Kamis, 12 Desember 2019

Sondang Hutagalung dan Jeon Tae-Il, Terbakar Tak Berarti Mati

Tanggal 10 Desember 2011 lalu Sondang Hutagalung meninggal mati membakar diri. Temanku memberi satu judul film "A Single Park". Tentang kehidupan dan perjuangan seorang buruh Korea bernama Jeon Tae-Il. Dia meninggal 11-12 sama Sondang, mati dengan membakar diri. Umurnya pun mereka sama-sama muda. Yang membedakan, setelah Jeon bakar diri, protes di Korea membesar, sedangkan di Indonesia Sondang dilupakan begitu saja. Tanggal 10 kemarin pas kematiannya juga sepi. "Di Indonesia kayanya sibuk ngomongin cara Sondang protes, bukan kenapa dia protes," tulis temenku.



Di sisi lain ingat Sondang aku selalu ingat tulisan Al Fayyadl berjudul Bahasa Perlawanan. Cara Sondang menurutku juga penting sebagai simbol protes dalam mengungkapkan pesan yang ingin dia bangun. Bahwa membakar diri adalah bentuk perlawanan paling jauh sebagai manusia. Beberapa kutipannya:

"[c]aranya memilih membakar diri daripada langsung membunuh diri, yang otomatis akan membawa kematiannya, mengirimkan suatu pesan yang lebih bahwa ia hendak melawan, dan ia tahu bahwa hanya dengan membakar dirinya, ia telah melakukan perlawanan paling jauh yang bisa ia lakukan untuk memprotes keadaan, karena perlawanan itu melumat satu-satunya yang paling berharga dari dirinya: hidupnya. Ia melawan hingga teriakan terakhir yang bisa ia teriakkan; hingga kata-kata terakhir yang bisa ia ucapkan; dan hingga napas terakhir yang bisa ia hembuskan."

Dulu pertama kali baca tulisan Fayyadl itu pengin nangis. Tiba-tiba pas chating sama temanku itu aku sangat sedih, Sondang berani mengorbankan HAM yang dipunyai dirinya sendiri. Terus temanku bilang, "Jangan sedih, dilanjutin (perjuangannya). Kalau nggak ada yang ngelanjutin baru sedih." Ya, dia benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar