Minggu, 14 Mei 2023

Pentingnya Menyortir Buku Bacaan

Saya harusnya paham dan pernah janji untuk gabeli buku lagi, karena masih banyak yang belum dibaca. Ini rak kecil mesti dempet2an sampai dua shift per storage. Tapi saya gapernah bisa buat nahan godaan untuk gabeli buku. Jakarta tak kalah impulsifnya dengan Jogja soal dunia perbukuan: berlimpah, mudah, murah. Alasan lain: (1) kalau pindah susah bawanya, (2) kalau pulang mayan mahal kurirnya dan di rumah gak ada tempat yang proper buat nyimpen buku, (3) jika kehabisan ide, biasanya buku akan kusumbangkan. Itu kenapa doa saya selalu, "Tuhan aku pengen punya tempat permanen sendiri untuk nyimpen buku-bukuku."

Masalah fundamental lainnya adalah soal pemilihan buku yang dibaca. Di umur segini, saya rasanya masih terkesan sangat generalis. Tema buku merentang dari filsafat, sastra, sosiologi, antropologi, biografi, finance, sampai motivasi. Mungkin karena ini jadi malas baca karena terlalu rakus pengen nguasai semua. Semalam baca tulisan blog basa Inggris guru saya tentang kehidupannya dulu dan isi perpustakaan kecilnya. Koleksi buku dia kalau saya golongkan cuma dua hal, dua hal yang sangat membuatnya antusias hidup, salah satunya adalah buku bahasa Inggris. Semua terkait bahasa Inggris, dari kamus, grammar, idiom, vocabularies, dan teman-temannya. Kedua adalah buku tentang dinosaurus.

Setelah itu saya berpikir, mensortir buku itu penting, tapi yang tak kalah penting adalah mensortir bacaan. Membaca banyak buku atau tulisan tak serta merta membuat orang cerdas, tapi gimana bisa membangun epistemologi keilmuan diri sendiri itu yang utama. Itu yang menjadikan ilmu seseorang lebih unik dari yang lainnya. Epistemologi ini urusannya akan panjang karena melibatkan kemampuan mensintesiskan dan memfalsifikasi bacaan menjadi temuan atau perspektif yang lebih berstruktur dan terdesain. Jadi yang dibaca gak ilang begitu aja seperti tumpukan pasir di laut, tak menjadi rumah yang teduh, ya, setidaknya untuk ditinggali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar