Selasa, 23 September 2014

Untuk Rakyat, Untuk Kita

Nulis ini agak telat, tapi tak apa-apa, mumpung masih ada kesempatan. Sesuatu yang berharga akan terus diingat, tapi seberapa detail mengingatnya... itu hanya terkonkretisasi lewat tulisan... Ya, ini tentang Arena, tentang Eska, tentang Sisir Tanah, tentang kritik, tentang seni, dan tentang... emm  (kamu).

Hari yang tidak pernah datar, pertunjukan "Untuk Rakyat" di bawah pohon beringin rindang depan MP diadakan. Tepatnya hari Jumat, 19 September 2014 atas kerjasama Teater Eska dan LPM Arena.

Sebelum ke acara itu aku ingin cerita sedikit tentang hari Jumat ini. Di hari ini aku ngonfirmasi proposal sama temanku, tapi tak begitu sukses. Pengalaman yang minim membuatku gelagapan. Lalu temanku mengajakku main ke kosnya. Sempit memang, tapi terasa adem dan banyak buku tentunya. Kami berdua bercerita banyak tentang sastra, pengalaman menulis, penulis keren dan karyanya, dll. Temanku ini sering mengisi acara pembacaan puisi, lomba puisi, menulis puisi. Dua puisi karyanya yang dimuat di Pikiran Rakyat juga Minggu Pagi dan siang itu ia tunjukkan padaku. Aku membacanya, keren, iri juga, haha. Ia bercerita tentang bagaimana dulu berjualan koran, jauhnya jarak ke kuliah, atau mencoba berkata pada orang tua kalau 'aku disini berkecukupan', dll. Yang aku ingat, jangan dulu cari nama, dalami proses dulu. Disisi lain, temanku berpendapat: banyak orang yang membesar-besarkan proses, tapi sedikit sekali mereka yang benar-benar 'mencintai' proses.

Sorenya, ke UIN. Aku ada kumpul Hima-Fis divisi minat bakat. Ketemu Risbay dan Meriza, agendanya adalah membuat tulisan semacam leaflet tentang fisika untuk disebarkan ke anak baru pas makrab esok pagi (sayang aku tak bisa ikut makrabnya). Kalau di sanggar sendiri acaranya penyambutan Teater Asa Semarang buat pentas di gelanggang mahasiswa (20/9).

Usai sholat magrib, agenda yang kutunggu-tunggu, pertunukan Untuk Rakyat digelar. Persiapan acara sebenarnya udah dari siang, dimulainya magrib. Lelahku hari ini terobati...
Sebelum pentas
Konsep acara ini sederhana memang, tapi memiliki arti yang bermakna melebihi konser-konser besar di hotel atau auditorium dengan pengisi acara band internasional atau jazz yang mendayu-dayu. Begitu merakyat, romantis, dan apa adanya.

Sebagai pembuka acara, kakek Rimba (Hartanto Ardi Saputro) berkisah tentang liputan yang ia lakukan mengenai para pemulung dan orang jalanan di Jogja. Ia tulis dalam tulisan "Bocah-bocah Mayeng". Rimba berkisah bagaimana ia hidup dengan mereka, bagaimana mereka tidur, konflik antar sesama pemulung, atau tentang semangat mereka yang sanggup bekerja hingga 18 jam per hari. Atau tentang kampung Mak'e. Yang dilakukan Rimba bukan bentuk pencitraan seperti reality show di TV-TV yang dalam tanda kutip malah menjual "orang kecil" itu sendiri.

Lalu ada pula penampilan dari SPOER (Seni Pertunjukan Oentuk Rakyat) dengan lagu-lagu sosialnya. Sedang dari segi puisi dan refleksi ada Roesly Khaeza, Rusli Baihaqi, Selendang Sulaiman, Shohifur Ridho Ilahi, dengan renungan dan wacananya masing-masing. Ada juga mbak Maya dengan lukisan revolusi mental, juga Habibburahman dengan monolognya.
SPOER
Habib: Tawa dari dasar sakit
Revolusi Mental
Yang dinamakan "hidup" itu seperti ini
Dan yang aku nanti-nanti adalah Sisir Tanah! Yaph, rencana main ke UIN-nya terjadi juga jumat itu #senangggg. Mas Danto datang sendiri, mengenakan style khas dia dan gitar keramatnya, haha. Mas Danto menyanyikan tujuh lagu euy, lagu yang di awal aku nggak tahu judulnya, lagu yang lain kenal: Lagu Baik, Pidato Retak, Lagu Wajib, Konservasi Konflik, Kita mungkin, dan ditutup dengan Bebal.
Kerasa banget tuh pas Mas Danto teriak: TUAN DAN NYONYA BELAJAR LOGIKA SUDAH SAMPAI MANA?!!
Mas Danto: Teriakan untuk Tuan dan Nyonya YTH
Lalu ada stand up comedy juga dari si Bikhu Miftah Farid Paulus (Ayik). Nggak jelas tuh anak, haha. Maaf ya, kalau namamu kucantumkan dalam pemberitaan. Dia ngomong tentang agent of change, ngajak syahadat bareng, memihak kepolisian, dan kisah-kisah anak-anak Eska, dari Ridho, Harik, Sabiq, Dede, Obeng, dll. Mungkin beberapa kalimat dia perlu aku tulis:
Ayik: Sedang memba'iat, haha
"Allah semakin didekati, ia akan semakin jauh. Semakin engkau menjauh pada Allah, Allah akan mendekatimu, karena kamu merasa rindu pada Dia. Yang sedikit itu akan membuat Anda merasa kurang dan ingin menambah sendiri... *Ajaran darimana coba? Tapi masih rasional*
"Ini teman saya Harikimura Sanada. Dia jomblo sejati. Mottonya dia: Kalau butuh kehangatan pakai Salonpas. Jauh dari maksiat.... *Hahahaha. Edan.*
"Di belakang saya Subakun Muhammad, dia ayah saya yang mengajari saya banyak hal. Yang sering membuat saya menjadi manusia sejati. Nasehat dia yang dia kirim ke saya: rakyat Indonesia sebenarnya kaya raya tapi sedang ditutup semen... *Setuju*
"Selama lima tahun kuliah dididik jadi miskin, masya Allah. Karena kalau tidak miskin tidak disayang negara.... *Berarti yang disayang negara orang kaya dong?*
"Kalau kawan Arena mencari nafkah lewat tulisan. Saya lewat tulisan juga, kirim SMS ke orang tua. Bu, minta kiriman uang 1,5 juta.... *Hahaha, sak karepmu*
Dan masih panjang lagi sebenarnya.
Acara dilanjutkan dengan gitaran Mas Harik yang nyanyiin lagu-lagu kala kecil, juga saudara Mas Harik, Mas Sabiq, yang duet sama Mas Abdillah menyanyiakan tembang-tembang Pidi Baiq.
Harikimura Sanada
Singing Pidi's song
Yang menjadi catatan aku pribadi adalah... benar yang dikatakan Mas Ridho, acara seperti ini itu mungkin bisa dibuat rutin dan ditindaklanjuti. Tempat berkumpul bareng, curhat bareng, penyaluran aspirasi bareng, juga senang-senang bareng tentunya, haha. Semacam apa yang dilakukan Rendra di upacara kaum urakan.

Aku bahagia.

2 komentar:

  1. hahaha.... ada saya di sini. menyenangkan sekali masuk dalam blogmu, boss. tengkyu telah mengabadikan wajah sayah.....

    BalasHapus