Kemarin aku masih sempat melakukannya, menonton episode-episode film Korea ganjil yang membuatku merasa bersalah. Ya, seolah ada isi kedondong di tenggorokanku. Dua tokoh utama hidup dengan kelas sosial yang berbeda ketika mereka berumur 40 tahun. Meski ketika masih mahasiswa, si Yoon Ji Soo dari kalangan atas daripada Han Jae Hyun, saat di pinggir jalan Jae Hyun gerah dengan tingkah Ji Soo yang sering mengejarnya, "Aku ingin menyingkirkan borjuis sepertimu."
Hidup berjalan, dua tokoh berpisah hidup dan kelas. Ji Soo memiliki anak yang cerdas, tapi dia miskin, dan selalu: kesalahan selalu dilakukan oleh orang-orang miskin. Sebrutal apa pun orang miskin membuat tingkah; yang bahkan menyakiti lalat saja tak berani apalagi manusia, si miskin tetaplah salah. Berapa penghasilan orang miskin? Sulitkah mencari nafkah? Cocokkah menggantungkan nasib mereka dengan pernyataan: "Tergantung pekerjanya!" (?)
Dan si ibu, Ji Soo sebagaimana yang diwarisi oleh aktivisme mahasiswa Jae Hyun bekerja sebagai pekerja swalayan. Dia sering membantu memberi minuman bagi para ibu permrotes ketidakadilan perusahaan. Ji Soo sering mengunjungi surga: Surga Paruh Waktu dan Surga Gimbap. Dia menikmati ketika terlibat di Perkumpulan Gotong Royong bersama kaum papa. Meski di titik yang lain, ketika Ji Soo berkumpul dengan para ibu sosialita orangtua murid anaknya (yang mendapat beasiswa di sekolah internasional), dia merasa kira-kira begini:
"Kurasa aku ingin muntah, di suatu waktu aku bersama para pemrotes memberikan air untuk mereka, tapi di lain waktu, aku duduk bersama ibu-ibu, yang harga tasnya seharga satu bulan biaya hidup para pemrotes itu. Sembari sarapan siang di hotel dan mengobrol."
Sedang Jae Hyun kehilangan idealismenya ketika dewasa. Jika di masa mahasiswa dia membela buruh, membaca Karl Marx, bersyair The End of That Summer-nya Lee Seong Bok, menjadi kepala aktivis perkumpulan, dengan kos yang dindingnya tertempel poster Che Guevara, meski gembeng karena sering nonton Love Letter; dewasa dia memecat banyak orang, bekerja untuk perusahaan bonafid, bekerja untuk Kementerian Tenaga Kerja, panjat sosial dengan menikahi anak konglomerat, dan bermitra bisnis dengan bank.
Jae Hyun ketika mahasiswa dan Jae Hyun ketika paruh baya 180 derajat berbeda. Paradoks ideologi film itu tidak ada dalam skenario yang aku pikirkan. Aku seolah tersadar, niat baik sering dikalahkan oleh kenyataan. Sebagaimana Jae Hyun ketika di usia muda dia berdiri pada pihak yang kalah, ketika paruh baya jadi berubah: "Untuk apa kau berdiri di sisi itu? Untuk kawan atau keadilan? Hal-hal seperti itu tak memberimu uang." Pernyataan ini membuat kepalaku seperti kepala tauge yang sudah layu.
Namun Ji Soo di usia paruh baya masih bersetia dengan apa yang diyakini Jae Hyun ketika mahasiswa: berdiri di pihak kalah. (Dan ya, aku teringat dengan kutipan: kalau ingin dihargai Tuhan, maka hargailah orang yang tidak dihargai manusia). Sebagaimana para buruh yang disabotase haknya oleh perusahaan, para pekerja kecil, para pekerja yang tak dianggap manusia.
Sampai episode empat, ketika link nonton film tak bisa kuakses lagi, rasanya aku tak mau melanjutkan menontonnya, karena beberapa pola film Korea hampir sama: masa depan-masa lalu yang lebai, detail yang kadang menjijikkan karena menonjolah segala keperfekan wajah-busana-dll, kadang alurnya mbulet gitu-gitu aja. Yang menarik adalah lebih pada konflik yang kadang memang di luar prediksi, landscape yang menyejukkan mata, dan muatan-muatan filsafatnya--terdengar sombong memang.
Meski begitu, film ini memberiku pertanyaan besar: Apakah ada yang namanya kesetiaan pada ideologi? Membandingkan Jae Hyun mahasiswa dan Jae Hyun paruh baya membuatku frustrasi sendiri ketika itu kurefleksikan pada diriku. Apakah aku juga akan merasa jijik dan ingin muntah sebagaimana Ji Soo membandingkan antara dia di jalanan protes dan ketika dia berada di tengah para sosialita di tempat elite?
Kos Vidagarin, Depok, 31 Mei 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar