Senin, 04 Agustus 2025

Catatan Film "Coco" (2017)

Melati pernah memposting di story WA-nya terkait film "Coco". Membaca sekilas sinopsisnya langsung membuatku tertarik meskipun saat itu tak kutemukan di Netflix. Segala hal tentang kematian, pemakaman, dan dunia setelah mati jadi salah satu minat yang kukulik sejak dulu. Aku pernah bermimpi untuk ke Guatemala dan mengunjungi pemakaman cantik yang warna-warni di Santo Thomas Chichicastenango. Di sana ada semacam upacara bagi orang mati, persis di budaya Amerika Latin yang seperti itulah, film "Coco" menemukan bentuk. Dari bacaanku, film ini mengambil latar perayaan Día de Muertos, Hari Raya Orang Mati di Meksiko yang diperingati tiap 2 November. Film ini sanggung membuatku menangis sangking murninya kasih yang diperankan tokoh-tokohnya. Khas film animasi Pixar, kau juga akan menemukan plot twist dan ketegangan sana-sini yang membuatmu terus mengikutinya. 

Satu prinsip penting yang kutangkap: keluarga, senaif apa pun karakter dan tingkah mereka, selalu ingin membuatmu menuju ke arah yang lebih baik. Pun yang dilakukan oleh orangtua, nenek/kakek, dan buyutnya Miguel. Mereka adalah sekeluarga yang harmonis, yang menjaga satu sama lain dengan kasih sayang. Lima generasi di film ini kisahnya diceritakan. Meskipun, ada satu larangan besar: kau boleh bercita-cita menjadi apa saja, asalkan jangan jadi pemusik. Apa sebab? Tak lain karena grand-grand-grand-grand-mother-nya Miguel bernama Imelda Rivera punya pengalaman buruk dengan menjadi musikus. Suaminya, Hector Rivera meninggalkan Imelda saat muda karena merantau ke tempat jauh dan tak pulang-pulang lagi. Hector meninggalkan anak perempuan satu-satunya mereka bernama Mama Coco atau buyutnya Miguel. 

Dasarnya, Imelda adalah perempuan yang tangguh. Dia bangkit dari keterpurukan ditinggalkan Hector dan mendirikan usaha sepatu yang diwarisi dari generasi satu ke generasi berikutnya sampai papa-mama Miguel. Aku mengapresiasi bagaimana usaha keluarga ini bisa berjalan, bahkan, Imelda dan turunannya bisa tahu ukuran sepatu seseorang tanpa mengukurnya dengan penggaris kaki. Namun, Miguel mewarisi bakat Hector menjadi musikus meskipun keluarga besar melarang. Di kampungnya, ada musikus besar legendaris yang menjadi panutan Miguel bernama Ernesto de la Cruz. Dia mati tragis saat manggung karena kejatuhan lonceng raksasa, haha. Makamnya dibuat sangat besar dengan ikon gitar di dalamnya. Miguel mengikuti karya-karya Ernesto seperti fans pada umumnya yang tahu setiap rilisan lagu dan film yang idola bintangi.

 

Suatu hari, ada perlombaan musik, dan Miguel ingin mengikutinya. Gitar Miguel sudah dihancurkan oleh Nenek Abuelita yang mengetahui cucunya itu ingin jadi musisi. Akhirnya, dia berniat mencuri gitar Ernesto de la Cruz di makamnya. Peristiwa itu terjadi pada puncak perayaan Hari Raya Orang Mati. Di mana keluarga yang masih hidup memberikan makan dan minum di sebuah altar yang berisi foto-foto mereka yang sudah meninggal. Tradisi ini mengingatkanku pada orang-orang Tionghoa di Indonesia. Mereka membuat altar serupa bagi moyangnya yang sudah meninggal, memberinya lilin, makanan, buah-buahan, dan dupa. Empat generasi foto dipajang, tapi ada satu foto yang disobek, suami Imelda, atau Hector.

Saat mencuri gitar Ernesto, terjadi peristiwa aneh karena Miguel berpindah ke dunia lain, yakni dunianya orang-orang mati atau semesta arwah. Menariknya, dunia arwah di sini digambarkan mirip dunia manusia yang kita jalani sekarang. Mereka berkumpul antar sesama, masih berlomba, memainkan musik, membuat konser, plek ketiplek dengan dunia kita sekarang. Pembedanya lebih ke fisik, jika kita punya tubuh lengkap dengan daging, di dunia arwah hanya tulang-tulangnya saja, dengan baju kesayangan yang mereka kenakan. Di semesta arwah, Miguel berpetualang dan bertemu dengan buyutnya buyut dia. Miguel di sana juga bertemu dengan handitaulannya yang lain: Kakek Julio, Bibi Tia Rosita, Bibi Tia Victoria, Paman Tios Oscar, dan Felipe. Namun, waktu Miguel tak banyak, dia harus pulang ke dunia nyata sebelum pagi tiba, atau ia akan tinggal selamanya di dunia arwah. Untuk kembali ke dunia nyata, dia harus mendapat restu dari saudara dekatnya yang sudah meninggal lewat daun ajaib (entah kenapa simbolisasinya daun). Awalnya Imelda merestui Miguel pulang, tapi tidak jadi karena Miguel punya cita-cita jadi musisi.

Miguel pun kabur dari Imelda dengan bantuan anjing nyata yang ikut ke portal arwah bernama Dante (yang juga nama sastrawan terkenal), dia ingin bertemu idolanya, Ernesto de la Cruz yang hendak mengadakan konser besar di semesta arwah. Di sana, Miguel bertemu dengan teman dekat Ernesto bernama Hector (awalnya Miguel tak sadar jika Hector kakeknya, karena kita penonton ditipu di awal-awal, karena diarahkan buyutnya buyut Miguel itu Ernesto, bukan Hector). Dari petualangan itu, terbongkarlah rahasia besar. Popularitas Ernesto ternyata berdiri di atas pengorbanan Hector. Ernesto mencuri karya-karya lirik dan musik milik Hector sehingga dia menjadi seperti sekarang. Slogannya "tangkap moment-mu" dihidupi betul dengan menyingkirkan Hector. Ernesto meracuni Hector sehingga pria kurus kreatif itu meninggal saat perjalanan pulang menuju Imelda. Padahal, Hector sudah kangen dengan anaknya yang masih kecil Mama Coco.

Di semesta arwah, ada fitur menarik. Di mana, seseorang akan benar-benar hilang seperti abu ketika dia dilupakan. Di mana tak ada satu pun keluarga atau orang lain di dunia nyata yang mengingatnya. Ini yang menjadi ketakutan Hector di waktu akhir-akhir karena mendapati sahabatnya yang hilang bagai asap karena dilupakan. Mama Coco hendak melupakan Hector, apalagi foto Hector tak ada lagi di altar, Hector juga kesulitan masuk festival arwah karena fotonya tak lulus screening komputer dan dia hendak jadi imigran gelap di festival itu. Berkat kekuatan keluarga, setelah Imelda tahu kenyataannya sesunggunya, dia membantu Hector dan Miguel untuk mengungkap kebusukan Ernesto di konser tunggalnya. 

Perjuangan menghasilkan hasil manis, bahkan Ernesto dipermalukan lewat layar besar kalau dia pembunuh. Ini disaksikan oleh banyak fans fanatiknya yang kemudian membencinya. Miguel pun setelah kematian Ernesto kembali ke rumah, atas restu Imelda dan Hector. Mereka memulangkan Miguel tanpa syarat apa pun, bahkan jika Miguel berniat jadi musisi, mereka tak masalah. Akhir film ini memang sangat manis. Miguel pulang ke Mama Coco, dan foto sobekan Hector pun ditemukan, dan dijaga oleh Mama Coco. That's a sweet ending

Tentang Dunia Kehidupan dan Dunia Kematian

Latar film ini terjadi di Santa Cecilia. Ada beberapa hal yang aku pikirkan setelah menontonnya:

Portal antara orang hidup dan orang mati bagiku memungkinkan. Seperti dalam perayaan orang mati di Meksiko, kau bisa melihat bagaimana orang hidup dan orang mati bisa saling berinteraksi meskipun tidak terlihat. Kau bisa bayangin gak sih, betapa ajaibnya menyadari ini? Kau jadi merasa tak lagi sendirian di mana pun. Selalu ada mereka yang tak terlihat yang ada di sekitar kita. Jujur, aku jadi ingat sama mbah nang dan mbah dok, atau mbah kung dan mbah yi habis nonton ini. Apa mereka juga ingin kita mengingat mereka? 

Sosok seperti nenek Abuelita juga jadi cermin orang-orang dekat kita yang bisa ditemui sehari-hari. Mereka menjadi sangat ekstrem melarang kita untuk tidak begini dan begitu untuk kebaikan kita. Kita kadang melihat mereka seperti monster yang mengekang kita, tapi kalau memahami lebih dekat, merekalah golongan orang-orang yang sangat sayang dengan kita tanpa syarat. Hal menarik lain, ini film yang kaya dengan konteks, keberagaman, dan bahkan aksen Amerika Latinnya masih kental dibanding bahasa Inggris per se. Banyak kepentingan antartokoh satu sama lain, dan masing-masing ingin membuat keseimbangannya tersendiri. 

Coco juga memberi alternatif jika kematian tak semenyeramkan yang kita bayangkan. Sebab, ada pemikiran jika setelah mati, dunia arwah isinya hanya copy-paste dunia sekarang. Ya, meskipun ini kedengarannya tidak adil bagi mereka yang jahat, karena tak ada pembalasan bahkan setelah mati.  

Hal unik lainnya, dengan film ini barangkali kamu tak akan takut lagi dengan hantu, dengan tengkorak yang bisa bongkar pasang sesukanya seperti Hector. Barangkali mereka memang arwah-arwah yang belum tenang. Arwah itu barangkali ingin mengambil jalan tengah. Di tengah kenyataan yang penuh tipu-tipu, kau akan dengan sangat mudah menemukan fakta-fakta gelap yang linier dengan apa yang terjadi pada Hector. Kadang, aku takut apa yang aku idolakan di dunia nyata sama brengseknya dengan apa yang dilakukan Ernesto de la Cruz, siapa yang tahu? Kita hanya ditunjukkan kebaikan-kebaikan saja.

Cukup keren juga dengan kisah belakang layar pembuatan film ini yang dibuat dengan totalitas. Jika sebelum produksi, tim sudah tinggal bersama dengan beberapa keluarga Meksiko. Sesederhana misal anjing tanpa bulu bernama Dante. Hewan ini juga bisa membantu seseorang mencapai Land of the Dead (Tanah Kematian). Awalnya, judul film ini "Dia de Muertos", tapi karena sakral tak diperbolehkan. Film ini juga melibatkan konsultan budaya Meksiko untuk memberi detail. Tim produksi juga mengunjungi kuburan, pasar, museum, gereja, gang-gang untuk menggambarkan kehidupan orang Meksiko. Alhasil, kota rekaan Santa Cecilia yang ciamik untuk dilihat.

Ya, keseluruhan di film Coco, aku suka daya imajinasi Disney dan Pixar grup di sini dengan selingan lelucon-lelucon sopan khas mereka. Tak khayal film ini mendulang sukses dan mendapatkan hadiah Oscar. Soundtrack-nya juga menarik, lagu "Remember Me" tentu yang paling berkesan. 

Remember me
Though I have to say goodbye
Remember me
Don't let it make you cry
For even if I'm far away
I hold you in my heart
I sing a secret song to you
Each Night we are spart
Remember me...
 

Judul: Coco | Sutradara: Lee Unkrich | Genre: Animasi, petualangan, drama, keluarga | Rilis: 2017 | Pemeran: Anthony Gonzalez, Gael Garcia Bernal, Benjamin Bratt 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar