Senin, 19 Juni 2023

Social Reproduction Feminisms

Diskusi Part III The SAGE Handbook of Marxism kali membahas tulisan Tithi Bhattacharya (Professor Kajian Asia Selatan), Sara R. Farris (Dosen Sosilogi), dan Sue Ferguson (Associate Professor Emerita, Digital Media and Journalism) berjudul "Social Reproduction Feminisms". Diskusi ini dipantik oleh Lina (@hiu_nangis).

Dari bacaan Lina, "reproduksi sosial mengacu para proses-proses yang memastikan kelangsungan struktur sosial dari waktu ke waktu." Selain itu juga menjaga reproduksi biologis untuk suatu populasi. Pandemi Covid-19 menunjukkan bagaimana kerja-kerja domestik berperan penting dalam berjalannya reproduksi sosial.

Kita bisa melihat praktik reproduksi sosial dalam peran-peran rumah tangga dan pekerjaan domestik yang menyediakan pasokan tenaga kerja. Perempuan kelas pekerja menanggung beban ini. Mariarosa Dalla Costa, Silvia Federici, Brigitte Galtier, dan Selma James pada 1972 telah menyuarakan kampanye tuntutan upah bagi PRT (WfH), feminis WfH melihat eksploitasi perempuan kelas pekerja sebagai penindasan gender untuk menghasilkan tenaga kerja.

Sementara, penelitian-penelitian sebelumnya telah menjelaskan bagaimana opresi terhadap perempuan di ranah domestik ini terjadi. Mary Inman tentang "In Woman's Defense" juga melawan terkait penindasan kelas pekerja. Dia menolak PRT sebagai bentuk konsumsi alih-alih kerja produktif.

Selain itu, gagasan Benston terkait jenis pekerjaan yang tak digaji, atau perdebatan apakah pekerjaan rumah dapat menghasilkan nilai tukar/nilai guna. Ada pun debat Lise Vogel yang menemukan sudut pandang modal, reproduksi sosial tenaga kerja, secara bersamaan diperlukan dan dianggap sebagai penghalang akumulasi.

"That is, women’s oppression in capitalist society is grounded in a socio-material or structural logic of capitalist reproduction that limits the possibilities for women’s freedom and equality."

Beberapa strategi feminis reproduksi sosial untuk menjawab surplus nilai dari kerja-kerja reproduksi sosial itu sendiri yaitu dengan: (1) pemberian universal basic income/UBI; (2) pemogokan kerja; (3) menciptakan reproduksi sosial queer.

Diskusi kali ini menyisakan pertanyaan yang belum selesai: (1) apakah pekerjaan reproduksi sosial layak untuk memiliki nilai?; (2) Bagaimana regulasi yang pas untuk mengatur secara ketat terkait kerja reproduksi sosial ini?; (3) Bagaimana hubungannya dengan Rancangan Undang-Undang/RUU Pekerja Rumah Tangga/PRT di Indonesia?

Dan...

Salah satu pertanyaan yang mengganjal dari diskusi Jumat lalu, ada dua pandangan dalam melihat peran Ibu Rumah Tangga (IRT) dengan semua peran yang diembannya.

Pandangan pertama melihat IRT sebagai bentuk opresi, karena kerjaan rumah yang tak ada habisnya.

Kedua, IRT sebagai bentuk liberasi, karena dia punya privilese untuk merawat anak dan peran-peran gentle lain di rumah.

Meski dari bacaan lain yang saya baca, reproduksi sosial secara analisis didominasi oleh gagasan teori privilese dan interseksionalitas, sehingga analisis kelasnya jadi terkubur.

Di sini reproduksi sosial merasuk pada reproduksi dari cara kerja kapitalis, baik di ruang publik maupun ruang pribadi (mental, emosional, spiritual, dll); yang membuat pekerja kuat/bisa bekerja setiap hari.

Setiap proses produksi sisal pada saat yang sama juga akan melakukan proses reproduksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar