasanya juga hanya menjadi latar saja, hehe. Aku lebih baik hidup sendiri tapi bisa melakukan semua hal yang kusukai, daripada aku menikah tapi menderita. Standar wajib minimal yang kuterapkan pada seorang laki-laki adalah dia tak pernah menyakitiku. Jika sudah ada tanda menyakiti (entah jiwa, hati, fisik), aku dengan senang hati akan mundur tanpa diminta.

Penutup

Selama tahun 2023, banyak hal terjadi. Satu per satu mimpi yang berkenaan dengan materi terkabul, aku bisa menabung, membeli merk laptop dan tablet yang kuinginkan, membeli pakaian yang kinginkan, mengirimi orangtua dengan jumlah yang kumau, membantu biaya adik, les bahasa, berderma, hingga membeli banyak buku tanpa melihat harga. Meski masih ada mimpi besar yang sangat-sangat ingin kuwujudkan: membangun rumah saya sendiri dengan bantuan arsitek. Aku ingin mengonsep rumah itu dengan fasad, denah, fungsi, desain interior, furniture, ukuran, lokasi, dan filosofiku sendiri. Satu ruang wajib yang tak bisa diganggu gugat adalah perpustakaan, aku ingin membuatnya senyaman mungkin. Perpustakaan itu surga saya, itu kebebasanku.

Manifesting aja dulu
Bercerita terkait kegagalan-kegagalan, banyak juga, seperti naskah bukuku berhenti di tengah jalan. Aku punya lebih dari satu draft buku yang mestinya jadi tahun ini ternyata belum sempat kurealisasikan. Lalu, aku sudah banyak uji coba tes IELTS lebih dari lima kali dan hasilnya belum sampai di skor yang kumau. Jujur, aku tak ingin terlihat bodoh saat tes aslinya berlangsung. Menjadi bodoh dan plonga-plongo itu menyedihkan.

Lainnya, ada seorang teman yang gak kukenal dekat membandingkan hidupku dengan teman dekatku yang lain, mengatakan jika hidup temanku lebih baik, lebih berhasil, dan lebih sukses dariku. Aku tahu ucapannya menjatuhkan, dan sempat membuatku menangis, tapi setelah kupikir-pikir, aku tak perlu membandingkan diriku dengan siapa pun. Urusan perbandingannya ya biar urusan dia. Membandingkan diri akan mengikis berbagai feature khas yang kupunya.

Pencapaian-pencapaian lainnya, aku bisa menjalin obrolan mendalam dengan orang lain terkait hidupku dan hidup mereka. Bagiku ini lonjakan skill komunikasi yang perlu kuapresiasi sebagai orang yang terlalu introver dan sangat pilih-pilih orang kalau bercerita. Sampai ada seorang teman yang bilang, ke aku saat aku bilang, “aku susah dekat sama orang, apalagi cowok,” kataku. Terus dia bilang, “jangankan cowok, cewek aja kamu pilih-pilih.” Jleb, kok iya kalau dipikir-pikir, wkwk. Pencapaian lainnya, alhamdulillah masih bisa nulis di Remotivi dan beberapa website lain. Tahun ini juga rekor terbanyak aku nonton entah di bioskop atau di Netflix, bisa baca banyak buku, dan perlahan menemukan arti hidupku sendiri.

Alif dan ibunya saat kami sekeluarga ke Sarangan
Tahun ini tentu banyak perubahan pula dengan orang-orang di sekitarku, semisal Farid tim rilis liputan sudah keluar dari Kemendagri dan pindah ke AJI. Kata Pak Aang atasanku, gak papa keluar, asal bisa membuatmu lebih kaya dan sejahtera, kalau tidak jangan. Teman-teman di Islam Bergerak beberapa masih melanjutkan pendidikan mereka di Belanda, Pimred kami Mbak Rizki mau lahiran lagi (anak dan buku). Ponakanku Alif juga sudah sekolah tahun ini, hehe.

Bersama kolega kantor di Sate Senayan Menteng

Sama, hal random yang kualami tahun 2023 di antaranya, suatu hari pas aku ke Taman Surapati di Menteng, ada sepasang kekasih yang malah milih duduk satu bangku denganku, nah otomatis aku dengar semua obrolan mereka kan. Nah, obrolan si cowok itu kebanyakan filosofis gitu. Di antara yang kuingat, orang bijak itu biasanya ngomongnya gak cepet, dengan alasan-alasannya. Persahabatan yang tulus itu juga dijabarin kriterianya. Terus dia sebagai anak UIN bangga, karena gak cuma belajar dunia tapi juga akhirat. 

Seluas langit

Doaku di tahun 2024, yang pasti dan utama aku ingin terus sehat, ingin waras lahir dan batin. Hubunganku dengan Allah SWT (Mahabesar Dia dan Mahatinggi) semakin kuat, tak mau mengandalkan dan bersandar pada manusia lagi. Penyakit ibuku bisa sembuh, keluargaku bahagia, kawan-kawanku sejahtera. Semoga dunia intelektual, emosional, dan spiritualku seimbang, aku dikelilingi oleh orang-orang dan sesuatu yang hidup. Tentu senantiasa, aku masih ingin selalu jadi manusia yang berjiwa seluas langit dan laut. Aamiin.

Petojo Enclek XI, Jakarta Pusat, 31 Desember 2023 – 2 Januari 2024

2 komentar: