Senin, 02 Juni 2014

Membaca Pentas “Labirin Retakan Bayang-bayangmu” Teater Eska (II)

Sedikit kecewa karena saya merasa tertipu kalau pentas kedua ini adalah lanjutan dari yang sabtu kemarin, ternyata kisahnya masih sama (hanya diulang) dan ini murni karena ketidaktahuan saya. Malam itu di depan gelanggang banyak anak sanggar (nuun) yang nonton bareng. Kemarin cuma beberapa aja yang saya lihat, hari ini anak satu kontrakan hadir, saya jadi bersemangat menonton lagi.

Kami duduk di bagian belakang. Samping kiri, kanan, belakang anak sanggar semua. Sampingku ada Mila dan Richa. Setelah menunggu  Kang Amin dengan wajah yang lebih cerah dari yang kemarin datang membuka acara. Ibaratnya menonton ulang ‘film’ lagi, saya lebih paham, lebih bisa merasakan, sekaligus lebih detail memperhatikan. Pemetaan yang saya tulis di tulisan kemarin pun bisa saya revisi (karena itu bersumber dari ingatan saja—saya sadar masih banyak yang keloncat-loncat).

Baiklah, karena kisahnya tak jauh berbeda dari yang kemarin, saya ingin mengulas perbedaan antara pentas 1 dan pentas 2 dari kacamata saya pribadi. 

Perbedaan yang paling terasa, pentas 2 saya rasakan lebih cepat daripada pentas 1. Lalu, setting lempar botol/kaleng hanya dari sisi sayap saja, yang dari atas tidak ada, nglemparnya pun tak seelok yang kemarin. Kalau kemarin rata, malam ini lebih timpang ke panggung sebelah kiri. Terakhir, kalau kemarin yang masuk kurungan pas ending adalah sang kakek, namun di pentas 2 ini yang masuk kurungan adalah aktor pencari Tuhan yang berpakaian merah. Ada yang lain-lain juga, sampai yang kecil-kecil, tapi lebih ke teknis aja sih.

Pentas 2 ini saya merasa intrepretasi saya lebih baik daripada yang kemarin. Di pembukaan saya jadi paham, oh, kakek ini mungkin adalah orang tua yang memberi pesan dan bertanya kepada cucu-cucunya tentang Tuhan. Zaman yang dilalui kakek tentu berbeda dengan zaman sekarang yang dijalani cucu-cucunya (aktor wanita satu, wanita dua, lelaki satu, lelaki dua yang membawa payung dan carrier (tas gunung) yang besar. Lalu empat cucunya ini melakukan perjalanan. Disana sejarah ketuhanan peradaban seolah diungkap, dari kepercayaan Tuhan a la dinamisme/animisme (yang diadegankan oleh para tokoh primitif). Lalu ke kerajaan, hingga akhirnya di zaman modern ini apa yang diebut sebagai “Tuhan” terus dicari. Tentu dalam pencarian ini ke-empat cucu kakek memiliki kisahnya yang berbeda-beda, dengan aktor-aktor latar sebagai simbol penjelasnya. Kritik, ironi, kegelisahan, pertanyaan dihadirkan dalam setiap latar, aktivitas, dan monolog-monolog tokoh.

Entah ide darimana, saya jadi curiga jangan-jangan ke-empat tokoh pencari tadi adalah satu orang? Lalu mereka terbagi menjadi bayangan-bayangan terpisah dan terjebak dalam labirin-labirin mereka sendiri? Itu saya baca di bagian mau ending, saat ada aktor tinggi pakaiannya kayak preman yang dia mewakili kaum antagonis. Lalu ia bercakap dengan salah satu tokoh pencari Tuhan yang berpakaian hitam dan berdialektika berdua, seolah yang satu adalah malaikat baik, yang satu adalah syaiton. Lalu tokoh wanita dua datang. Mereka bertiga main cilup baa bersama. Namun saat “Baa” nya tak terbalas, wanita dua dan lelaki berpakaian hitam gelisah dan bingung. Lalu aktor yang mewakili dunia hitam pun berkata kira-kira, “Ternyata kalian takut kehilangan saya, haha” – silahkan intrepretasi sendiri. Diakhiri dengan aktor pencari Tuhan yang berpakaian merah, dikurung dalam kurungan.

Berkutnya saya ingin membahas tentang evaluasi yang dilaksanakan usai pementasan. Banyak tokoh-tokoh teater yang memberikan komentar.

Dari Shohifur Ridho Illahi sendiri selaku salah satu tim kreatif dan penulis naskah. Cerita ini berawal dari bukunya Karen Armstrong. Sumber primer adalah buku Karen yang berjudul Sejarah Tuhan.

Lalu Pak Munir dari Sanggar Nuun mengawali komentar saat melihat pentas ini seperti kembali kuliah sosiologi agama 2 SKS.  Pak Munir bertanya, sebenarnya ini itu kerinduan atau kesangsian (akan Tuhan)? Mas Ridho menjelaskan ketika manusia bertemu dengan fenomena alam, ia akan sangsi dan bertanya, ini siapa yang membuat (alam semesta)? Pasti ada yang menciptakan itu.

Ada juga yang berkomentar jika manusia itu berteater. Tuhan sendiri Maha Teater. Berbicara tentang teater kampus itu tidak lepas dari dua hal; teater wacana dan teater eksperimental. Persoalannya adalah saat teater sudah terbentuk, sistem terjadinya bagaimana? Bapak kritikus yang duduk di sebelah kang Amin ini mengkritik tentang “kedodolan/kedodoran” yang terjadi sepanjang pementasan. Seperti, kenapa pakaian yang dikenakan ala mahasiswa semua? Kenapa tasnya juga sama semua? Apa yang mencari Tuhan itu cuma mahasiswa? Kenapa tidak mewakili keseragaman masyarakat. Pencuri, pelacur, petani, politisi itu juga mencari lho. Ia juga menilai jika dibagian awal belum mewakili, lebih bisa menikmati yang terakhir, karena lebih simbolis dan sunyi. Ia menyarankan untuk kembali ke proses dan mencari simbol atau idiom yang lebih pas. Ada kata-kata menarik dari bapak ini, “Kerinduan teater diikuti dengan kebersihan teater. Teater akan selalu ada di diri Anda.”

Lalu komentar dari, ekhm, Mas Rendra Narendra (aktor, penulis naskah, sutradara, sekaligus dosen ISI Jogja), dia bilang kesan pertama yang didapatkan ‘manis’. Dalam tanggapan dia warna dan setting manis dilihat. Kedua, konten pertunjukkan ini padat, poetika tinggi tetapi hubungan dari satu ke lainnya kedodoran sekali. Ia bertanya (mungkin juga menantang teater eska) bagaimana mendialogkan pada penonton dan diri sendiri agar lakon itu menjadi milik dan tidak bias? Ketiga, mas Rendra melihat aktor yang membahasakan itu punya jarak. And the last statement from him is, “Teater adalah perayaan atas gagasan”.

Kemudian, aneka komentar itu ditanggapi oleh sang tukang lem (supervisor) teater eska. Ia berujar, ketika konsepnya tidak memakai sutradara, kok jadi kangen ya? Namun saat ia datang kok yang dirindukan tak seindah ketika dirindukan? Lalu, kenapa propertinya sedikit? agar kedodoran itu sempit. Masalahnya kedodoran yang terjadi itu apakah kedodoran teknis? Atau malah kedodoran konseptual? Jika masalahnya masih berkutat pada teknis, mungkin latihan harus ditambah 6 bulan lagi dan itu tidak menjamin menjadi sempurna. Hal teknis dijadikan alasan, alibi, dll padahal tiap orang berbeda, ia punya mood dan pikiran. Kritik tulisan saya yang kemarin saya sadari juga masih berkutat di teknis. Jujur, saya masih dodol mengartikan teater surealis. Yang menjadi kritik saya, meski teknis itu mungkin kedua, hal teknis juga akan tetap menjadi nyawa. Teater bukannya selain rasa kita juga diajari teriak, diajari blocking, dan sohib-sohibnya itu? Catatannya ya itu, "Jangan dijadikan alasan atau alibi".

Di luar konseptual baginya hanyalah masalah jam terbang. Kedodoran di wilayah konspetual lebih diidentifikasi lagi. Seperti kasus yang dikatakan bapak di samping kang Amin, “Kenapa tasnya mahasiswa semua? Tas anak Mapalaska semua?” Ini pertunjukannya yang kedodoran atau kitanya yang isi kepalanya salah?

Diakhiri dengan pertanyaan, “Kenapa teater Eska kok selalu menampilkan pementasan yang surealis?”. Dijawab, karena menghindari wacana yang berbau syariah. Realis disandung kritik syariah.
Labirin (Sumber: Teater Eska)
Akhirnya, ada hubungan yang lebih besar yang dibawa teater, yaitu hubungan sosial pun kebersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar