Minggu, 01 Agustus 2021

My Neighbor Totoro (1988): Visi Kesederhanaan yang Kuat

Ini tontonan keluarga kelas wahid yang sepatutnya ditonton. Kisah keluarga yang begitu manis, ayah yang begitu baik, ibu yang begitu kuat, dan anak-anak yang begitu lucu-lucu. Aku suka film ini. Mereka bagiku adalah prototipe keluarga yang ideal, tak lebai, dan tak terlalu mengglorifikasi keluarga tapi justru rasa kekeluargaannya lebih sampai, beda memang kalau kamu nonton film Indonesia NKCTHI misal. Dinamika kakak-adik antara Satsuki dan Mei inilah yang menjadi benang merah cerita.

Tokoh Sastuki (10th), kakak yang bertanggungjawab dengan adiknya Mei (4th), adik yang sangat aktif, kreatif, dan suka mengeksplorasi lingkungannya; mereka berdua tokoh-tokoh yang begitu mudah untuk disukai. Apalagi kalau keduanya berteriak, lucu, haha. Setelah kepindahan di rumah hantu, haha, ya, bisa dibilang begitu, di sebuah perdesaan di Jepang, ngingetin aku sama sawah-sawah di Magelang, wkwk. Membuat matamu segar.

Mei suatu hari tersesat di pondoknya Totoro, aku gak tahu ini makhluk atau hantu jenis apa, yang jelas dia serupa boneka besar berbulu banyak yang peluk-able. Hei, bukankah di Jepang ada pulau khusus yang dinamakan pulau hantu ya? Di mana banyak legenda hantu di kota itu, hmmm. Totoro ini memang ikonik sih, dia itu wajahnya serupa kucing, tapi posturnya serupa panda bertangan dan berkaki pendek, dengan warna abu-abu campuran krem. Makanan Totoro sepertinya biji-bijian, macam biji pohon oak. Saat malam Totoro membunyikan sulingnya di atas pohon.

Aku suka dengan imajinasi di film ini. Imajinatif yang gak imajinatif-imajinatif banget. Bagaimana sosok Totoro sendiri, bagaimana Mei tersesat seperti tersesatnya Alice di Wonderland, lalu dengan bus kucing super-lutju dan imut itu, dengan tumbuhnya pohon begitu cepat. Dan tak mengabaikan kebudayaan lokal seperti memberi hormat pada hutan, pada pohon, pada patung-patung.

Juga rasa cinta yang indah dan tulus antara kakak ke adik, antara ayah ke anak, antara anak ke orangtua ibu/bapak, antara anak ke tetangga, antara anak ke guru dan teman kelas. Kisah-kisah itu membuatku merinding, rasa-rasanya sangat manusiawi. Lihatlah bagaimana ketika Sastuki dan Mei menjemput ayahnya yang seorang arkeolog pulang dari laboratoriumnya; bagaimana si anak kecil laki-laki meminjami Sastuki payung dengan malu-malu; bagaimana seorang guru menerima Mei ikut ke dalam kelas Satsuki dan teman-teman di kelas itu menyambut dengan baik; bagaimana nenek dan tetangga saling membantu kala salah satu dari mereka hilang; bagaimana kegigihan Satsuki sebagai kakak mencari Mei yang hilang; bagaimana Mei dengan perasaan murninya ingin memberikan sepotong jagung bagi ibunya yang sakit di rumah sakit...Masterpiece-nya Studio Ghibli memang :)

Dan di balik film ini ternyata terinspirasi dari kisah kreatornya, Hayao Miyazaki. Dia memiliki ibu yang sakit di rumah sakit, sebagaimana ibu Mei dan Satsuki. Dan kau juga dengar bagaimana musiknya kan, bagaimana film ini bisa mengalih mediakan suara alam ke suara film. 

Di My Neighbor Totoro aku rasanya benar-benar belajar banyak. Bahwa membantu orang lain itu gak serumit itu lho, bahwa perjuangan dan perhatian itu bisa dilakukan dari hal yang sederhana dan keseharian. Semisal ketika Mei dan Satsuki menjemput ayah pas hujan di halte. Atau ketika sang ayah mengajak Mei dan Satsuki bersepeda. Di film ini juga tidak ada penjahat sebagaimana kau menemukan berbagai tokoh antagonis lainnya di banyak film. Semua manusia di film ini diceritakan dan dikarakterkan dengan wajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar