Senin, 22 September 2014

Ikrar Damai Di Hari Perdamaian 21 September

Kemarin pas main di perpus kota, saya dapat info dari Mbak Iim di FB kalau tanggal 21 September ada aksi perdamaian bersama Aliansi Pelajar dan Mahasiswa Cinta Damai (APMCD) di Nol Kilometer YK. Entah kenapa saya tidak pernah meninggalkan moment-moment aksi seperti ini. Bisa dikatakan salah satu hobi saya adalah demo (yang anti vandalisme). Dan salah satu guru besar saya dalam demo adalah Eko Prasetyo. Saya kagum dengan apa yang Pak Eko lakukan. "Hidup itu harus ada petualangan" kredonya yang saya anut.

Siang yang panas, usai makan dan sholat, saya langsung mengayuh pit ke TKP, sendirian. Sekitar pukul satu di sana ternyata massanya belum begitu banyak. Beberapa mahasiswa membawa spanduk, banner, juga selebaran. Usai memarkir sepeda, saya mendatangi mereka. Tak ada satu pun yang saya kenal. Lalu saya mendekati tempat tanda-tangan deklarasi damai, salah seorang panitianya memberi saya spidol dan saya tanda tangan. Dari depan benteng serangan umum saya menyebrang ke depan museum batik bersama simpatisan yang lain. Saya duduk-duduk, ada seorang mas-mas tinggi berkaos merah menghampiri saya dan bertanya. "Darimana?". Saya menjawab, "Dari LPM Arena UIN." Dunia memang sempit, mas ini ternyata anak UIN juga. Namanya Mas Ngarjito, mahasiswa perbandingan agama. Dia bertugas sebagai korlap (koordinator lapangan di aksi damai ini). Lalu saya dikenalkan dengan anak-anak yang lain. Ada anak UNS juga, tapi saya lupa namanya. Mas Ngar memberi saya selebaran damai untuk dibagikan pada pengendara jalan yang lewat.
Aksi solidaritas damai

Mas Ngar (merah)-Mas Betriq (pinggir kiri)
Spanduk berisi bermacam-macam kalimat. Dari Jogja berhati damai hingga Tindak kekerasan adalah bentuk kelemahan jiwa berjejeran di tepi jalan. Makin lama massa yang datang makin banyak. Bermacam-macam mahasiswa dari UIN, UII, UGM, UKDW, UPN, juga komunitas lintas iman dan etnis bersatu.
Peace for better future
Seru. Pengalaman baru saya dapat lagi. Dari bagaimana rasanya menyebarkan selebaran pada pengendara sekaligus memperhatikan respon mereka, sampai Mas Ngar memberi saya naskah puisi untuk dibacakan di pinggir jalan. Saya juga memegang spanduk bertulis: Dunia damai karena perbedaan. Di samping saya juga berdiri mahasiswa cowok yang tak hentinya berorasi (meski orasinya diulang-ulang kata-katanya, haha).

Aksi dilakukan hingga pukul tiga sore. Puncaknya adalah menyanyikan lagu Tanah Air Beta dan pembacaan Ikrar Damai yang isinya:
  1. Perbedaan adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus dirayakan dan dihormati.
  2. Perdamaian dimulai dari diri sendiri.
  3. Menghilangkan prasangka adalah awal dari mewujudkan perdamaian.
  4. Perdamaian adalah kondisi yang bebas dari situasi kekerasan dan diskriminasi.
Ikrar damai ini draft--nya dibuat oleh Mas Betriq Kindy Arrazy (koordianator umum aliansi) lalu dievaluasi, dikoreksi, dan dimodifikasi oleh tim pengonsep ikrar yang diwakili oleh masing-masing komunitas yang tergabung dalam APMCD.

Saya berkesempatan wawancara juga sama Mas Betriq. Satu hal yang berkesan adalah dengan kritis Mas Betriq mempertanyakan ulang slogan Yogyakarta yang bilang: Yogyakarta berhati nyaman (damai). Slogan itu dibenturkan dengan kasus-kasus diskriminasi orang-orang Papua, kasus Cebongan, juga kasus Florence. Menurut Mas Betriq, masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang tidak terhegemoni oleh slogan-slogan. Ia memberikan dua tawaran atas persoalan ini, yaitu: pertama, memangkas prasangka. Prasangka yang ada dalam benak masyarakat adalah bentuk kejahatan pemikiran. Jika dalam berpikir saja sudah mulai jahat, apalagi dalam melakukan tindakan. Kedua, masyarakat perlu bersikap terbuka dan jujur sehingga terjadi arus informasi dan komunikasi yang bisa diterima secara objektif oleh pihak-pihak yang berbeda.

Yogyakarta (yang damai), 22 September 2014
 Is

Tidak ada komentar:

Posting Komentar