I. Pembukaan dan Tema Bahasan
Malam Jumat Kliwon kali ini, edisi 31 Juli 2025, Klenik Studies mengangkat tema “Demonologi: Iblis dalam Kebudayaan Islam”. Hadir dalam diskusi: K.A. Sulkhan, Mi’rajul Akbar, Nurul Diva Kautsar, Jevi Adhi Nugraha, dan Isma Swastiningrum. Diskusi berlangsung intens dan filosofis, menggabungkan pendekatan teologis, budaya populer, semiotika, hingga kritik ideologi. Demonologi tidak hanya dibahas sebagai entitas gaib, tetapi sebagai simbol, konstruksi budaya, dan instrumen kekuasaan.
Sebagai pembuka, Sulkhan membagikan pengalaman akademiknya juga amatannya mengikuti pameran seni berbasis riset di NTU, Singapura. Ia menyebut sebuah proyek memory studies dalam bentuk seni instalasi, yang menghadirkan ulang pengalaman sensorik masa lalu: buah-buahan, pasir lembut, dan nostalgia kolektif tentang ruang yang hilang. Di sini, wisata kenangan jadi mirip praktik dark tourism. Ia juga menggarisbawahi metode riset berjalan kaki (walking methods) sebagai pendekatan etnografis berbasis pengalaman langsung. Dalam hal ini, ziarah kubur (yang dilakukan Isma) bisa menjadi bentuk riset berjalan yang mencatat relasi fisik, ingatan, dan ruang.
Sulkhan juga mengungkapkan kitik terhadap stagnasi riset di ilmu komunikasi Indonesia. Serta konsep solastalgia: perasaan kehilangan tempat meski secara fisik masih tinggal di sana. Contoh: fenomena di Sayung, Demak. Di mana kota itu perlahan hilang, tapi ingatan akan kota itu bisa dituliskan.
II. Demonologi: Antara Islam, Budaya Pop, dan Filsafat Kekuasaan
Mi’rajul Akbar membuka diskusi pokok dengan mengakui bahwa literatur demonologi lebih banyak berakar dari konteks Yahudi-Kristiani. Dalam Islam, “iblis” sering kali diidentifikasi sebagai bagian dari jin, sementara dalam tradisi Kristen, setan dipahami sebagai malaikat yang jatuh. Ia merujuk Surah Al-Kahfi: 50 (Dalam Tafsir Wajiz terkait ayat Al-kahfi ini, “Demikianlah Iblis telah menjadi musuh manusia sejak dahulu...”) sebagai titik awal, tapi melihat bahwa rujukan Islam terhadap demonologi tidak seterstruktur seperti dalam Kristen atau Yahudi.
Isma menyoroti perbedaan antara Islam dan Kristen soal asal usul iblis. Dalam Islam, jin bisa baik atau jahat, hidup sebagaimana manusia: makan, menikah, bekerja. Dalam kekristenan, setan berasal dari malaikat, makhluk roh yang tidak mengalami kehidupan duniawi. Di situ juga muncul konsep bahwa orang Kristen "sudah menang" dan tak bisa dirasuki setan, karena telah menjadi milik Kristus. Perbedaan ini menunjukkan posisi manusia yang berbeda terhadap "kejahatan" dalam tiap sistem kepercayaan.
Isma juga memaparkan bagaimana demonologi merambah ke budaya populer seperti tarot, zodiak, dan band underground. Kenapa sih Aries mesti Kambing bertanduk, Pisces ikan, Cancer yuyu. Zodiak Barat, zodiak Tionghoa (China). Simbol zodiak yang berupa hewan-hewan, terutama dalam astrologi Barat, berasal dari rasi bintang yang terlihat seperti bentuk hewan-hewan tertentu oleh orang zaman dahulu. Atau juga band-band undeground.
Nurul menambahkan bahwa dalam budaya populer, demonologi muncul dalam bentuk simbol-simbol astrologi dan musik metal (black metal). Ia menyebut band Tiamat, Marduk, Watain, Bathory, dan praktik simbolis mereka di atas panggung—dari vokalisnya yang meminum darah hingga pembakaran kitab—sebagai bentuk ekspresi kekuatan yang melawan institusi.
Salah satu genre black metal, Báthory, diambil salah satu tokoh perempuan Elizabeth Báthory. Awalnya dia perempuan kerajaan baik-baik, dia ikut sekte untuk melawan otoritas kerajaan. Yang merasa agak bebas, punya sisi jahat yang ingin keluar. Dia membikin kegiatan itu, dia punya kemampuan. Ikut sekte, dia ingin mengubah kebijakan kerajaan. Dia punya istilahnya hasrat memuaskan diri, termasuk ambisi cantik dan Panjang umur. Dia bikin kongsi, sampai kerajaan mencari darah perempuan, bayi-bayi untuk memperpanjang umurnya. Untuk menguasai gereja-gereja yang menurut dia tak kuat. Artinya, demonologi juga dekat sama Nietzsche, yang menyebut klenik/iblis sebagai hal yang tak sirat, bukan sosok tapi sifat yang membebaskan, ingin berkuasa. Artinya, kejahatan-kejahatan ini demonologi. Ada upaya-upaya hal ini dirawat oleh band Black Metal yang tergusur oleh agama Kristen.
III. Iblis Sebagai Metafora dan Entitas Semiotik
Sulkhan memperkenalkan buku "Pandemonium: A Visual History of Demonology" karya Ed Simon (2022), yang melihat iblis bukan sebagai entitas empiris, melainkan sebagai metafora. Iblis hadir sebagai tanda, bukan makhluk. Ia eksis dalam bahasa, sastra, mitos, sebagai bentuk estetika yang memetakan kejahatan. Akbar mengaitkan hal ini dengan tulisan Erich Fromm, yang membaca kisah Adam-Hawa bukan sebagai dosa, tapi sebagai momen kesadaran dan kebebasan manusia. Godaan iblis menjadi simbol pembangkangan terhadap otoritas.
Nama-nama iblis, menurut Akbar, tak melulu bermakna jahat. Dalam tradisi Mesopotamia, Tiamat adalah dewa. Dari sini muncul gagasan bahwa demonologi adalah produk sinkretisme budaya. Nama-nama iblis sering diambil dari kepercayaan yang sebelumnya dominan dan kemudian dipinggirkan oleh agama besar yang naik ke panggung sejarah.
IV. Okultisme, Kekebalan, dan Jimat
Sulkhan mengangkat bagaimana demonologi dalam konteks Islam sering hadir dalam bentuk jimat, doa-doa, dan mantra kejawen. Kitab Samsul Ma’arif sering dijadikan rujukan dalam praktik ini, dianggap sebagai ilmu putih, karena niatnya ditujukan pada Allah, bukan jin secara langsung. Namun, perdebatan muncul ketika pendekatan tersebut dikaitkan dengan jalur-jalur kanuragan, ilmu kebal, atau rawa rontek. Ilmu ini dianggap “non-Islam” karena mengandalkan kekuatan jin, bukan doa kepada Tuhan.
Akbar menambahkan, walaupun praktik itu tampak seperti kekuatan jahat, banyak pelakunya merasa mereka sedang mendekatkan diri pada Allah. Perkara jin hanyalah perantara. Diskusi ini menjadi pengantar ke tema besar: bahwa iblis dan kekuatan jahat sering kali bukan soal niat, tapi soal otoritas, siapa yang menilai, dari sudut pandang mana.
V. Demonologi dan Kekuasaan: Perburuan Penyihir dan Narasi Dominan
Isma menyebut buku Silvia Federici “Perempuan dan Perburuan Penyihir” (lebih lanjut merujuk pada: Caliban and the Witch) dan bagaimana perempuan diberi label penyihir saat mereka dianggap mengganggu struktur kekuasaan. Akbar menyambung dengan sejarah Malleus Maleficarum (Hammer of Witches), buku ini ditulis pada tahun 1486 oleh dua biarawan Dominikan, Johann Sprenger dan Heinrich Kraemer. Buku abad ke-15 yang menjadi panduan resmi gereja untuk memburu penyihir. Penyihir, iblis, dan segala yang “liar” menjadi kategori yang harus dikontrol atau disingkirkan demi ketertiban hegemonik.
Diskusi bergeser ke soal demonologi sebagai ilmu yang pinggir jurang—mendekati gelap, tak resmi, tetapi punya daya gugah dan subversif.
Jevi memberi contoh lokal dari Gunungkidul: isu “pulung gantung” sering kali dipakai untuk menutupi masalah struktural seperti kemiskinan dan keterbatasan layanan kesehatan jiwa. Dalam banyak kasus, “iblis” adalah cara masyarakat menjelaskan penderitaan, bukan penyebab sejatinya, tapi simbol atas sesuatu yang tak tertangkap oleh sistem.
Sulkhan mengakui bahwa iblis sering menjadi alibi personal. Dulu, waktu remaja, ia pernah hampir menampar temannya. Tapi cukup berkata “aku dibisiki iblis”.
VI. Iblis Sebagai Bagian Ekosistem Spiritual
Akbar dan Jevi mengangkat tema penting: bahwa iblis bukan hanya musuh, tapi bagian dari sistem spiritual manusia. Dalam banyak kisah babat alas, jin dan iblis adalah makhluk pertama yang tinggal di suatu wilayah—baru kemudian diusir manusia. Mereka bukan antagonis, tetapi “penjaga awal”.
