Kamis, 27 Agustus 2015

The Silent Stone of Bukit Batu Katingan

Pagi, kumpul di depan gedung bupati Katingan untuk upacara. Baris di depan dan dengerin amanat upacaranya pak Ahmad Yantenglie. Ada dua hal penting yang saya tangkap dari retorikanya. Pertama, tentang komitmen. Jika orang mempunyai komitmen kuat, dia tak akan mudah diombang-ambingkan. Orang yang punya komitmen, meski cobaan yang dihadapi seberat apapun, selagi ia teguh dengan komitmennya, ia tak akan mudah untuk dikalahkan.

Kedua, Pak Tenglie semacam menyindir peserta begini: ada perbedaan yang mendasar bagi mereka yang serius benar-benar ingin melestarikan alam dengan mereka yang hanya ikut sekedar untuk seremonial. Yang kedua itu bagaikan bola yang besar gaungnya tapi keropos di dalamnya. Jlebnya tuh di sini, di hati. Ada yang saya suka dari Pak Tenglie ini, selain humble dia tipe pemimpin yang membangun orang lain itu dari dalam orang itu sendiri. Dan yang paling saya suka: dia mencintai seni, alam, dan keindahan. Ingat bapak saya: pemimpin yang tahu seni dan tidak itu bedanya sangat jauh. Nilailah dari tata kotanya.

Setelah upacara, kami menanam pohon di sekitar kantor bupati. Saya sama Dinda, Fitri dan Bolin kompak banget nanam pohonnya. Apalagi Dinda yang penyayang banget sama tumbuhan, sampai-sampai air minumnya dipakai buat nyiram. Di depan kantor itu juga ada monumen patung pahlawan nasional asli Kasongan, Tjilik Riwut. Dia pernah menjabat sebagai gubernur Kalimantan Tengah, tokoh nasional yang dekat juga dengan Bung Karno. Saya mendekati patung itu dan menyapa beliau, saya yakin dia tahu. Beliau ini juga seorang penulis buku dan seorang pecinta alam yang ulung, kata Wikipedia: 

Tjilik Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai "orang hutan" karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik perahu dan rakit.

Penanaman pohon kami lakukan kembali di Kebun Raya Katingan. Jujur, menurut saya kebunnya masih gersang. Kata Pak Tenglie rencananya, master plan  taman nasional ini akan dibuat kayak Kebun Raya Bogor, sebagai tempat budidaya berbagai macam tanaman dan tempat penelitian. Perlu usaha lebih keras saya kira.
Yang jadi kagak nyambung ini kan agendanya nanam pohon, tapi kami malah disuguhi dangdutan. Jadinya ada semacam ketimpangan, ada yang nanam, ada yang sekedar menonton dan joget-joget. Rasanya tidak maksimal dan begitu dimanjakan—kok saya yang sewot ya? Pohon yang dihadirkan untuk ditanam pun sedikit, tak sebanding dengan jumlah peserta, atau hanya sekedar simbolisasi? Entah. Yang saya takutkan ramalan kedua dari amanat Pak Tenglie tadi pagi terjadi. Padahal ‘kebun raya’ ini perlu mendapatkan perhatian serius.
alam apa perlu goyang dumang?
nanam-nanam
Di kebun ini juga saya ingin berterima kasih pada Hendra. Anak pers Universitas Bengkulu yang memberi saya kursus singkat tentang kamera yang entah SLR atau DSLR ini. Dia sepertinya paham kalau saya tjah ndeso iki tidak paham cara memakai kamera milik ARENA itu. Dia jelasin dari A-Dep, M, AV, TV, Auto, Potrait, landscape, cara ngatur ISO, speed, dll. Guru memang bisa datang dari arah yang tak kau sangka-sangka. Thanks Hendra!

Perjalanan berlanjut ke Bukit Batu. Apa yang ada di otakmu ketika mendengar Bukit Batu? Yah, yang pasti isinya batu, haha. Jangan salah, tempat ini sebenarnya adalah tempat balampah (semedi). Objek wisata spiritual yang dulu dipakai Tjilik Riwut untuk bertapa. 
Pasah Patahu, rumah roh

Saya punya tiga asumsi mengenai mitos dan sedikit logika tentang Bukit Batu ini:

#Pertama, legenda Burut Ules. Kisahnya mirip dengan legenda Jaka Tarub di Jawa. Singkatnya, ada pria desa bernama Burut yang melihat bidadari-bidadari dari langit mandi di telaga. Burut jatuh cinta pada bidadari paling bungsu dan mencuri pakaiannya—karena tanpa pakaian bidadari itu tak bisa terbang. Lalu mereka menikah dan punya seorang anak lelaki. Nah, ini yang menarik, konflik perselingkuhan. Jadi saudara laki-laki dari bidadari itu datang ke keluarga kecil ini, hidup menumpang. Lama-lama bidadara nan mamut menteng (gagah perkasa) tak tahu diri sering berduaan dengan bidadari bungsu.

Si Burut cemburu dan membunuh bidadara. Istrinya tahu dan memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya—setelah menemukan pakaiannya. Istrinya bilang anak lelaki mereka ketika dewasa akan hidup di alam ayahnya. Nah, suatu hari perkataan si bidadari ditepati. datang halilintar dari langit dan menurunkan batu-batu yang sekarang menjadi bukit batu. Konon di bukit batu itulah anak Burut diturunkan.

Telaga Bawin Kaleloh
Mungkin di tempat ini bidadari mandi
#Kedua, kisah orang tuanya Tjilik Riwut, Pak Riwut Dahiang yang ingin sekali punya anak laki-laki tapi tak pernah sampai besar, karena sering meninggal ketika balita. Lalu Dahiang melakukan pertapaan di Batu Keramat itu, berdoa kepada Hatalla (Tuhan). Doanya terkabul dan lahirlah si Tjilik ini. Anak yang nantinya akan mengemban tugas yang besar untuk negara. Bagi Tjilik tempat ini jadi tempat nongkrongnya untuk semedi. Begitu dekatnya sampai-sampai ketika Pak Riwut Dahiang dipanggil rohnya oleh Hattala, Bukit Batu memberi Tjilik isyarat dalam mimpi.
Batu Banama
#Ketiga, dari sudut pandang sains. Ini hasil obrolan singkatku sama anak Teknik Pertambangan, namanya Adek. Asumsinya gini: ini batu hasil dari erupsi gunung yang dimuntahkan. Anehnya di kawasan ini tak ada gunung. Jika pun asumsi ini benar, maka tidak jauh dari Bukit Batu ini harusnya ada sungai, tapi tidak ada. Trus? Kami mencoba menyambung-nyabungan dengan teori lempeng tektonik. Siapa tahu batu-batu ini hasil dari pergerakan konvergen, divergen, atau transform bumi?  Harusnya di sini ada semacam penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Guna menjawab pertanyaan, darimana asal batu-batu ini? (dan saya berharap ini pada si Adek—atau sambil nunjuk muka sendiri).
sama Adek
Di sini itu yang saya bingungkan juga batu-batu di sini kan banyak nama-namanya ya, dan per batu ada tuahnya sendiri. Itu ceritanya gimana ya?
dekat Batu Penyang
Batu Keramat
Batu Sial
Batu Dewa
Batu Darung Bawan
Batu Kamiak
Ya, setelah puas menikmati Bukit Batu, menjelang sore kami kembali ke rujab. Agendanya pembagian kelompok pendakian ke Bukit Raya.

IS – Bukit Batu Kasongan (Katingan), Agustus 9, Minggu 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar