"We never know self-realization. We are two abysses—a well staring at the sky." Fernando Pessoa, begitu Simon Critchley mengawali artikel berjudul “The Split Subject” ini. Cukup lama saya mahami kalimat per kalimat dalam artikel, maksudnya dia gimana? Banyak istilah sulit yang saya gagal paham, karena saya bukan anak filsafat murni, saya bagikan sesuai kemampuan saya.
Dalam artikel ini, Critchley membahas terkait "the split subject" yang saya artikan sebagai subjek terbelah. Critchley mencoba melukis gambaran terkait subjek tersebut. Dia juga mengidentifikasi defisit motivasi ini merupakan pengembangan dari "etika komitmen" dan "resiliensi politik" (bingung toh, aku yo iyo).
Analisis utama yang digunakan Critchley adalah analisa Emmanuel Lévinas. Operasi dasar dari konsep Lévinas adalah subjek etis ditentukan dari pengalaman “tuntutan selangit” yang berjalan secara heteronom. Subjek etis adalah mereka yang terbelah antara diri sendiri dan permintaan selangit yang susah dipenuhi.
Subjek etis adalah nama untuk mengikatkan diri ke beberapa konsepsi tentang kebaikan, apa pun kebaikan itu, apakah ala Kantian, Sadeian, atau di antaranya. Klaim dasarnya, pengalaman etis dimulai dengan persetujuan permintaan, permintaan yang menuntut persetujuan.
Ketika seseorang berada dalam hubungan etis, dengan demikian hubungan hanya dapat dijumlahkan dengan membayangkan diri sendiri, menempati beberapa sudut pandang orang ketiga seperti Tuhan di luar hubungan.
Dalam kondisi itu, subjek membentuk diri dalam apa yang disebut "hetero-afektifitas" sebagai lawan dari "auto-afeksi". Subjek etis punya pengalaman etis, meski paradoksnya si subjek akan tuntutan etis itu jadi subjek yang tidak akan pernah bisa terpenuhi. Sehingga dia tak pernah puas.
Hal menarik lain dari Critchley... dari pengalamannya akan kegagalan dan kekurangan, Critchley mengawali filsafat bukan dengan keajaiban, tapi dengan kekecewaan. Kekecewaan agama memancing pertanyaan akan makna, sementara kekecewaan politik memancing pertanyaan akan keadilan.
Dia juga mengkritik terkait nihilisme aktif semacam al-Qaida dengan penghancuran dunia kapitalisme dan demokrasi liberal (yang konon tak berarti); atau nihilisme pasif, semacam Buddhisme Eropa atau Buddhisme Amerika saat seseorang menghadapi kekacauan mata dunia dengan mata terpejam.
Lévinas kemudian menciptakan istilah "bahasa etis", yang terdiri dari beberapa istilah aneh, indah, dan hiperbolis: penganiayaan, obsesi, substitusi, sandera, dan trauma. Gambaran pengalaman etis yang coba diterangkan oleh Critchley ia eksplorasi dari konsep "trauma". Trauma memiliki makna fisiologis dan psikologis, trauma adalah fakta heteronom yang datang dari luar diri tanpa peringatan yang terjadi secara kompulsif dan berulang. Trauma bukanlah masalah teoretis bagi Lévinas, tapi cara menangani memori horor. Pada intinya, subjek etika adalah ditandai dengan pengalaman hetero-afektifitas.
Kesimpulan yang bikin ngakak adalah ternyata subjek etis yang disebut sebagai subjek terbagi ini bukanlah hal tragis, tapi komik belaka. Wkwk.
Critchley, S. (2008). The split subject. Journal of Chinese Philosophy, 35, 79-87.
#simoncritchley #splitsubject #philosophy #journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar