Rabu, 07 Februari 2018

Jembatan Pensil: Bangun Jembatan untuk Pendidikan Pedalaman!

Saat kuunduh film ini di Youtube, dari judulnya sudah sangat puitis: Jembatan Pensil. Langsung bisa kutebak film ini akan berbicara tentang pendidikan-- i'm right. Ada sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna, tepatnya lagi di Pantai Meleura (yang konon disebut Raja Ampat-nya Sulteng), berdirilah sebuah SD kecil di dekat pantai itu. Ini SD-nya:
SD tersebut hanya memiliki satu guru tua yang tak pernah digaji. Juga hanya ada satu kelas (emang bisa ya secara resmi mendirikan sekolah semacam itu? Agak di luar aturan ini sekolah). Muridnya pun kondisinya beragam. Ada yang normal dan difabel.

Terkisahlah lima orang sahabat: Ondeng, Inal (tunanetra), Yanti, Nia, dan Azka. Ondeng ini semenjak ditinggal ibunya jiwanya agak tergunjang, fisiknya dewasa, tapi pikirannya kurang. Dia hanya tinggal bersama ayahnya. Seorang nelayan miskin yang tiap malam mencari ikan di sekitar Meleura. Kadang ia dibantu Gading, pemuda yatim piatu yang sudah dianggap anaknya sendiri.
Setiap ingin pergi ke sekolah, Inal, Yanti, Nia, dan Azka harus melewati jembatan yang rapuh. Yang kayunya goyah, dan kalau tak hati-hati bisa terbawa arus sungai. Setiap mau pergi ke sekolah pula, Ondeng selalu menyambut empat sahabatnya ini di ujung jembatan. Suatu hari, jembatan itu pun menemui keruntuhannya. Inal, Yanti, Nia, dan Azka hanyut ke sungai; Ondeng mati-matian jebur ke sungai menyelamatkan sahabat mereka. Alhamdulillah selamat, dan mereka bisa mengikuti upacara pengibaran bendera di sekolah. Meski tubuh basah kuyup, tas dan buku-buku hanyut, dan sepatu rusak. Namun semangat mereka hidup.
Guru baru muda mereka (anak Pak Guru), lulusan sarjana dari Jakarta bernama Bu Aida mengajari mereka belajar pada alam. Kadang-kadang dibantu Gading yang falling love gitu sama Aida. Diajak belajar tak cuma di sekolah. Tapi juga di goa dan bukit. Aida meminta murid-muridnya menuliskan cita-cita mereka. Tapi, alat tulis tak ada. Ondeng lalu dengan kreatifnya (aneh juga ya, maksudku dengan latar belakang Ondeng yang seperti itu, ide kreatif malah datang dari Ondeng); Ondeng membagi pensil utuhnya jadi lima dan dibagi ke teman-temannya. Azka ingin jadi presiden. Yanti ingin jadi dokter. Nia ingin dapat beasiswa sekolah tinggi. Inal ingin membahagiakan ibu. Dan Ondeng ingin membangun jembatan buat empat temannya.

Duka terjadi, karena kuasa alam, ayah Ondeng meninggal, dan Ondeng hidup bersama Gading. Pasca meninggalnya sang ayah, Ondeng selalu trauma, hingga suatu hari dia kalap ke laut pakai cadik sambil memanggil-manggil bapaknya. Lalu..... dengan ending yang dipaksakan, Ondeng meninggal di laut saat mencari ayahnya. Sesuai cita-cita Ondeng, Gading, guru, dan empat sahabatnya membangun "Jembatan Pensil" untuk Ondeng.
Pelajaran: Kalau mau Ansos serius. Ironi sebenarnya banyak. Semisal, kenapa Meleura yang indah dan kaya tapi sekolahnya saja seperti itu? Masyarakat yang sebagian nelayan, kenapa banyak yang tak mampu? Kenapa malah sepertinya peternakan dan berdagang tenun lebih menjanjikan sebagai masyarakat kelas menengah? Jadi ingat apa yang dikatakan ayah Ondeng: nelayan itu hidup dan matinya di laut. Terdengar pasrah sih, tapi memang begitu juga kenyataannya. Di mana peran negara?

Lalu, kalau tujuan film ini mengajak kita untuk belajar pada alam... sudah berhasil menurutku. Meski fokus utamanya ada di kisah Ondeng dan cita-citanya mendirikan jembatan itu. Bisa bayangin gak sih, kalau itu terjadi ke kita? Di kota atau serupanya, kita mah enak. Sekolah tinggal sekolah, apa-apa ada. Tapi bagi mereka? Siapa yang mau peduli membangun jembatan bagi daerah-daerah dengan kasus yang sama seperti ini? Dan masihkah ada sekarang ini, guru yang mau ditempatin di pedalaman tanpa digaji seperti pak guru di film ini? Sungguh mulia jika ia ada.

Semakin hebat jadi semakin berat ya Yanti -- kata salah seorang lima sekawan.

3 komentar:

  1. apakah dr film jembatan pensil ini dapat di rangkap mmbuat skripsi , jika saya mmbuat judul ini ? ..
    "menumbuhkan para siswa dalam mencitai Alam dengan mengambil sebuah novel jembatan pensil "
    maaf saya , pgmi yg izin dan mau menanyakan .. apakah jika diperbolehkan membuat judul skripsi saya ..? ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan Mbak Nayla, monggo. Judulnya sudah menarik saya kira.

      Nanti pendekatannya bisa lewat teori kritis pendidikan. Beberapa nama mungkin Paulo Freire atau Ivan Illich. Juga dipadukan dengan wacana-wacana sosiologi lain.

      Semoga sukses ya skripsinya :)

      Hapus