Di Gunungkidul, Jevi bercerita, pohon-pohon besar dijaga oleh “simbah” (semacam sosok penunggu). Anak-anak diajarkan menghormati, bukan menakuti. Iblis dalam konteks ini menjadi sosok ekologis, penjaga alam, bukan musuhnya.
Sulkhan menyimpulkan, dalam banyak kasus, yang berkhianat bukan iblis, melainkan manusia. Dalam mitos-mitos lokal, manusia yang masuk tanpa dialog, membangun tanpa memahami.
VII. Transaksi, Pesugihan, dan Amalan
Nurul menyoal sisi transaksional dalam amalan-amalan spiritual. Apakah wirid ribuan kali demi jabatan termasuk bentuk “pesugihan yang sah”? Apakah amalan yang mengharap balasan duniawi sudah melawan takdir?
Akbar menjawab: praktik transaksional muncul di semua budaya. Bahkan dalam sastra Inggris, karakter Faust (yang membuat perjanjian dengan iblis) adalah simbol klasik dari ambisi dan negosiasi spiritual.
IX. Iblis Sebagai Ideologi dan Metafor Kuasa
Nurul mengaitkan pembahasan dengan Nietzsche dan Socrates. Iblis, dalam beberapa bacaan, bukan sosok tapi ideologi. Demonologi sebagai ideologi, bukan hanya metafisika. Sebuah posisi yang melawan kekuasaan mapan. Lagu “Tuhan Telah Mati” misalnya, menunjukkan bagaimana manusia zaman sekarang hidup tanpa pusat nilai absolut. Iblis, dalam hal ini, adalah simbol pembebasan dan kehendak.
Akbar menutupnya dengan pernyataan reflektif: kita bisa membuat standar moral sendiri, tidak selalu dari kitab suci. Tapi justru karena itu, iblis tetap diperlukan. Untuk menguji, untuk menggoda, dan untuk menantang.
X. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, diskusi Klenik Studies edisi ini memperlihatkan bahwa iblis tak bisa semata-mata diposisikan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari ekosistem spiritual dan sosial manusia. Dalam berbagai kebudayaan dan folklor, makhluk seperti jin dan iblis tidak selalu antagonistik; mereka kadang justru menjadi penjaga ruang-ruang hidup seperti hutan, mata air, dan pohon tua. Iblis berfungsi sebagai pengatur batas, simbol larangan, sekaligus penyeimbang. Keberadaannya, entah sebagai sesuatu yang ditolak, ditakuti, atau bahkan dinegosiasikan, adalah penanda bahwa manusia selalu hidup berdampingan dengan yang tak tampak. Dalam logika transaksional spiritual, iblis menjadi simbol sekaligus penguji. Jika iblis tak ada, manusia tak akan diuji. Maka, dalam satu sisi yang ganjil namun dalam, iblis adalah kontrol sosial.
Lebih jauh, iblis justru bisa menjadi jembatan menuju kesadaran dan ketauhidan. Seperti dalam kisah Adam yang menyadari dirinya sebagai manusia setelah melanggar larangan, godaan iblis menjadi titik balik bagi kesadaran spiritual. Iblis, dalam pandangan ini, bukan sekadar penggoda, tapi katalis, yang justru membuat manusia sadar akan kebebasannya, tanggung jawabnya, dan bahkan keberTuhanannya. Ia menegaskan kehendak bebas, memberi ruang bagi manusia untuk memilih jalan terang atau gelap. Maka iblis bisa menjadi alat refleksi, bukan sekadar kutukan.
Namun dalam sejarah sosial, demonologi juga memperlihatkan wajah gelapnya. Konsep tentang iblis kerap digunakan untuk mengkambinghitamkan mereka yang dianggap “lain” oleh tatanan dominan: perempuan yang kuat, budaya pagan yang tak tunduk, keyakinan lokal yang tak masuk dalam arus agama besar. Mereka diberi label sebagai penyihir, pemuja setan, atau biang keladi kekacauan, padahal seringkali yang mereka lakukan hanyalah bertahan hidup. Dalam hal ini, demonologi menjadi alat kuasa, bukan hanya untuk menyingkirkan, tapi juga membungkam.
Diskusi ini, dengan segala lompatan dan tumpukan referensinya, membawa kita pada satu titik renung: iblis adalah bagian dari manusia, baik secara spiritual, historis, maupun politis. Membicarakan iblis adalah membicarakan batas, godaan, kekuasaan, dan pada akhirnya: kesadaran.
XI. Epilog dan Rencana Selanjutnya
Di akhir pertemuan, muncul wacana membuat zine bertema pinggir jurang. Pertemuan berikutnya akan digelar Kamis, 4 September 2025, dengan tema: “Pesugihan, Horor, dan Ekonomi-Politik” (Contoh: Ekonomi Lidah Pocong).
***
Catatan dari Nurul Diva Kausar:
Catatan Demonologi dalam Kebudayaan Islam
Demonologi itu tentang entitas spiritual jahat, seperti iblis, jin, dan makhluk halus lainnya yang muncul dalam berbagai tradisi keagamaan dan budaya. Di Islam, demonologi identik dengan jin (jin baik dan jin jahat). Di Kristen, konsep tersebut biasanya dikaitkan dengan malaikat yang jatuh (fallen angel), yaitu makhluk serupa malaikat yang diusir dari surga dan sering dianggap roh jahat pengganggu manusia.
Dalam Islam, jin digambarkan hidup seperti manusia, mereka bisa menikah, memiliki keturunan, bahkan punya agama masing-masing. Sementara dalam Kristen, setan tidak memiliki wujud fisik dan tidak bereproduksi. Iblis dalam Islam berasal dari golongan jin, sedangkan dalam Kristen ia dianggap berasal dari malaikat yang memberontak atau Fallen Angel tadi.
Dalam kitab Syamsul Ma’arif sering dikaitkan dengan praktik jimat, asmaul husna, serta nama-nama malaikat dan jin. Dalam kitab ini, ada tingkatan-tingkatan dalam dunia spiritual yang membagi jin dan kekuatan metafisik lain dalam hierarki tertentu.
Demonologi tidak melulu tentang makhluk jahat. Dalam pendekatan kajian media dan sastra, iblis atau makhluk halus bisa dilihat sebagai metafora. Menurut pandangan seorang agnostik, hantu atau iblis bukan entitas empiris, melainkan simbol semiotik (tanda yang dibentuk dari penanda dan petanda). Ini menjadi fondasi dari apa yang disebut demonic poetic framework, yaitu pendekatan melihat iblis sebagai simbol perlawanan, kekuatan tersembunyi, atau kritik terhadap norma sosial.
Dalam perspektif Erich Fromm, kisah Adam dan Hawa diusir dari surga karena tergoda iblis bukan hanya soal dosa, melainkan momen pencerahan. Buah terlarang yang dimakan adalah simbol pengetahuan, dan kesadaran mereka akan ketelanjangan menunjukkan bahwa manusia mulai memahami eksistensinya sendiri. Iblis, dalam konteks ini, menjadi simbol pembangkangan yang penting untuk proses menjadi manusia seutuhnya.
Di budaya Jawa, demonologi menjadi bagian dari sinkretisme antara Islam dan kepercayaan lokal. Misalnya, penggunaan jimat atau mantra kejawen sering dianggap memiliki kekuatan transformasi. Di kitab Syamsul Ma’arif pun, menyatu dengan praktik-praktik lokal, termasuk dalam hal kepercayaan terhadap huruf Arab sebagai sumber kekuatan.
Banyak masyarakat menjadikan spiritual Kejawen ini sebagai bagian dari personalnya dan tergantung seberapa dalam seseorang mempercayai hal gaib tersebut. Jimat diyakini tidak berasal dari makhluk jahat, melainkan atas izin Allah, dengan jin sebagai perantara atau kekuatan huruf Arab sebagai medium energi.
Isma: demonologi tidak selalu identik dengan kejahatan, tapi juga mencakup "ilmu putih". Metafora makhluk-makhluk mitologi seperti dalam The Chronicles of Narnia menggambarkan makhluk-makhluk yang punya tatanan, sepeti kuda setengah manusia, ada makhluk air dan lain sebagainya, dengan pimpinan tertinggi seekor singa yang merupakan simbol Tuhan.
Sulkhan: demonologi di Indonesia (?) merefleksikan bahwa banyak bentuk ilmu spiritual disingkirkan atau dianggap sesat karena tidak masuk dalam arus utama Islam meskipun tujuannya sama. Sebagai contoh, mencari kekebalan tubuh, meminta kekayaan, meminta seseorang menjadi jodoh melalui Hizib, justru dianggap sah karena langsung meminta kepada Allah, sementara rawa rontek atau ilmu dari luar Islam dicap sesat meski memiliki tujuan yang serupa.
Klasifikasi iblis dalam tradisi Barat tidak bersumber langsung dari Alkitab, melainkan muncul di abad pertengahan, bersamaan dengan masa perburuan penyihir. Dalam Islam, praktik memanggil jin sering dikaitkan dengan padang pasir atau lokasi-lokasi spiritual, sedangkan di Barat lebih kepada struktur klasifikasi dan hierarki setan.
Dalam banyak kasus, iblis menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa negatif, misalnya, fenomena "pulung gantung" dianggap sebagai penyebab kemiskinan atau keputusasaan ekonomi. Namun, dalam sisi lain, iblis juga dianggap sakral karena diyakini memiliki kekuatan besar yang bisa dipakai untuk tujuan tertentu seperti pesugihan.
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar