Jumat, 01 Agustus 2025

Catatan Film Before Trilogy: Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), dan Before Midnight (2013)

Prolog

Menonton film ini ulang seperti merasakan nostalgia. Aku punya rumusan dan imajinasi lain akan jodoh masa depan yang benar-benar aku inginkan: nyambung secara komunikasi dalam hal apa pun. Trilogi film ini isinya hanya ngobrol, ngobrol lagi, dan ngobrol terus. Saking realistisnya, kita seolah tak butuh hal-hal bombastis untuk menarik penonton. Ketiganya memang layak masuk dalam film kultus yang digarap dengan nafas panjang oleh Richard Stuart Linklater secara berjenjang. Durasi antara film Before pertama ke Before ketiga adalah 18 tahun. Tak hanya menghidupi karakter dalam film, sutradara bagiku juga menghidupi aktor yang main, Ethan Hawke dan Julie Delpy. Ketiganya semacam menjadi proyek hidup sutradara, yang rilis tiap 9 tahun sekali. Sebagai penulis, aku sangat tertarik meniru metodenya dengan konteks yang lebih sesuai dengan kondisiku. Membaca blog Zerosumo, aku mendapat backstory jika film Linklater ini terinspirasi dari pengalamannya bertemu dengan Amy di Philadelphia dan menghabisan waktu seharian hanya dengan mengobrol.  

Before Sunrise (1995)

Mari kita adu pelan lagi. Tak masalah kalau hanya bisa menulis paragraf pendek, sebab aku ingin menghilangkan sifat perfeksionisku. Bagiku ini lebih ke penyakit alih-alih kelebihan. Masa muda memang dianggap indah. Namun, aku meragukannya. Masa remajaku cukup sendu dengan pengalaman-pengalaman yang aku alami saat SMP dan SMA. Aku hanya merasa hidup ketika sudah kuliah, memutuskan untuk merantau ke Jogja, dan bertemu dengan kawan-kawan yang tepat. Aku tak bisa membayangkan jika sirkel selama masa muda sebelum 30 tahun diisi oleh orang-orang yang cuma mementingkan diri sendiri, sibuk dengan materi, atau penghamba kesolekan dan ketenaran; barangkali aku akan cepat mati dan gila.

Film "Before Sunrise" dimulai dengan scene menjengkelkan di kereta api. Kadang kau menemukan ada pasangan yang tanpa malunya memutuskan untuk marah-marah di ruang publik. Beruntung jika marahnya menggunakan bahasa berbeda dari lingkungan, jika tidak? Sungguh neraka. Dalam konteks itu, pasangan berbahasa Jerman marah-marah di lingkungan orang berbahasa Inggris atau Prancis. Celine yang saat itu membaca buku sangat terganggu. Dia pindah tempat duduk di seberang Jesse yang juga sedang membaca buku, Ernest Hemingway kalau tak silap. Mereka terlibat obrolan singkat tentang masing-masing buku. Keduanya lalu memutuskan untuk pindah ke restauran dalam kereta api, makan-makan sambil ngobrol di sana.

Obrolan dalam kereta api itu cukup menyenangkan. Keduanya seolah klop dengan cara uniknya sendiri padahal baru saja berkenalan. Seolah semesta menempatkan mereka pada radar yang sama. Jesse cerita tentang nenek, keluarga, buku-buku, dan khas orang-orang suka berpikir. Aku menduga keduanya punya MBTI INFP. Sosok yang perasa, suka berpikir, dan suka spontanitas. Di film pertama, latar berfokus pada Wina, Austria--perbatasan Ceko dan Slowakia. Di Wina, keduanya sama-sama menjadi turis. Namun yang menarik, tak peduli di mana pun kakimu dipijakkan, jika kau berjalan dengan orang yang tepat, hidupmu rasanya akan cukup. Kau tak butuh apa-apa lagi.

Banyak sekali moment yang dihabiskan oleh sejoli ini, dari naik trem bersama, pergi dari satu kafe ke kafe lain, ke toko kaset, ke pamakaman, naik bianglala, hingga tiba di sebuah taman kemudian mereka bercinta. Hasil browsingan-ku, tempat-tempat yang dilalui di antaranya: Jembatan Zollamtssteg, Toko Kaset Teuchtler Schallplattenhandlung und Antiquarität (Alt & Neu Records), Prater, Spittelberg, Albertina, pemakaman Nameless (Friedhof der Namenlosen), Katedral Santo Stefanus, Gereja Maria am Gestade, Kleines Cafe, Stasiun Westbahnhof, dan jalur trem di Ringstrasse.

Mereka juga bertemu dengan banyak orang di sepanjang jalan, semisal artis teater yang akan tampil di malam hari, nenek pembaca garis tangan, dan pengamen puisi yang mendapatkan uang dari menulis sajak singkat (uniknya, kata yang dipilih juga out of the box, milkshake, such kiddos word). Tiap obrolan seperti mengarahkan penonton pada karakter asli keduanya. Hingga perpisahan mereka dan janji untuk berjumpa kembali di peron stasiun di Wina.

Before Sunset (2004)

Di bagian ini, Jesse sudah bertranformasi menjadi seorang penulis buku terkenal. Pertemuan Jesse dan Celine terjadi di toko buku legendaris, Shakespeare and Company yang terletak di tepi Sungai Seine, Prancis. Letaknya tak jauh dari Katedral Notre Dame. Di sinilah Jesse sedang meluncurkan buku, mengadakan tanda tangan buku, dan publikasi dengan sejumlah wartawan dan penggemar. Dalam perjumpaan itu, Celine memberi kabar pertemuannya yang gagal dengan Jesse di Stasiun Wina karena nenek meninggal. Mereka kemudian seharian menghabiskan waktu berkeliling Paris, di gang-gang, taman-taman, dan kanal di seputaran Sungai Seine. Episode ini tak sebanyak tempat di Before Surise yang dikunjungi, karena Jesse hanya menunggu waktu pulang ke Amerika dengan penerbangan yang sudah dijadwalkan. Latar berfokus pada awal toko buku dan berakhir di apartemen Celine.

Aku juga baru sadar jika Celine atau Julie Delpy ini seorang penyanyi. Dia mengidolakan Nina Simone, yang bahkan bisa menarasikan dengan baik saat penyanyi berbakat berkulit hitam itu melakukan aksi panggungnya. Celine di tempat tinggalnya yang artistik itu menyanyikan lagu yang dibuatnya khusus untuk Jesse. Dua orang yang saling mencintai seakan bisa menghasilkan karya dengan cara masing-masing. Keduanya saling berbagi tentang kondisi pekerjaan masing-masing, khas usia 30-an kan? Juga kehidupan rumah tangga masing-masing meskipun keduanya gagal secara intimasi dan frekuensi dengan pasangannya. Jessse di sini sudah punya satu anak lelaki dengan istri yang sepertinya menderita anxiety; sementara Celine menikah dengan seorang fotografer foto yang sangat menyukai pekerjaannya tapi melupakan kehidupan rumah tangganya.

Di sini Celine banyak curhat soal perang, dilema moral, filsafat, buku, dlsb. Aku merasa, kecerdasan Celine tampak sempurna di film kedua ini. Celine yang juga mengambil pendidikan sarjana di Sorbonne dan pascasarjana di Amerika tampak tak memperlihatkan diri sebagai perempuan yang ngah-ngoh atau naif soal isu-isu sosial. Kemampuan berbahasa Celine pun melebihi Jesse, dia tak hanya bisa berbahasa Inggris, tapi juga bahasa ibunya Prancis, dan bahasa Eropa lain. 

Before Midnight (2013)

Setelah melalu rentang yang panjang, Jesse dan Celine menikah. Mereka mempunya dua anak kembar perempuan, Ella dan Nina. Masalah pokok di edisi terakhir ini seputar masalah-masalah dalam pernikahan, tanggung jawab perawatan anak, dan bagaimana meredakan ego masing-masing. Latar film ini berfokus di Yunani. Kalau kamu sadar, ini memang tipe movie tourist yang menarik. Aku sangat suka dengan migrasi dua tokoh utamanya di berbagai kota. Migrasi ini tak hanya soal pilihan personal, tapi juga semacam pilihan politis. Bahasan sehari-hari juga dibungkus jadi obrolan-obrolan berbobot. 

Jujur, aku suka latar Yunani, terlebih obrolan bapak-bapak yang diambil di tepi danau. Saat Jesse membahas tentang ide-ide buku dia selanjutnya. Terasa damai, indah, hangat, dan jika aku adalah latar, aku ingin menggambarkan diriku dengan suasana seperti itu. Liburan musim panas yang bagiku sempurna. Aku tiba-tiba juga teringat dengan cerita Haruki Murakami di bukunya, "What I Talk About When I Talk About Running". Dia berkisah tentang pengalamannnya berlari di daerah Marathon, Yunani. Suatu hari, aku ingin datang ke sini juga. Aku pastikan tiketnya sekarang, tapi entah realisasinya kapan. Jelas, sebelum nanti aku mati.

Di sini, tokoh semakin banyak, melibatkan keluarga lain. Bahkan ada obrolan meja makan kelas atas yang berbicara terkait isu-isu terkini soal antropologi digital, cinta dan teknologi, kisah-kisah rumah tangga yang normal tapi menarik untuk diceritakan. Atau yang masih kuingat, ternyata antara perempuan dan laki-laki itu berbeda dalam hal apa yang diingat ketika mereka terlibat perang. Perempuan mengingat anaknya atau orang terdekat mereka, sementara laki-laki "burungnya" saat tersadar dari rumah sakit dalam kondisi perang. Begitu berbeda fokus dua gender ini.

Namun, film ini semakin ke belakang semakin membosankan. Isinya hanya pertengkaran-pertengkaran yang membuatku tak nyaman. Terlebih obrolan ranjang mereka yang dikulik, atau tentang hak asuh, atau kekeraskepalaan masing-masing. Di sini, Jesse bisa bersifat dewasa karena mau mengalah dengan Celine yang marahnya sudah sampai di ubun-ubun. Bahkan di akhir film mereka berdiskusi soal mesin waktu ala HG Wells. Aku melihat ada sisi munafik pula pada Celine ketika menilai obrolan meja makan dengan kenalan mereka di Yunani; seolah Celine menikmatinya, padahal tidak. Bahkan ketika Jesse dan Celine diberi hadiah hotel gratis, hal itu malah membawa kerikil-kerikil yang membuat keduanya tergelincir.

Aku tak tahu alasan sutradara menyatukan mereka? Kalau alurnya konsisten pertemuan singkat, barangkali tak akan sedrama di episode 3. Di sini agak geram dengan plotnya yang bagiku jadi tak istimewa lagi. Dari film ke film di trilogi ini memang terjadi perkembangan karakter yang kompleks. Namun, dasar karakter kedua tokoh utamanya tak berubah meskipun dunia telah berubah. Bukankah Celine juga menambahkan ide lainnya, "You can never replace anyone because everyone is made up of such beautiful specific details."

Humanistik, Realistik, Natural

Ada kedewasaan natural yang bisa kutangkap dari trilogi ini. Salah satu kutipan dalam film ini yang membekas, terkait pilihan Jesse yang menulis cerita-cerita yang terinspirasi dari pengalamn hidupnya. Ada alasan yang fundamental ternyata kenapa dia tak menulis hal-hal yang dianggap besar seperti perang, genosida, kelaparan, kemiskinan, dan teman-temannya; sebab itulah realitas material yang ditemui oleh Jesse. Hal ini diakuinya pada Celine ketika bahas isu-isu kemanusiaan saat perempuan itu kerja di NGO. Bagiku, pilihan ini juga menunjukkan statement sang sutradara untuk menyajikan pengalaman menonton yang lebih humanistik, realistik, dan natural. Dalam penelitian, walking methods yang digunakan Celine dan Jesse ini juga menarik untuk dituliskan.

Epilog

Aku memberi saran: Jika kamu masih berumur 20-an tahun, aku menyarankanmu untuk nonton "Before Sunrise" dulu. Sebab, energimu sedang mendayu-dayu, naif, polos, dengan nafsu yang belum terkendali baik. Jika usiamu 30-an, silahkan nonton "Before Sunrise". Di sini kamu ada di fase lebih dewasa, tak tersesat dengan cinta sesaat, tak terjebak pada romantisme, dan dalam kondisi mental yang matang. Jika usiamu di atas 40-an, silahkan nonton "Before Midnight". Menontonnya berdasarkan usia akau sangat membantumu merasakan emosi dan mental di tiap-tiap level kehidupan. 

Judul: Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), Before Midnight (2013) | Sutradara: Richard Stuart Linklater | Durasi: 1 jam 41 menit, 1 jam 20 menit, 1 jam 49 menit | Genre: Roman, drama | Pemeran: Ethan Green Hawke (Jesse Wallace), Julie Delpy (Celine)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar