Ya, karena akhir-akhir ini saya malas nulis dan baca (entah kenapa semakin kesini, saya jadi kehilangan banyak minat, makin pesimis tiap hari tapi hidup harus tetap berjalan, halah)... semalam seperti dapat pantikan buat terus sinau lagi.
Ofek, Sulkhan, dkk, buat semacam diskusi baca buku "The SAGE Handbook of Marxism" yang diedit oleh Beverly Skeggs, Sara R. Farris, Alberto Toscano, dan Svenja Bromberg. Dengan jumlah halaman hampir 1.700, buku ini terdiri dari 3 volume, 7 bagian, dan 87 bab.
Lumayan lah ya
kalau habis, kek bisa melampaui kemalasan baca buku-buku tebal dengan cara yang
lebih kolektif--bahasa Inggris lagi, double2 belajar dan mahaminya, susah sih,
tapi asyik.
Jumat (2/6/2023) malam (ya, diskusinya tiap Jumat pukul 21.00 WIB, kalau mau join, feel free bisa ngubungi Ofek, Sulkhan, kawan2 Ofek yang tergabung, atau aku juga bisa), bersama secara Zoom, kami bahas tulisan scholar Marxist dari India namanya Jairus Banaji. Blio lulusan SOAS, bisa cari ceramahnya di YouTube.
Kenapa Marxisme
lagi? Ya, seksi aja kata Ofek, wkwk. Atau kata Sulkhan: belajar ini biar bisa
jadi pedagang yang sukses :D Hahaha, ya, karena ini tuh sebenarnya berhubungan
sama kita tiap hari, dari struktur dasar sampai struktur-supra.
Tulisan Banaji yang kami bahas judulnya "Merchant Capitalism", kalau di-Indonesia-in apa ya, kapitalisme niaga, kapitalisme saudagar, kapitalisme pedagang, kapitalisme komersial. Ya itu lah, intinya trading capital.
Inti tulisan Banaji yang kutangkap setelah diskusi (ya, karena sebelumnya saya di luar kota, belum selesai baca, dan aktif dengerin aja), yang saya tangkap, di awal Banaji bahas konsep merchant dari Marx di Capital Vol. III.
Merchant yang dimaksud Banaji adalah sekelompok pedagang yang kuat, yang berhubungan dengan perdagangan impor/ekspor, pasar uang, dan bukan untuk pedagang massa (yang terdiri dari bisnis ritel kecil dan pedagang kecil) yang mengangkangi kelas menengah dan massa pekerja upahan.
Merchant di sini bagian dari spesies kapitalis, bagian dari
agensi industri kapital. Merchant besar tidak hanya menjual dan membeli, tapi
dia juga berperan dalam sirkulasi dengan cara mentransportasikan barang dan
mengorganisir distribusi/pekerja. Di term lain barangkali khas gaya-gaya
tengkulak.
Banaji mengkritik Marx yang seolah meng-underestimated peran dari merchant ini (khususnya dalam konteks di Lyons), padal perannya sangat penting. Banaji mengatakan: "The merchant class was ‘dynamic’ and ‘entrepreneurial’ but only once is it described as capitalist (as far as I can see), and the expression ‘commercial capitalism’ is entirely missing."
Lewat tulisan ini, Banaji menekankan terkait peran merchant tadi. Dia membuat taksonomi dari kapitalisme merchant ini jadi 4:1. Sistem Verlags (bagaimana merchant kapitalis ini mencerai beraikan kelas pekerja dengan cara mengontrol sarana pekerjaan subkontrak, nama lainnya sistem bengkel/sistem domestik, di mana agen merchant mengontrak pekerja dengan menyelesaikan proyek jarak jauh)
2. Pasar uang internasional (yang tidak lagi berurusan dengan komoditas, tetapi dalam uang dan pertukaran, ya, kek broker saham dan dunia persahaman gitu)
3. Usaha perkebunan (perdagangan kolonial, mirip2 sistem VOC)
4. Hasil perdagangan (salah satu poinnya berurusan dengan prodeusen rumah tangga, yang agregat tenaga-kerjanya diekspolitasi melalui dominasi harga)
Refleksi dari teman-teman yaitu, contoh yang diberikan
Banaji masih kebanyakan dalam konteks luar negeri, bagaimana dengan di
Indonesia? Dan bagaimana dengan sekarang? Misal kayak abang-abang go-food,
TikTok affilate, Shopee, dll, di mana "merchant" ini beroperasi,
berperan, dan memberi dampak?
Quote:
"‘merchant’ in this chapter of the Handbook stands for the more powerful groups of merchants connected with the import/export trades and the money-markets, and not for the mass of traders, which, in most countries even today, consists of the smaller retail businesses and petty traders straddling the middle class and the mass of wage-labourers."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar