Minggu, 11 September 2022

Kebiasan Buruk Teori Kritis - Mari Ruti

The Comparist terbitan The University of North Carolina (UNC) Press adalah salah satu jurnal rekomendasi saya kalau mau baca jurnal yang isinya perbandingan beberapa teori tokoh. Masing-masing perspektif tersebut kemudian 'diadu' dalam satu tema/tulisan utuh. 

Seperti kali ini, saya baca tulisan Mari Ruti berjudul "The Bad Habits of Critical Theory", yang saya temukan di JSTOR. Mari Ruti adalah seorang profesor teori kritis dan studi gender di Universitas Toronto.

Dalam artikel ini Ruti akan menjelaskan dua kebiasaan buruk yang bisa diprediksi dari teori kritis kontemporer.

Pertama, tendensi untuk melompat dari dari kritik yang otonom ke kritik lainnya, dan hal yang berkaitan dengan pandangan subjektif harus dihindari, semakin menghancurkan subjek dirasa semakin "etis".

Kedua, hasil logis dari penghancuran subjek ini adalah gagasan “antinormativitas radikal" (penolakan datar terhadap jenis etika normatif yang bergantung pada seperangkat objek apriori tentang benar dan salah), yang dianggap suatu sikap etis yang memadai. Atau singkatnya, kebiasaan buruk teori kritis meremehkan penilaian normatif.

Berpijak dari dua kritik itu, Ruti kemudian menguji argumennya dengan beberapa tokoh psikoanalis, gender, studi budaya, hingga teori individu/eksistensial. Teori-teori yang dibabarkan Ruti seperti: Lacan, Freud, Judith Butler, Alan Badiou, Slavoj Žižek, sembari mengunyah kue Kantian juga.

Dari banyak tokoh yang dikomparasikan itu, Ruti lebih condong dan berpihak pada Badiou. Badiou mengakui, dia memotong kebiasaan buruk teori kritis dalam menolak gagasan etika normatif, sebagai suatu warisan metafisika humanis yang tidak dapat diterima. Pertama, etika tanpa konten normatif tidak dapat dipertahankan. Kedua, memikirkan kembali normativitas di luar fondasi metafisiknya.

 Lebih jauh lagi...

Teori kritis dengan cermat mempertanyakan semua bentuk makna, tindakan, dan penilaian yang diterima begitu saja. Teori kritis curiga terhadap kecenderungan gagasan untuk membeku menjadi konfigurasi yang kaku dan tak bernyawa. 

Ia menolak segala yang sistematis dan terpusat, yang berbau kebiasaan. Ini didukung dengan sikap skeptis yang menghasilkan karya kritis, yang menginterogasi dasar-dasar subjektivitas, agensi, makna, dan etika.

Teori kritis progresif didefinisikan secara longgar di jurnal ini, seperti, psikoanalisis, Marxism, feminis dekonstruktif, teori queer.

Telah secara terus menerus mengabaikan kebiasaan buruknya. Dua kritik terhadap teori kritis yang disuarakan Ruti: penghancuran subjek dan antinormativitas radikal.

Teori sebagai perusahaan pembuat makna, menggambarkan dunia yang tidak sepenuhnya ada, bukan dunia yang kita huni. Dia hasil dari kekecewaan pada keteraturan yang mematikan pikiran. Ini berkelindan dengan moralitas Pencerahan yang telah menghabiskan sepanjang kariernya dengan mengkritik. Dan bagi sebagian, berperang melawan etos kapitalisme neoliberal.

Kebiasaan buruk teori kritis untuk melarikan diri dari etika normatif mungkin secara tidak sengaja bermain tepat di tangan kapitalisme neoliberal. Bukankah kapitalisme sebagaimana antinormativitas membenci batasan? Lagipula individu neoliberal yang mementingkan diri sendiri, yang terbiasa dengan kemungkinan eksistensial yang tak ada habisnya, yang tidak menyukai batasan kebebasannya; mungkin sangat senang dengan gagasan bahwa dia tidak boleh terikat pada norma-norma yang dengan cara tertentu menghalangi kemampuannya untuk bergerak di dunia tanpa batasan.

Teori kritis perlu mengembangkan kewaspadaan yang sebanding mengenai perbedaan antara kebiasaan berpikir yang stagnan dan kecenderungan kritis yang berguna (memelihara vitalitas). Teori kritis tidak kebal terhadap kebiasaan buruk.

Ruti, M. (2016). The bad habits of critical theory. The Comparatist, 40, 5-27.

Link: https://www.jstor.org/stable/26254752

#mariruti #criticaltheory #thecomparist #jstor #uncpress #selfcutting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar