Rabu, 04 Februari 2015

Udara Pucat yang Merebut

kabut yang menghubungkan kita melalui relevansi pasang-surut
di arena itu. dan gagu yang begitu menggeliat.
di sesak rasa ini yang tak kunjung gugur.
lalu dirimu duduk dengan jarak dua jengkal dariku.
membawa dongeng yang menari-nari di otakku.
sunyiku, sunyimu, kuasah dari jari-jari yang hendak bicara.
sampai kamu masuk ke dalam.
sambil kueja lagi derit kepergianmu yang menjadi mendung.
meski itu dekat.

hatiku berubah jadi ranting kayu.
tenggelam dari dahan-dahan ritual kita.
kubiarkan udara pucat merebutku.
namun masih tak bisa menjamahmu.

dan hanya menyisakan dongeng bayang-bayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar