Satu serial dan satu film dokumenter Netflix ini punya benang merah yang sama: membicarakan perempuan dan stigmatisasi yang dihadapinya...
Gadis Kretek (2023)
Dari banyak segi apa pun, film ini kurasa perlu mendapatkan tepuk tangan. Saking bagusnya, saya langsung memesan di Shopee dan membaca langsung buku karya dari Ratih Kumala yang juga istri Eka Kurniawan itu. Membandingkan keduanya, aku merasa filmnya lebih hidup, lebih fokus, lebih padat, dan mampu menggambarkan nyawa asli melebihi apa yang ditulis oleh Ratih Kumala. Novel dan serial film tentu saja berbeda, dan itu hal yang tak perlu disalahkan. Secara kesan, aku tak bosen nonton film ini dari awal sampai akhir, sementara ketika baca novelnya, tiga hari udah selesai di tengah kesibukan.
Serial ini terdiri dari 5 episode. Tiap episode-nya sebagaimana khas-khas film serial Korea, membuatmu terus ingin menontonnya--dan harus kukatakan secara alur Gadis Kretek lebih bermutu daripada serial Korea yang pernah kutonton. Bercerita bagaimana Dasiyah atau Jeng Yah ingin menjadi seorang peracik saus rokok, di mana profesi dan privilege ini hanya didominasi oleh laki-laki. Lalu dengan bantuan Raya (Ario Bayu) yang juga cinta pertama Jeng Yah, mimpi itu berhasil diwujudkan.
Kisah asmara berlatar sejarah tahun 65 ini kemudian berlanjut dengan ending yang boleh dibilang tak begitu menyenangkan. Bahkan kau akan iklas untuk memaki beberapa tokoh utamanya sebagai orang yang pria bajingan, Raya (red). Dia menurutku tipe orang yang tak tahu diri, oportunistik, dan seperti itulah kebanyakan karakter orang kalau diamat-amati. Lalu dia dihukum karena karmanya sendiri.
Yang aku salut dari film ini adalah bagaimana Ratih Kumala bisa menghidupkan arsip yang mati di Museum Kretek di Kudus menjadi suatu tayangan yang hidup. Ini beneran membutuhkan kerja keras dan ketelitian yang tidak sedikit. Banyak sekali museum-museum di Indonesia, jika arsipnya dihidupkan seperti halnya yang dilakukan Ratih pasti akan menarik. Tak heran dengan prestasi tersebut, Gadis Kretek jadi serial dari Indonesia pertama yang bisa nangkring sepuluh besar di Netflix internasional.
Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso (2023)
Film ini salah satu cabang film biografi yang berani dan mencuri perhatian publik saat peluncurannya. Ini sebagaimana kisah dari kasus kopi sianida Jessica Wongso yang heboh kala itu. Film ini digarap dengan teknik jurnalisme investigasi yang baik dan tentu, berani. Setelah nonton film ini, aku jadi mencari tahu lebih lanjut terkait kisah Jessica Wongso, segelintir kisah pribadinya di sosial media, dan bagaimana perjuangannya yang seolah menjadi "kambing hitam" permainan para werewolf. Kisahnya memang sudah tujuh tahun lalu, tapi aktualisasinya diangkat kembali.
Aku sampai bayangin jadi Jessica, dia perempuan, mengidap depresi, dan publik menyalahkannya dengan berbagai tuduhan yang tak masuk akal. Dia mungkin punya privilege sebagai orang berpunya dan berpendidikan, namun privilge lain yang lebih tinggi dari dia memakannya. Wajah Jessica yang mengingatkanku dengan wajah temanku yang lain, yang bernama Tamara, juga membuatku merasa jika sosok-sosok yang jadi kambing itu perlu dibela. Bagaimana para tokoh didatangkan ke pengadilan, membeberkan analisis sesuai bidangnya masing-masing, bagaimana pihak kejaksaan yang harusnya jadi katalisator berjalan, serta berbagai bukti-bukti yang dimentahkan dengan bukti-bukti lain. Keluar-masuknya narasi ini menjadi investigasi yang susah untuk dicerna.
Jika ada kategori serial drama yang bener-bener drama, barangkali ini film puncaknya drama di Indonesia di dekade dia. Catatan harian milik Jessica kupikir juga bisa menjadi pengakuan yang cukup autentik dari mood dia yang sering berubah-ubah. Sutradara Rob Sixsmith bersama produsernya Jessica Lee Chu En ini jadi counter budaya yang cukup sukses dalam membentuk persepsi publik pasca-kasus. Bahkan, keluarga dekat korban, Mirna Salihin, seperti ayah Mirna, bisa dicurigai sebagai dalang dari pembunuhan anaknya sendiri. Sebab dari omongan-omongan liar, ayah Mirna membunuh anaknya karena Mirna punya asuransi senilai miliaran. Tentu bola es asumsi-asumsi itu bisa dikembangkan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar