Poin:
Pertanyaan pertama yang diajukan Foucault dalam artikel ini adalah mengapa kita belajar kekuasaan? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan seorang "subjek". Yang cenderung ditanyakan sehari-hari adalah: Apa yang melegitimasi kekuasaan? Atau dalam konteks kelembagaan: Apa itu negara? (Yang mewakili lembaga kekuasaan) Tapi pertanyaan yang menggelitik pula: Apakah kita membutuhkan teori kekuasaan? Atau memeriksa jenis kenyataan yang kita hadapi. Semisal dengan pernyataan yang diajukan oleh surat kabar Prancis: Mengapa gagasan tentang kekuasaan dimunculkan oleh begitu banyak orang hari ini?
Selama 20 tahun terakhir, Foucault menciptakan sejarah dengan mode yang berbeda di mana manusia dijadikan subjek. Jadi bukan kekuasaan tetapi subjek yang menjadi tema umum dari penelitian Foucault. Misal memiliki domain subjek dari "seksualitas". Ada dua pengertian dari "subjek": dia yang tunduk pada orang lain dengan kontrol dan ketergantungan; dan dia yang terikat pada identitasnya sendiri oleh hati nurani atau pengetahuan diri.
Terdapat tiga mode objektifikasi yang bisa mentransformasi manusia menjadi subjek: 1) Mode penyelidikan yang memberikan manusia status keilmuan; 2) Objektivikasi subjek yang disebut "praktik berbagi".
Foucault menganggap belum ada instrumen atau alat yang tepat untuk mempelajari hubungan kekuasaan, sebagaimana linguistik dan semiotik yang menjadi instrumen dalam mempelajari hubungan makna. Foucault menyebut dua bentuk patologis akan penyakit kekuasaan, seperti fasisme dan stalinisme. Keunikan mereka tak cukup asli, karena menggunakan dan memperluas mekanisme yang sudah ada di sebagian masyarakat lain. Atau menggunakan sebagian besar ide-ide dan perangkat rasionalitas politik terdahulu.
Namun analisis terkait itu tidak dapat dijelaskan tanpa konseptualisasi yang berkelanjutan. Sementara, konseptualisasi itu menyiratkan pemikiran kritis yang berlawanan. Oleh karena itu, sebelum menuju ke sana harus mengetahui kondisi sejarah yang memotivasi konseptualisasi tersebut. "Kita membutuhkan kesadaran sejarah tentang keadaan sekarang," kata Foucault.
Sejak perkembangan negara modern, semua sadar terkait fakta dangkal yang terjadi. Meski dangkal, bukan berarti mereka tidak ada. Foucault menyelidiki hubungan antara rasionalisasi dan kekuasaan. Semisal di beberapa bidang seperti: kegilaan, penyakit, kematian, kejahatan, seksualitas, dlsb. Menurut Foucault kata "rasionalisasi" berbahaya. Foucault berpendapat, yang harus dilakukan adalah menganalisis rasionalitas spesifik daripada selalu meminta kemajuan rasionalisasi secara umum. Manusia harus lebih jauh melihat, bagaimana kita telah terjebak dalam sejarah sendiri.
Foucault mengambil bentuk perlawanan terhadap berbagai bentuk kekuasaan sebagai titik awal, mengungkap hubungan kekuasaan, menemukan posisi mereka, dan mencari tahu titik aplikasi dan metode yang digunakan. Daripada menganalisis kekuasaan dari sudut pandang rasionalitas internalnya, Foucault memberi alat dengan menganalisis hubungan kekuasaan melalui antagonisme strategi. Semisal untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kewarasan dengan menyelidiki kegilaan, menyelidiki legalitas di bidang ilegalitas, dan untuk memahami hubungan kekuasaan dengan menyelidiki bentuk perlawanan dan upaya yang dibuat untuk memisahkan hubungan tersebut. Semisal dari serangkaian oposisi yang terjadi: oposisi terhadap kekuasaan laki-laki atas perempuan, orangtua atas anak, psikiater atas orang depresi, dll, bentuk dari perjuangan anti-otoritas. Ketika dianalisis, terdapat beberapa kesimpulan:
1. Perjuangan ini bersifat transversal, atau tidak terbatas pada satu negara, tapi berkembang di negara-negara tertentu.
2. Tujuan dari perjuangan tersebut adalah efek kekuasaan itu sendiri.
3. Hal tersebut adalah perjuangan yang bersifat "segera", manusia tidak mencari "musuh utama" tapi "musuh langsung"
4. Perjuangan yang mempertanyakan status individu, seperti menegaskan hak untuk berbeda dan menggarisbawahi segala sesuatu yang membuat individu benar-benar individu. Menyerang segala sesuatu yang memisahkan individu, memaksa individu kembali pada dirinya. Perjuangan tersebut tidak persis melawan individu, tapi perjuangan melawan "pemerintahan individualisasi".
5. Mereka adalah oposisi terhadap efek kekuasaan yang terkait dengan pengetahuan, kompetensi, dan kualifikasi: perjuangan melawan keistimewaan pengetahuan.
6. Akhirnya, semua perjuangan tersebut berkisar pada pertanyaan: Siapa kita? Tujuan utama dari perjuangan tersebut bukan ini atau itu, atau suatu institusi dari kekuasaan, kelompok, elite, kelas, melainkan teknik, atau bentuk kekuasaan. Bentuk kekuasaan ini mengategori individu, menandainya dengan individualitasnya sendiri, melekat pada identitasnya sendiri. Ini adalah bentuk dari kekuasaan yang membuat individu menjadi subjek.
Secara umum ada tiga jenis perjuangan: perjuangan terhadap dominasi, perjuangan melawan bentuk-bentuk eksploitasi yang memisahkan individu dari apa yang mereka hasilkan, perjuangan melawan apa yang mengikat individu pada dirinya sendiri.
Dulu di abad ke-19, perjuangan melawan eksploitasi mengemuka, saat ini perjuangan melawan bentuk-bentuk penundukan subjektivitas menjadi sangat penting. Mekanisme penaklukan tidak dapat dipelajari di ruang hubungannya dengan mekanisme eksploitasi dan dominasi. Di lembaga-lembaga Kristen ada yang menyebutnya sebagai kekuasaan pastoral. Kekristenan sebagai agama yang mengorganisir dirinya sebagai gereja. Mereka melakukan pelayanan bukan sebagai pangeran, hakim, nabi, peramal, dermawan, pendidik, dlsb, tapi sebagai pendeta. Ada pola tertentu di sana: 1) Bentuk kekuasaan yang bertujuan meyakinkan individu akan keselamatan dunia selanjutnya, 2) Kekuasaan pastoral tidak hanya memerintah, tapi harus siap mengorbankan diri untuk kehidupan dan keselamatan kawanan, 3) Tidak hanya menjaga keseluruhan masyarakat, tapi juga setiap individu selama seluruh hidupnya, 4: Kekuasaan ini tidak dapat dijalankan tanpa diketahui jiwa mereka atau rahasia terdalam mereka, sehingga ada pengetahuan tentang hati nurani dan kemampuan untuk mengarahkannya. Bentuk kekuasaan ini berorientasi pada keselamatan, yang tentu berlawanan dengan politik.
Di sisi lain "negara modern" sebagai entitas yang dikembangkan di atas individu, atau dengan kata lain negara sebagai matriks individualisasi modern atau bentuk baru dari kekuasaan pastoral. Pada perkembangan lebih lanjut, zaman saat ini mencoba membebaskan individu dari negara dan dari lembaga-lembaga negara atau dari jenis individualisasi yang terkait dengan negara. "Pemerintah" tidak hanya merujuk pada struktur politik atau manajemen negara; tapi juga merujuk cara perilaku individu atau kelompok yang didaerahkan, suatu bentuk penundukan politik atau ekonomi hingga cara bertindak. Untuk memerintah, adalah untuk menyusun kemungkinan bidang tindakan orang lain.
Mode tunggal tindakan yang berdasar dari instrumen kekuasaan yaitu pemerintah. Hubungan kekuasaan telah secara progresif dipemerintahankan, yaitu, dielaborasi, dirasionalisasi, dan terpusat dalam bentuk, atau di bawah naungan, lembaga negara. ("In referring here to the restricted sense of the word "government," one could say that power relations have been progressively governmentalized, that is to say, elaborated, rationalized, and centralized in the form of, or under the auspices of, state institutions.")
Kekuasaan adalah sesuatu yang ada dengan tiga kualitas yang berbeda: asal-usulnya, sifat dasarnya, dan manifestasinya. Dengan membesarkan arti kata "disiplin". Disiplin menjelaskan, pertama, menunjukkan hubungan kekuasaan dan kepatuhan. Hubungan kekuasaan dapat dilihat dari hasil persetujuan sebelumnya atau permanen, tetapi bukan dengan sifat manifestasi dari konsensus. Hubungan kekuasaan, cara tindakan yang tidak bertindak secara langsung pada yang lain. Suatu tindakan atas suatu tindakan, pada tindakan yang ada atau yang mungkin timbul di masa sekarang atau masa depan. Di sisi lain, hubungan kekuasaan dapat diartikulasikan atas dasar dari dua elemen yang masing-masing sangat diperlukan, sementara yang lain: menjadi benar-benar diakui dan dipertahankan sebagai akhir tindakan.
Oleh karena itu, apa yang pantas untuk hubungan kekuasaan adalah hal itu merupakan modus tindakan atas tindakan. Hubungan kekuasaan berakar jauh dalam perhubungan sosial. Hubungan kekuasaan dan intransitivitas kebebasan adalah tugas politik permanen yang melekat dalam semua keberadaan sosial. ("...power relations and the "agonism" between power relations and the intransitivity of freedom is a permanent political task inherent in all social existence.")
Beberapa analisis konkret terkait hubungan kekuasaan:
1. Sistem diferensiasi (pembedaan) memungkinkan seseorang untuk bertindak berdasarkan tindakan orang lain. Pembedaan ini ditentukan oleh hukum atau tradisi, status, hak istimewa, kelas, kompetensi, dlsb.
2. Jenis tujuan yang dikejar oleh mereka yang bertindak berdasarkan tindakan lainnya: pemeliharaan hak istimewa, akumulasi keuntungan, operasi otoritas, pelaksanaan fungsi, dll.
3. Cara mewujudkan hubungan kekuasaan: tergantung, apakah dijalankan dengan ancaman senjata, efek kata-kata, kesenjangan ekonomi, sistem pengawasan, dengan atau tanpa arsip/aturan/teknologi.
4. Bentuk-bentuk kelembagaan yang memberi kecenderungan tradisional, struktur hukum, fenomena yang berkaitan dengan adat atau mode (seperti dalam keluarga).
5. Derajat rasionalisasi yang memainkan kekuasaan sebagai tindakan dalam bidang kemungkinan, kaitannya dengan keefektifan instrumen dan kepastian hasil.
Di sisi lain, hubungan kekuasaan dengan strategi: Strategi merujuk pada, 1. Menunjuk cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu; Kedua, untuk menunjuk cara di mana mitra dalam permainan tertentu bertindak sehubungan dengan apa yang dia berpikir harus menjadi tindakan orang lain dan apa yang dia anggap sebagai orang lain berpikir untuk menjadi miliknya; Ketiga arti ini berkumpul dalam situasi konfrontasi-perang atau permainan-di mana tujuannya adalah untuk bertindak atas musuh sedemikian rupa sehingga perjuangan yang mustahil baginya. Jadi strategi ditentukan oleh pilihan solusi yang menang. Oleh karena itu, seseorang dapat menafsirkan mekanismenya dibawa ke dalam bermain dalam hubungan kekuasaan dalam hal strategi.
Sumber: Foucault, M. (1982). The subject and power. Critical inquiry, 8(4), 777-795.
Link: https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/448181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar