Rabu, 12 November 2014

Yang Gigih Bekerja dalam Diam


11 November 2014
Dear you….

Hari Selasa kemarin cukup padat. Pertama dari kelas Elektronika Dasar. Yang menarik itu kisah tentang seorang ilmuwan bernama Geoge Boole. Jadi (berdasarkan cerita singkat dari bapak dosen Nur Untoro) dalam tugas akhirnya Boole membuat suatu rumus aljabar yang terdiri hanya dua angka yaitu nol dan satu. Tapi oleh pembimbingnya disepelekan, hingga membuat si Boole bunuh diri. Akhirnya apa yang diteliti Boole itu menjadi dasar aljabar Boolean dalam matematika, fisika, dan ilmu komputer. Dari logikanya, satu itu berarti BENAR, dan nol itu SALAH.

Banyak hal menumpuk juga dari ngerjain laporan praktikum tentang penyearah gelombang (20 lembar dan ini hasil paling memuaskan dari yang pernah kubuat di semester III), trus praktikum tentang bab pencacah yang ngrangkai kabelnya ribet banget. Ngerjain ulang review film Fetih 1453 karena kemarin saking nggak sempatnya aku ngopas review itu dari internet. Sebagai beban moral, aku membuatnya lagi. Sialnya pas mau ngeprint lampu mati dan kelas sudah dimulai. Piye jal?

Masuk kelas SKI (sejarah kebudayaan Islam). Isinya  presentasi-diskusi, tentang penjajahan bangsa Eropa dan kaitannya dengan umat Islam gitu. Ada yang tanya: Apa yang membuat umat muslim itu maju? Apa yang membuatnya terpuruk? Aku memberi tanggapan: Menurutku simpel. Cuma satu faktor, "ilmu pengetahuan". Umat Islam maju karena mengembangkan "ilmu pengetahuan" dan umat Islam mundur karena meninggalkan "ilmu pengetahuan". Saat meninggalkan itu, umat (maaf) menjadi bodoh dan terus manut. Sedangkan orang yang terus manut, ia akan selalu dituntut. Itu larinya ke imperialisme individu.

Habis SKI, masih ada satu kelas lagi, filsafat ilmu sama pak Mukalam (yang wajahnya ala Orang Tionghoa dan dia mengingatkanku dengan tokoh bernama Akiong). Di sisi lain, tanggal ini aku ngisi diskusi untuk anak baru di Arena tentang Teknik Penulisan Berita. Ya, aku harus milih. Aku milih yang kedua dan bolos filsafat. 

Ini untuk pertama kalinya jadi fasilitator di Arena. Ya, semacam pemateri yang memfasilitasi. Persiapannya udah dari dua minggu yang lalu juga sebenarnya. Begini kisahnya: awalnya, aku agak grogi ya. Aku membagi materi jadi empat poin besar: pengertian, macam berita, komposisi berita, etika menulis berita. Alhamdulillah, anak-anaknya pada aktif, haha. Yang paling berkesan itu mungkin pas aku nyuruh semua yang ada di Arena untuk membuat satu judul, terserah. Yang menang hadiahnya tepuk tangan. Aku senang karena mereka antusias, ide-idenya menarik, dan ada juga yang bikin ketawa. 

Dan…. (jeng-jeng-jeng) pemenang dari lomba buat judul adalah Mas Jamal! Mas PU. Dia buat judul bunyinya: Menanti Hujan Subsidi. Ia menang setelah mendapatkan 13 suara dari 21 orang yang hadir sore itu. *Aplause* Jujur sih, judulnya bikin merinding gimana gitu, haha. Kalau kata anak baru, ada yang bilang menarik, membuat saya berharap, sampai so sweet, haha.

Aku juga dipaksa buat judul. Nah, judul ini itu aku salin dari tulisan di KOMPAS tanggal 1 Agustus 2014, bunyinya: Yang Gigih Bekerja dalam Diam. Judul ini juga sempat aku jadikan status fesbuk dua hari yang lalu. Aku pikir judul itu (sangat) menarik, eh, yang voting cuma 4 orang doang, haha. Lalu dari eksplorasi buat judul itu dibuat standar umum membuat judul.
yang gigih bekerja dalam diam
Oke. Dari ruang hangat Arena, kita beralih ke jalan yang tak pernah sepi, kawasan Malioboro, di daerah nol km. Aku dapat SMS dari Kemp, intinya: jam 6pm ada aksi teatrikal, pembacaan puisi, orasi, dll. Wacana yang digulingkan tentang demokrasi dan keadilan.

Trus, sama anak-anak Kemp kesana bareng. Banyak yang ikut juga, hehe. Acara ini yang ngadain sebuah LSM gitu. Massanya kebanyakan dari anak-anak basis FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia). Wah, kerenlah mereka pokoknya. Ketemu sama suhu Mas Opik juga, haha. Lama menghilang dia sekarang makin tambah radikal saja, haha. Disitu Mas Opik jadi korlap (koordinator lapangan). 
Wujudkan Keadilan
Lalu, Mas Opik memintaku untuk milih: orasi atau baca puisi? Aku milih pilihan kedua. Ia lalu memberiku puisi judulnya Peringatan! Lariknya berbunyi: 

Jika rakyat pergi/ Ketika penguasa berpidato/ Kita harus hati-hati/ Barangkali mereka putus asa
Dan kalau rakyat sembuyi/ Dan berbisik-bisik/ Ketika membicarakan masalahnya sendiri/ Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh/ Itu artinya sudah gawat/ Dan bila omongan penguasa/ Tidak boleh dibantah/ Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversi dan mengganggu keamanan/ maka hanya satu kata: LAWAN!
(Solo, 1986)

Nggak tahu ini puisinya siapa? Bagiku menarik. Pas membaca puisi itu, deklamator diiringi alat musik dari jimbe, biola, terompet, dan gitar serta paduan suara menyanyikan lagu kebangsaan. Sesuatu banget.

Yang menarik lagi itu si David. Beberapa saat pasca David orasi dia bilang ke aku: enak kan bicara di depan? Mungkin pertama nggak PD, tapi kalau udah tiga kali, bakal ketagihan. Yang paling berat itu pas awal-awal maju, bingung mau ngomong apa. Tapi kalau udah di depan, kalimat itu ngalir sendiri. #Good.

Yang berkesan lagi. Aku kenal sama seorang wanita berumur 30 tahun dengan pakaian coklat kumel, wajah tak keurus, bernama Mbak Bekti. Dia seorang pengemis yang tidurnya di kawasan jalan Malioboro. Asalnya dari Bantul. Aku, Afin, Yani, Sukron sedikit ngomong-ngomong sama Mbak Bekti. Pendidikan dia sampai SMA, tapi sekolahnya di SLB semua. Mbak Bekti bilang polos: Di sekolah umum aku nggak bisa nangkap, sulit.

Ah, apakah negara juga akan peduli sama orang-orang, pengemis-pengemis, seperti Mbak Bekti ini? Ya, Indonesia butuh lebih banyak lagi mereka yang gigih bekerja dalam diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar