Rabu, 17 September 2014

Diksi “Cinta” yang Kelelahan


Merasa beruntung sekali bisa hadir di acara bedah buku Maha Cinta karya Aguk Irawan. Sekilas saya membaca pamphlet pengumuman sendiri, dari judulnya yang tentang ‘cinta’ saya skeptis isinya pasti tentang kisah-kisah ingusan yang banyak berceceran di FTV-FTV. Begitu membaca testimoni dari Goenawan Mohamad tentang novel itu saya jadi ‘ngeh’, apalagi salah satu pembicaranya adalah salah satu penulis besar yang dimiliki Indonesia, yang sosoknya dulu hanya bisa saya bayangkan dalam gugusan huruf bernama Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk. Juga sastrawan (atau filsuf) yang agak gila dari Madura bernama Kuswaidi Syafi’e.

Novel Maha Cinta
Di seminar ini seolah saya disodori perspektif dan alternatif baru tentang apa itu C-I-N-T-A. Yang jauh dari apa yang diumbar-umbarkan sinetron, lagu-lagu pop, atau celotehan kafe. Karena diksi ‘cinta’ yang begitu agung seperti diperkosa hingga ia kelelahan, saking seringnya dikatakan dan mengudara menjadi diksi berbau gombal dan intermezo. Larat makna.

Kuswaidi di awal berujar, penulis novel itu seperti Tuhan. Ada aktor, suasana, acting, plot, karakter yang dibangun. Ia tak ubahnya Tuhan kecil yang menciptakan dunia sendiri (writer is a little god).

Cinta bisa menukar malapetaka. Dalam cinta, nikmat adalah sengsara dan sengsara adalah nikmat itu sendiri. Cinta menumbuhkan keabadian yang menembus kefanaan. Imran (tokoh dalam novel) jasadnya boleh fana, tapi ‘cinta’nya akan tetap membahana. Kisah dalam novel Aguk menurut Kus bukanlah cinta ingusan tapi cinta sufistik yang mengalahkan alam semesta. Dan uniknya lagi, orang yang terserang penyakit cinta, ia tak ingin sembuh dari penyakit cinta (karena merupakan kenikmatan yang tak terkira). Duri paling duri sekalipun adalah duri yang paling nikmat. Kus menambahkan, karena sastra adalah bahasa simbol yang minta untuk dijamah, pembacalah yang menimbulkan makna. Semakin cerdas pembaca yang ia memiliki simpanan ilmu yang kaya maka akan semakin menimbulkan makna yang lebih besar.

Sedangkan dari Pak Tohari, ia berceloteh tentang kisah cintanya di masa lalu. Saat itu gadis yang dicintainya jadian dengan seorang penerbang. Lalu ia pulang dan patah hati. Tohari lalu menulis puisi, cerpen, dan sejenisnya untuk gadis yang dicintainya itu. Ajaib, gadis itu berpaling ke Tohari.
Bahkan dalam salah satu novelnya yang berjumlah 400-an halaman, novel yang berbicara tentang cinta itu nir kata cinta! Saking Tohari ketakutan menulis kata ‘cinta’ yang begitu agung. Cinta itu ilahi. Motivasi terciptanya alam semesta adalah cinta. Jika ada yang bilang “aku sayang kamu” itu gombal, yang benar adalah “aku birahi pada kamu”. Cinta lebih mengena jika kita mengungkapkannya lewat bahasa tubuh. 

Aguk sendiri bercerita jika novel ini lahir dari kisah nyata gurunya. Hebatnya hanya dalam 14 hari bisa tercipta novel setebal itu (bajigur). Yang nyentuh juga ada sebuah ayat yang menerangkan, jika seseorang memiliki cinta yang langgeng maka ia mati syahid. Bagi saya ini ‘sesuatu’ sekali, haha. Saya (atau Anda) bisa saja mati syahid hanya gara-gara setia mencintai seseorang sampai mati. Menurut Aguk, kenapa dalam asmaul husna tidak ada ‘yang maha cinta?’ karena cinta adalah rangkuman dari asmaul husna. Dengan nada menyesal Aguk sedih betapa murahnya ia mengumbar cinta dalam bukunya sendiri.

Diceritakan pula bahwa pernikahan hanya melegalkan nafsu. Pernikahan adalah akad (jual beli), maka ada kredo yang mengatakan nikahi si A karena ketampanan, kecantikan, harta, keturuanan, dan lain-lain. Tapi jika cinta, ia tak harus menikah. Ia berdasar ketulusan dan tak meminta aprosiasi apapun. Cinta hanya dipinjamkan bagi orang yang hatinya bersih. So sweet juga dengan kisah Rasulullah, bahwa istri yang paling beliau cintai sebenarnya adalah Khadijah bukan Aisyah. Meski Aisyah lebih cantik, lebih cerdas, dan lebih lainnya. 

Yang menyentuh hati saya juga adalah kisah dari Aguk yang mengatakan bahwa 'dengan menulis saya bahagia'. Ia berpacaran dengan laptop, tidak peduli nanti akan dibuang atau apa tulisannya.. Dalam menulis ada imajinasi yang membanggakan. “Bahagia adalah ketika hati kita hidup, menulis dengan cara bahagia. Menulis adalah penghayatan yang paling total,” tutur Mas Aguk.

Kritikan tajam menurut saya datang dari peserta bernama Fajar. Ia berkata jika sangat disayangkan sekali kalau isinya bagus tapi judul dan covernya ngepop. Dari penerbitnya sendiri bilang jika penerbit memerlukan oplah, karena yang booming sekarang adalah Mahadewa (Mahabarata) maka judul novel ‘dimiripkan’ dengan novel itu. (Naif).

Kembali berbicara tentang cinta, ada pepatah yang mengatakan: dalam lintasan cinta semua orang bisa jadi seniman.  Semoga dengan kehadiran novel Aguk ini (yang kata Tohari ditulis dengan bahasa yang menyanyi) cinta kembali menemukan dirinya atau ia malah semakin kelelahan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar