Sabtu, 29 Mei 2021

Tuan Tanah Desa dan Musuh-Musuhnya

Usai krisis ekonomi tahun 1998 dengan diterapkannya peraturan neoliberal, pemerintah Indonesia lebih menggantungkan pada sektor tambang dan ekspor terhadap komoditi pertanian seperti kelapa sawit, ketimbang sektor manufaktur guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Awal abad 21, dinamika perubahan agraria ditandai dengan ekspansi kelapa sawit.

Ekspansi kelapa sawit ini khususnya di Asia Tenggara dikenal dengan "serbuan tanah global (global land rush)". Yang mana hal ini meningkatkan konflik agraria di luar pulau. Dengan latar belakang seperti itu, lalu literatur yang berkembang kemudian mencurahkan perhatiannya terhadap perampaasan tanah dan konflik agraria yang terkait dengan sektor tersebut. Dengan naiknya kelapa sawit di pulau-pulau terluar, di sisi lain perhatian terhadap budidaya padi kontemporer di Jawa sebagian besar mengalami pengabaian. Kontras dengan yang terjadi seperempat abad terakhir di abad 20, di mana fokus lebih diarahkan pada perubahan agraria kapitalis di pedesaan Jawa.

Di pedesaan Jawa kontemporer sendiri, kebutuhan akan beras secara politik tetap lebih penting dibandingkan dengan kelapa sawit, karena padi menjadi makanan pokok orang Indonesia. Di mana ketersediannya menjadi mata uang utama dalam menjaga stabilitas sosial. Inilah yang melatarbelakangi mengapa pemerintah tetap menyediakan subsidi bagi petani padi meskipun di bawah rezim neoliberal. Menurut data BPS 2019, hingga saat ini lebih dari setengah total produksi padi domestik tumbuh di Jawa. Pulau kecil yang kurang dari 10 persen total ukuran negara bisa mengakomodasi lebih dari setengah total kebutuhan penduduk Indonesia.

Meski di sisi lain, dalam beberapa dekade terakhir akibat dari konversi lahan untuk sektor industri dan properti di Jawa, pangsanya jadi menurun. Konversi cepat di bidang non-pertanian ini terkhusus di sektor konstruksi dalam dua dekade terakhir, menciptakan konteks perubahan agraria yang baru di Jawa.

Njomplang adalah sebuah nama desa di Purworejo (Jateng), nama yang unik karena ketika dibahasa Indonesiakan artinya timpang, ketimpangan. Di desa inilah, Muhtar Habibi melakukan penelitianya terkait dinamika kelas dari perubahan agraria di pedesaan di Jawa, melalui wawancara dan literatur dari perubahan agraria terbaru pada abad 21.

Purworejo sendiri merupakan daerah dengan produksi padi yang besar, sebagaimana Jateng menjadi salah satu area produksi padi tertinggi di Indonesia. Tiga perempat lahan padi menggunakan sistem irigasi yang layak di mana panen dilakukan dua kali dalam setahun. Ini didukung dengan adanya teknik produksi modern seperti sistem irigasi, alat-alat modern, bahan-bahan kimia, hiingga mekanisasi.

Purworejo mengalami revolusi hijau pada 1970an. Hampir seluruh area tanah di Desa Njomplang digunakan sebagai lahan padi (112 ha), dan 15 ha digunakan untuk perumahan dan fasilitas publik. Desa ini terdiri dari 314 rumah tangga, dengan jumlah penduduk 1115 orang, di mana 60% penduduknya memiliki penghasilan dari bidang ekonomi padi, bekerja di sektor pertanian. Lainnya di sektor non-pertanian seperti guru, perawat, pegawai bank, pedagang, birokrat, dll.

Habibi melakukan penelitian di desa tersebut sendirian, dan dia tinggal di sana dengan waktu yang ditentukan (bulan September-Desember 2017). Dia melakukan wawancara semi terstruktur dengan 80 partisipan untuk mendapat informasi kualitatif terkait pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang ingin diangkat dalam jurnal ini adalah bagaimana karakter relasi kelas dalam penanaman padi di pedesaan Jawa pada abad ke-21 di bawah perkembangan kapitalis kontemporer? Serta apa perbedaannya dengan karakternya di masa lalu?

Studi ini menunjukkan bagaimana para kelas penguasa agraria yang terdiri dari para petani kapitalis dan tuan tanah dan para kelas buruh di pedesaan Jawa kontemporer bernegosiasi terhadap upah dan kondisi kerja mereka. Negosiasi ini dimediasi oleh institusi lokal setempat yang dikenal dengan nama "rembug desa". Terkait rembug desa, dahulu pada 1960an, di Njomplang, PKI merupakan partai politis terbesar, hanya beberapa yang bergabug pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI). PKI yang berafiliasi dengan Pemuda Rakyat, BTI, dan Lekra sering mengadakan pertemuan di Njomplang. Untuk mempromosikan program-prorgam seperti redistribusi.

Terlepas dari lanskap dominasi agraria, para petani kapitalis dan tuan tanah ini memiliki posisi yang kuat dalam atmosfer non-agraria di pedesaan. Posisi mereka disebut sebagai tuan/raja (master) di desa. Diskusi terkait tuan tanah desa dan musuh mereka dalam kelas buruh menawarkan pemahaman baru terkait bagaimana upah pertanian dan kondisi kerja disesuaikan di Jawa.

Studi terkait pedesaan di Jawa ini juga menyoroti pentingnya mengeksplorasi kompleksitas lokasi kelas, guna memahami karakter relasi kelas yang terjadi. Dengan melihat lokasi kelas keduanya dan bagaimana relasi kelas berjalan menawarkan pemahaman yang lebih lengkap terkait dinamika kelas dari perubahan agraria.

Relasi kelas tak hanya kategori: secara volunter atau idealis. Relasi produksi membentuk formasi kelas. Relasi kelas berjalin dengan bentuk-bentuk relasi sosial seperti ras, gender, etnis, identitas nasional, dll. Sifat hubungan kelas atanra petani kapitalis dan kelas pekerja pedesaan perlu melihat dalam kerangka situasi kelas yang kompleks. Dan bagaimana itu berdampak pada hubungan kelas dari waktu ke waktu.

Habibi, M. (2021). Masters of the countryside and their enemies: Class dynamic of agrarian changes in rural Java. Journal of Agrarian Change, 1-27.

Sumber: https://doi.org/10.1111/joac.12433

#muhtarhabibi #agrarianchange #classdynamics #classlocation #rural #java #journal #wiley

Quote:

"Identifying agrarian class location, based not only on their position in property relations and production relations but also on their engagement in non-agricultural activities, is crucial to grasping the complex nature of agrarian class location."

"In Njomplang, we have seen three main agrarian class locations: capitalist farmers, PCP, and classes of labour. We have observed the complex nature of each class location. For capitalist farmers in Njomplang, we identify three different subgroups, namely, the “typical capitalist farmer,” “politico-bureaucrat capitalist farmer,” and “professional-capitalist farmer.” Apart from capitalist farmers, there is also a group of “landlord-capitalists.” Different types of capitalist farmer have different takes on the production process. We have also seen the different groups within PCP in the two villages. “Substantial PCP” owning their land and having no relationship with patrons separates them from “formal PCP,” who only control the land and are generally bound to their patrons."

"While “semiproletariat farmers,” “proletariat farmers,” and the “fully-fledged proletariat” share similar class locations, they occupy different positions in land, labour, or output relations."

"A worker, who is also one of the former members of Pemuda Marhaen (PNI) in Njomplang, offers an ambiguous compliment: “I admit that PKI's members were smart, but they were too radical.”"

"The rembug desa is the most important moment when class contradiction rises to the surface above the subtler forms of daily class relations in the village. Our discussion on rembug desa, though exceptional to our knowledge, offers a new understanding of how agricultural wages in rural Java are adjusted and how the relations between employers and workers shape the wage rates."

"Politically, at least in Java, the main enemies of “the masters of the countryside” are only “proletariat farmers” and the “fully-fledged proletariat.” “Semi-proletariat farmers” are barely vocal in the meetings since they have “something to lose,” and most of them are tied to patron landlord-capitalists."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar